"Kemarin kamu ke mana?" Nara tidak bisa menahan pertanyaan itu untuk tidak keluar dari bibirnya, menimbulkan semburat kerutan di dahi Daniel sebelum setelahnya cowok itu tersenyum miring dan membuang muka.

"Kenapa? Lo khawatir?" tanya Daniel sambil menaikkan satu aslinya. Nara menatap Daniel cukup lama, setelahnya menggeleng pelan membuat Daniel berdecak pelan.

"Lo kemarin ke mana?" Sekarang giliran Daniel yang bertanya dengan pertanyaan yang sama.

"Nggak ke mana-mana," jawab Nara yang malah direspon decakan oleh cowok itu, seolah Nara baru saja berkata bohong.

"Nggak usah bohong. Pulang sekolah ke mana?"

"Kamu kenapa, sih?"

"Jawab aja, Nara!" Daniel menekan tiap katanya, memaksa menjawab sesuai apa yang ia tebak. Namun, Nara yang tidak mengerti hanya bisa mengeryit.

"Ke rumah sakit." Benarkan, Nara kemarin memang ke rumah sakit?

"Sama siapa?"

Nara memejamkan matanya sesaat, tidak bertemu sehari apa Daniel bisa menjadi secerewet ini? "Orang," jawab Nara ketus.

"Lo pikir orang nggak punya nama? Siapa namanya?" Daniel terus membombardir Nara dengan pertanyaan yang Nara sendiri tidak tahu alasan Daniel menanyakannya. Sekarang Daniel bertanya siapa nama orangnya, baiklah Nara akan menjawab sejujur-jujurnya.

"Bu Trisha," ucap Nara langsung membuat Daniel cengo.

"Trisha siapa? Bukan Trisha Saraswati, kan?

"Hm, Trisha Saraswati."

"Ngaco, lo!" Daniel menggeleng sembari tertawa—menertawakan Nara yang bisa asal bicara. Trisha Saraswati? Presenter yang sering wira-wiri di televisi itu? Daniel saja hanya pernah bertemu sekali, itupun saat di rumah sakit dan dalam keadaan tidak sengaja.

"Aku udah jujur, tapi kamu nggak percaya. Ya, udah!"

"Trisha itu presenter loh. Nggak salah, lo?"

"Aku nggak bohong. Tanya saja sama Altair, dia—"

"Altair?" Daniel memastikan telinganya tidak salah dengar. Raut wajahnya berubah, tersenyum tipis tapi sangat menyeramkan bagi Nara. Akhirnya, cewek itu hanya mengangguk pelan. Daniel menyeringai. "Bisa-bisanya lo bohong pake bawa Trisha."

"Tapi aku beneran sama Bu Trisha!"

"Ck, bullshit!"

Baiklah, Nara sudah menyerah. Sepertinya menjelaskan pun hingga mulutnya berbuih tidak akan pernah membuat Daniel percaya. Cowok itu terlalu keras kepala untuk percaya ucapan Nara tanpa adanya bukti. Jadi, Nara akan memilih diam. Terserah kalau setelah ini Daniel marah dan memutuskannya—sepertinya itu lebih baik.

"Lo beneran bohong!"

"Memangnya kalau aku beneran bohong kamu mau apa?" Nara menatap Daniel sepenuhnya, menunggu cowok yang mendadak diam itu memberi jawaban.

"Lo pacar gue!"

"Selalu itu jawaban kamu," ucap Nara serius. Ia menunduk menghela nafas sejenak, sebelum kembali menatap Daniel dengan tatapan yang bisa Daniel lihat penuh luka.

Nara tetaplah seorang perempuan. Sama halnya dengan perempuan lain, ia juga butuh yang namanya kepastian. Setidaknya, kalau Daniel memang tidak menyukainya, apa salah kalau Nara ingin tahu alasan lain Daniel secara jelas? Jika begini, Nara merasa menjadi pihak yang dirugikan. Ia dipaksa masuk ke dalam hubungan tanpa ada alasan yang pasti, tapi ruang geraknya dibatasi.

"Selesai aja, ya?"

"Kita udah pernah bahas ini, dan gue nggak mau putusin lo sekarang!"

"Egois!"

"Nggak usah berharap gue bakal ngalah, Nara!"

"HUSH! HARA-HURU RUMAH TANGGA JANGAN JADI KONSUMSI PUBLIK DONG!"

Daniel dan Nara menoleh, tepatnya di meja ketiga teman Daniel. Erick dan Ares terlihat mencoba begitu sibuk dengan pesanan masing-masing. Sedangkan si biang kerok, alias Theo dengan santai duduk memojok seraya bermain handphone. Merasa menjadi pusat perhatian, Theo sedikit mengalihkan pandangan. Ketika bersitatap dengan Daniel ia hanya cengengesan.

"Kenapa, Niel? Ini, gue baca berita di twitter. Sorry, deh, kalau ganggu." Daniel tahu Theo hanya beralibi, makanya ia berniat memberi hukuman kecil untuk cowok itu. Sayangnya, Nara menahannya lebih dulu.

"Tanpa Theo teriak, orang udah pada tau dari tadi." Memang tidak menutup kemungkinan semua orang tahu, karena ucapan Daniel yang sedikit tinggi dan diucapkan begitu tegas. Daniel mengedarkan matanya, memberi tatapan tajam bagi siapa saja yang masih ingin tahu permasalahannya dengan Nara. Kemudian kembali menatap Nara kala gadis itu menghela nafas panjang.

"Aku mau balik ke kelas."

"Gue bawa mobil, pulang bareng gue! Masalah kita belum selesai."

"Terserah mau selesai apa nggak! Pulang sekolah aku langsung ke kafe." Nara bangkit, namun Daniel tak tinggal diam dan mencekal tangannya.

"Ini penting Nara!"

"Aku nggak peduli. Lebih penting kerjaan aku." Nara memberontak, dan sedikit terkejut karena tangannya bisa terlepas begitu mudah. Tanpa menunggu ucapan cowok itu selanjutnya, Nara melangkah pergi.

Daniel sebenarnya berniat mengejar, tetapi kakinya itu sedikit nyeri membuatnya hanya bisa mengumpat.

"Kaki lo nggak berguna, Niel?"

"Gue pinjemin pisau ibu kantin gimana, Niel?" ucap Ares menimpali pertanyaan Erick. Keduanya lalu tertawa terpingkal-pingkal, disusul Theo usai meletakkan ponselnya.

"Banyak-banyak berguru sama kita deh, Niel. Kalau soal memanjakan wanita, mah, kita mahir," ucap Theo.

"Diem lo bertiga, bangsat!"

TBC

Apa part ini nggak ngefeel menurut kalian? Cuma 1,2K...tapi aku harap kalian merasa terobati dari pada harus nunggu agak lama dikit xixiix

Please vote, ya? Tunggu part selanjutnya

byebye

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang