Tigapuluh Satu🦊

194 36 23
                                    

💎Happy reading💎

Pagi ini Fero terbangun lebih lambat dari sebelumnya. Matahari sudah beranjak naik sekitar satu jam yang lalu, tapi Fero justru baru membuka mata. Sekilas bocah itu memperhatikan kamarnya. Ada pemandangan berbeda yang ia temui di sana. Pertama, Akira yang tidak ada. Kedua, Nujio yang duduk menekuk lutut di samping pintu. Pandangan Nujio mengarah tepat ke ranjang Fero. Anak itu jelas sedang memperhatikan gerak-gerik Fero.

"Ada apa?" tanya Fero. Tidak biasanya Nujio datang ke kamarnya seperti ini.

"Barara menyuruhku untuk membangunkan Kakak, tapi tidurmu terlihat nyenyak sekali. Jadi aku tidak mau mengganggunya."

Nyenyak apanya? Bahkan semalam Fero hampir tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus berkelana memikirkan tentang Akira. Memikirkan hal yang mungkin bisa membahayakan nyawa kakaknya. Atau Dopa mungkin sudah membunuhnya. Fero bahkan berpikir kalau ia dan Akira tidak akan bisa lagi bertemu seperti biasa. Pikiran sialan itu terus menghantui Fero sampai dini hari datang menyapa. Baru beberapa jam yang lalu ia bisa memejamkan mata.

"Sekarang aku sudah bangun. Pergilah!" usir Fero.

"Semua pemimpin Bukit Kachi mengadakan pertemuan penting hari ini, jadi Barara tidak akan pulang sampai besok. Dia menunggumu di ruang utama karena sebentar lagi dia akan berangkat," jelas Nujio. Walau sudah agak lama menunggu Fero bangun dari tidurnya, Nujio yakin Barara masih ada di ruang utama. Menunggu sampai Fero datang ke hadapannya.

"Jadi hari ini tidak akan ada pencarian Kak Akira sama Kak Torano?" tanya Fero dengan nada lemah.

Fero kecewa pada Barara. Setelah hari di mana Akira dan Torano diculik Dopa ia tidak ada, justru sekarang lelaki itu seperti tidak peduli dan abai pada semua. Seharusnya setelah tahu dua muridnya diculik, Barara melakukan pencarian. Akan tetapi, yang dilakukan lelaki itu justru diam. Berlagak seperti memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan lelaki buta itu selalu terlihat setenang lautan.

Fero bergegas menuju ruang utama. Dilihatnya Barara di sana duduk di tempat biasa. Wajahnya masih sangat tenang bahkan setelah Fero meneriaki namanya.

"Ada apa denganmu, Barara? Kau tidak mau tahu soal muridmu yang diculik Dopa? Kau sama sekali tidak peduli, ya kalau kakakku mati?" tanya Fero dengan air mata yang menggenang di kelopaknya, kemudian dalam satu kedipan air itu luruh membanjiri pipi Fero yang memerah karena amarah.

"Kau terlihat begitu tenang. Kalau dari awal kau memang membenci kakak, kenapa kau memaksa kami menjadi muridmu? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kakak dan kau mau aku kehilangan kakak juga?"

Entah kenapa setelah kalimat panjang Fero mencapai ujungnya, Barara di tempat duduknya masih memasang wajah tenang. Seolah apa yang Fero katakan tadi bukanlah satu hal yang perlu dikhawatirkan.

Lelaki buta itu berniat membuka suara, tapi terhenti saat Ayumi di arah barat ruangan lebih dulu menyela. Anak itu berkata dengan amarah yang juga mulai mendidih sampai kepala. Dan itu tertuju untuk Fero, bukan untuk Ayahnya.

"Kau tidak tahu apa-apa, Fero! Kau menyalahkan ayah dengan apa yang terjadi? Kau pikir ayah yang menentukan kapan rapat pemimpin ditentukan? Ayah juga tidak punya pilihan, Fero!"

Fero beralih menatap Ayumi yang memberontak dalam balutan rambut Laguna. Sepertinya gadis itu ingin menghampiri Fero untuk kemudian memukul tepat di wajahnya. Hanya saja Laguna menahannya dan membuat Ayumi tetap berada di sana.

"Saat Dopa datang ke rumah, ke mana dia? Seharusnya tugas dia menjaga kita 'kan? Lalu, kemaren juga kenapa dia diam saja?" tanya Fero tak terima.

"Ayah dijebak sebelumnya. Ayah pergi ke perbatasan bagian atas karena Dopa sudah memberi sinyal ia akan datang dari sana, tapi nyatanya itu hanya jebakan semata. Ayah terkena panah beracun dari beberapa pasukan Dopa. Walau semua pasukan Dopa mati, tetap saja ada satu panah yang berhasil melukai lengan ayah. Rancunnya membuat ayah tidak sadarkan diri entah berapa lama. Efeknya bahkan masih terasa sampai kemaren. Kau tidak tahu apa yang ayah rasa, jadi jangan menghakimi ayah!"

Half BeastWhere stories live. Discover now