Duapuluh Enam🦊

225 39 29
                                    

"Akira terlihat semakin dekat dengan Barara. Apa kau tidak cemburu, Ayumi?" tanya Laguna pada Ayumi yang sedang memperhatikan Akira bercakap-cakap dengan Barara di ruang utama.

"Untuk apa? Akira pantas mendapat perhatian lebih dari ayah. Karena dia punya sesuatu yang tidak kita punya."

Dengan menyembulkan kepala di pintu kamar masing-masing, gadis-gadis itu kini sedang menguping pembicaraan Akira dan Barara. Walau pada akhirnya mereka tak mengerti permasalahan utamanya. Akira bilang ia kurang fokus dengan misi karena melihat seorang laki-laki, tapi entah siapa laki-laki yang ia maksud itu.

Tanpa mereka sadari, Torano keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah mereka. Tatapannya masih sedingin es di kutub utara, tapi ada sensasi hangat saat ia melewati Ayumi, Nikie, dan Laguna. Seolah aura keberadaannya memang selalu sehangat Surya. Berbanding terbalik dengan sikap dingin dan suka seenaknya.

"Malam, Torano!" sapa Nikie takut-takut.

Biasanya kalau disapa seperti itu Torano akan marah. Katanya orang yang mengajak bicara tanpa ada hal yang penting, itu sangat berisik dan tidak ada gunanya. Namun, kali ini berbeda. Torano sama sekali tidak marah dan malah berhenti di tengah kamar mereka bertiga. Lebih tepatnya di depan kamar Laguna.

Torano mengisyaratkan Ayumi dan Nikie untuk mendekat ke arahnya dan Laguna. Setelahnya lelaki itu menatap Akira dan Barara yang masih fokus berbincang di ruang utama. Hanya ada dinding tipis yang menghalangi posisi mereka dengan ruang utama. Sementara tiga gadis tadi mengintip lewat sela-sela dinding yang terbuat dari anyaman bambu biasa.

"Kau mau mengajak kami berbicara? Apa tidak salah?" tanya Ayumi heran dengan tingkah Torano.

"Bodoh," komentar Torano. Bukan untuk Ayumi saja, tapi juga untuk Nikie dan Laguna juga.

Laguna membulatkan matanya. Kejadian tadi siang belum sepenuhnya ia lupa. Kejadian tentang bagaimana melumpuhkan lawan mereka. Torano sama sekali tak memberinya kesempatan untuk melawan musuh mereka. Sekarang Torano memanggil mereka dan mengatakan kalau mereka bertiga itu bodoh. Kalau seperti ini Laguna tidak bisa menahan amarahnya. Maka gadis itu mengangkat tangan ke udara, tapi tertahan saat Torano menatapnya dengan tatapan marah. Seolah mengisyaratkan Laguna untuk menurunkan tangannya.

"Kalian mengintip? Untuk apa?" tanya Torano. Tatapannya sudah kembali melunak, tapi tetap tidak ada kehangatan yang menguar di sana.

"Kenapa kau begini, Torano? Kau hanya ingin menanyakan itu?" tanya Ayumi yang mulai kesal juga.

"Persiapkan diri kalian. Kalian pikir semua akan baik-baik saja? Barara bilang musuh kali ini berbahaya dan apa kalian merasa menghadapi musuh yang berbahaya tadi?"

Sebagai yang paling tua, Torano memiliki tubuh paling tinggi di antara murid Barara. Makanya saat Torano berkata, semua orang harus mendongak untuk melihat wajahnya.

"Tidak," jawab Laguna, "kau melarangku untuk ikut dalam membasmi musuh karena katamu mereka berbahaya, tapi kau malah menghabisinya dengan mudah."

"Itu karena musuh yang sebenarnya bukan mereka. Mereka hanya bawahan saja. Mungkin rakyat biasa. Dan saat Barara bilang mereka berbahaya, kupikir orang-orang tadi, tapi saat melawannya secara langsung, aku sadar. Musuh yang sebenarnya bukanlah mereka. Mungkin musuh yang nyata sebentar lagi akan tiba."

Kalau mendengar Torano berbicara sebegitu panjangnya, rasanya ada sensasi berbeda. Seolah Torano yang berdiri di depan mata bukan Torano yang biasanya. Aneh sekali saat Torano berkata sebegitu panjangnya, tapi tentu saja itu lebih baik daripada diam dan marah-marah seperti biasanya.

"Benar. Ayah sempat bilang kalau musuh kita berbahaya. Memang, sih tadi aku kewalahan karena Nujio tertidur dan meminta bantuan ayah, tapi tetap saja aku merasa mereka tidak seberbahaya itu sampai ayah memperingati kita."

Half BeastWhere stories live. Discover now