02. Sembilan Belas🦊

138 15 25
                                    

💎Happy reading💎

Barara tersenyum hangat saat Torano menyeret Ayumi dan berlari dari sana. Setidaknya dengan begitu, Barara tidak perlu mencemaskan apa-apa. Ia tak perlu khawatir Ayumi terluka. Barara tak perlu khawatir anak muridnya terluka lebih parah lagi. Cukup Barara saja yang bertahan di sini.

"Kenapa kau tersenyum?" tanya Margareth saat menyadari senyuman tipis di wajah Barara.

Barara tidak menjawabnya, lelaki itu terus mengayunkan pedang ke sembarang arah. Karena jujur saja, Barara mulai lelah menghadapi Margareth. Luka di tubuhnya juga banyak dan ia hampir tak bisa menggerakkan tubuhnya. Sekilas, Barara bisa melihat Renoi berniat mengejar anak-anaknya, tapi teriakan Margareth yang terdengar dipaksa membuat Renoi berhenti di posisinya.

"Biarkan saja mereka! Urus saja lukamu dan bantu Afrian ju---"

Pedang Barara sukses mengiris pinggang kiri Margareth yang membuat perkataannya terhenti saat itu juga.

"Jangan alihkan pandanganmu dari musuh!" peringat Barara.

Margareth mundur beberapa langkah sambil memegangi pinggangnya. Rasanya perih sekali walau lukanya tak terlalu dalam. Margareth memandang nanar tangannya yang berlumuran darah. Baik itu darah dari tubuhnya, juga darah Barara yang menempel di sana. Margareth juga melihat tangannya yang mulai gemetaran.

Margareth memegang pedangnya dengan dua tangan, gadis itu memekik kencang dan maju cepat ke hadapan Barara. Lalu, pedang itu sukses menancap di dada Barara. Padahal Margareth tahu betul pergerakannya tidak begitu cepat, tapi Barara tidak menghindar dan membiarkan dadanya tertusuk begitu saja. Detik berikutnya wajah Margareth dipenuhi darah yang menyembur dari mulut Barara.

"Tepat di jantung tuh, Bos!" pekik Renoi di ujung sana, lelaki itu tertawa. Sementara Afrian di tempatnya hanya diam saja memperhatikan kakinya yang masih mengeluarkan darah.

Margareth mencabut kembali pedang yang menancap di dada Barara. Gadis itu mundur lagi hanya untuk memastikan ia sedang tidak berhalusinasi. Jelas-jelas Margareth sudah lelah dan pergerakannya tidak secepat awal tadi. Akan tetapi, kenapa Barara tidak bisa menghindari serangannya itu?

Margareth hanya tidak tahu saja, Barara lebih lelah darinya. Kalau saja tadi Margareth telat sedikit saja menusukkan pedang ke dadanya, mungkin tubuh Barara sudah lebih dulu roboh ke tanah saking lelahnya. Dengan tertusuknya dada Barara, lelaki itu terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Di detik kedua, tubuhnya benar-benar roboh dengan pedang yang sudah lebih dulu terlepas dari tangannya.

'Torano! Jaga adik-adikmu!' ujar Barara dalam hati.

Lama-kelamaan rasa sakit di dada Barara mulai menghilang, bersamaan dengan udara yang sudah mulai kesulitan ia hela. Sebanyak apa pun ia mencoba menarik udara, yang terjadi justru ia yang tak bisa merasakan apa-apa. Sampai akhirnya Barara benar-benar tidak bisa lagi merasakan apa-apa. Semuanya gelap, tak ada cahaya di mana-mana.

Sementara Margareth berjalan pelan ke dekat Renoi dan Afrian. Jalannya tertatih dan kaki kirinya ia seret karena terluka.

"Kita kalah," kata Margareth lirih yang disambut anggukan dari Renoi.

"Pada akhirnya kita tidak mendapatkan kepala Tora."

"Renoi! Afrian! Jadi seperti ini rasanya kalah? Jadi seperti ini rasa sakit itu?" tanya Margareth.

Renoi baru akan menjawabnya, tapi tubuh Margareth yang roboh tiba-tiba membuat Renoi siaga dan menyambut tubuh Margareth yang melemah.

Margareth menatap lurus langit di atas sana, kemudian tertawa kuat-kuat sampai Renoi terheran di tempatnya. Margareth tertawa kuat, tapi jelas sekali gadis itu mengeluarkan air mata. Bahkan tawa gadis itu bercampur dengan isak tangis yang begitu kentara.

Half BeastWhere stories live. Discover now