29. Predator puncak

Începe de la început
                                    

"Orang mah nawarin jadi pacar, ini malah nawarin jadi selir. Kacau lo, Gar." Salah satu temannya itu hanya bisa menggeleng-geleng tak percaya.

Anggara hanya acuh dengan tawa dan teriakan teman-temannya. Pandangannya belum teralih sedikitpun dari wajah Ayyara.

Telunjuk jari Anggara menyentuh bibir dan mendesis, beri syarat semua temannya untuk diam.

Seisi kantin menjadi hening kembali. "Jadi gimana, Kil?"

Satu alis Ayyara terangkat, lalu tersenyum tipis. "Maaf, kak. Ga mau,"

Mendengar penolakan itu, raut wajah Anggara seketika murung. Perlahan ia memundurkan kembali kepalanya dan melepasan helaian rambut yang sedari tadi ia pegang.

Pupil matanya mengecil. "Kenapa...?" Lirih nya kecewa dengan pandangannya menghadap ke arah bawah.

Ayyara terdiam sebentar. Lalu perlahan bibirnya terbuka. "Gue mau jadi satu-satunya, kak. Bukan jadi salah satunya." Ucapnya yakin.

Hening. Mereka semua bukan tertegun, melainkan menahan tawanya.

Seseorang tersenyum miring. "Halah, ga usah sok jual mahal lo!" Bukan Anggara yang berucap. Tetapi temannya yang duduk disebelahnya yang sedari tadi menyimak percakapan mereka.

Laki-laki berambut mullet yang sedang menghisap rokoknya dengan santai itu juga ikut menyahut. "Sejam berapa?"

Satu alis Ayyara terangkat, menarap laki-laki berambut mullet dan berambut pirang secara bergantian. "maksudnya, kak?" Tanya Ayyara tak paham.

Laki-laki yang berada di kanan Ayyara dengan wajah mempunyai banyak bekas goresan itu tiba-tiba merangkul pundaknya sok akrab.

"Ga usah pura-pura ga tau, deh." Ucapnya di dekat telinga Ayyara.

Tangan yang merangkul pundaknya tiba-tiba menunjuk dada Ayyara. "Tubuh lo. Sejam berapa buat kita pake?" Ia menjeda ucapanya.

Ayyara mulai tak nyaman, beberapa kali ia menepis rangkulan itu, tetapi laki-laki itu tetap merangkulnya dengan kuat.

"Cewek murah kayak lo dibayar dua ratus ribu doang juga pasti mau, kan?" Laki-laki itu berucap dengan nada rendah membuat teman-temannya yang juga dekat dengan mereka bersorak ria menertawakan gadis itu. Tak terkecuali Anggara yang tadi memasang wajah kecewa. Biasa, akting.

Jadi mereka masih belum melupakan gosip yang waktu itu, toh?

Ya memang sih, seharusnya gosip itu menjadi perbincangan hangat sampai satu bulan atau mungkin satu tahun kedepan. Tapi karena adanya Yuma, mereka menjadi melupakan itu karena takut akan dirinya.

Tapi, kan ia tak pernah mencari masalah dengan kakak kelas ini. Entah mengapa mereka mengganggu Ayyara, mungkin karena Yuma sudah tak ada mereka menjadi melampiaskan kekesalannya kepada gadis yang selalu laki-laki itu lindungi.

"Woi Dewa! jangan gitu. Nanti pawangnya ngamuk, loh.." Kalimat laki-laki yang berada di sebelah kiri Ayyara terjeda sesaat.

Laki-laki itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya. "Ups.. Gue lupa. Pawangnya kan udah mati," Ucapnya cengengesan.

Brak!

Suara gebrakan meja membuat semuanya langsung terdiam dan menoleh ke arah sang pelaku.

Bukan, ini bukan ulah Ayyara.

Ini ulah laki-laki dengan alis terpotong yang sedari tadi duduk diam di sebelah laki-laki yang bernama Dewa itu.

Tak selang berapa lama, laki-laki itu langsung bangkit dan pergi dari tempatnya.

Butterfly EffectUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum