"Naahh itu ada... lo itu kerja gimana sih gak niat banget!!" Jawab Shinta membuat Jihan menunduk.

"Mari mbak saya antar!" Ajak Hesti. Hesti mengantar Shinta menuju R. VVIP 220.

R. VVIP 220.

Tokk... tokk... tokk...

Ketuk Hesti membuat pintu itu terbuka setelah beberapa saat. Menampakkan wajah Fadil dengan senyum, namun senyum itu hilang menjadi kebingungan saat melihat siapa yang datang.

"Shinta?" Ucap Fadil spontan saat melihat kekasihnya. Shinta berhambur memeluk Fadil yang masih terkejut, sedangkan Hesti menunduk.

Beberapa saat akhirnya Fadil melepaskan pelukan itu.

"Kamu ngapain kesini?" Tanya Fadil sedikit berbisik tapi masih terdengar oleh Hesti.

"Aku kangennn sama kamu... makanya aku kesini." Jawab Shinta membuat hati Hesti sedikit sakit.

"Eekkhheemm... ohh iya mbak, suster tadi itu bukannya tidak niat bekerja tapi memang tidak ada pasien atas nama Fadil Rahayu (melirik Fadil) adanya pasien atas nama Putri Dwi Rahayu ya permisi!" Ucap Hesti sambil meninggalkan Fadil dan Shinta, membuat Shinta sedikit malu.

"Yaudahh masuk Shinta!" Ucap Fadil sedikit risih dengan sikap Shinta yang bergelayut manja pada lengannya.

"Kata bibi kamu sakit?? Tapi kamu ba...." ucapan Shinta terpotong saat dia melihat Putri yang tertidur di atas ranjang rumah sakit dengan infus di tangannya.

"Putri yang sakit." Jawab Fadil menatap adiknya yang tertidur nyenyak.

"Kamu belum kasih tau mama sama papa kamu ya?? (Fadil menggeleng). Makanya kok waktu aku ketemu mereka, mereka bilang kalian baik-baik aja." Jelas Shinta.

"Kamu ketemu mama sama papa?" Tanya Fadil mendudukkan tubuhnya di sofa. Shinta duduk di dekat Fadil sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Fadil.

"Iya... ooh iya, mama sama papa kamu bilang katanya mereka kayaknya akan pulang 2 atau 3 bulanan lagi." Ucapan Shinta membuat Fadil terkejut.

"Selama itu??" Tanya Fadil tak percaya.

"Iya... katanya karna masalah perusahan yang di sana itu bukan masalah kecil. Jadi perlu waktu lama untuk menyelesaikan masalahnya." Jawab Shinta sambil memegang tangan Fadil.

"Kamu tenang aja ya... aku di sini bakal jagain kamu sama Putri." Lanjut Shinta menyandarkan kepalanya pada bahu Fadil. Fadil tersenyum hambar.

Taman Rumah sakit.

Hesti duduk di bangku taman sendiri karna memang dia sudah tidak ada pasien. Di sana dia melihat seorang kakek yang mendorong kursi roda yang diduduki istrinya. Hesti tersenyum melihat mereka.

"Semoga kelak aku dan jodohku bisa seperti mereka." Gumam Hesti dalam hati.

Hesti menghampiri mereka yang sedang duduk di bangku taman yang lain.

"Permisi... boleh gabung?" Tanya Hesti sopan.

"Waahh kek... jarang -jarang ada dokter yang mau ngobrol sama kita." Ucap nenek.

"Iya nek... silahkan bu dokter." Kakek mempersilahkan Hesti duduk di sebelahnya dan nenek berada di depan kakek.

"Nama saya Hesti. Kakek sama nenek panggil Hesti aja ya!" Ucap Hesti memperkenalkan diri. Kakek dan nenek menjawab dengan anggukan.

"Nenek sakit apa?" Tanya Hesti memegang tangan nenek yang menjawab dengan meletakkan tangannya pada tempat jantung berada. Hesti mengerti maksud nenek, dia mengangguk.

"Nenek cuman berdua sama kakek?" Tanya Hesti sopan.

"Iya... kami hanya berdua." Jawab kakek sambil memegang bahu nenek dan nenek membalasnya dengan memegang tangan kakek.

"Anak kakek sama nenek?" Tanya Hesti lagi dengan hati-hati karna takut menyinggung perasaan mereka.

"Mereka sibuk dengan usahanya... sibuk bolak-balik keluar kota." Jawab kakek, sedangkan nenek mulai berkaca-kaca.

"Mereka tau nenek sedang sakit?" Tanya Hesti lagi yang dijawab anggukan lemah oleh nenek.

"Mereka tau tapi mereka seperti tidak mau tau. Mereka hanya sibuk dengan keluarga mereka masing-masing. Mereka tidak pernah menjenguk nenek meskipun itu hanya satu menit." Ucap nenek sambil menatap langit seperti berharap anaknya akan datang untuk menjenguknya meskipun hanya semenit.

Hesti menyamakan tubuhnya dengan nenek dan menggenggam erat tangan nenek.

"Nenek bisa anggap Hesti anak nenek... di sini Hesti sendiri... Hesti merantau dari Bandung." Ucap Hesti memandang nenek yang sudah dibanjiri air mata.

"Terima kasih nak Hesti. Nenek harap nak Hesti gak pernah lupa sama orang tua Hesti, yang sudah melahirkan Hesti, yang sudah membesarkan Hesti. Sesukses apapun Hesti nanti, kamu harus ingat ya nak. Kesuksesanmu tidak akan terwujud tanpa doa dari mereka" Ucap nenek membuat Hesti menangis.

Di rumah sakit ini tidak pernah ada satu orang pun yang melihat Hesti menangis. Dan Hesti menangis di depan nenek dan kakek, itu artinya Hesti sudah menganggap mereka orang tuanya.

"Jangan nangis sayang nanti cantiknya hilang!" Ucap nenek sambil menghapus air mata Hesti. Hesti memegang tangan nenek dan menciumnya begitu dalam, dia merindukan orang tuanya, merindukan mencium tangan kedua orang tuanya.

Nenek mengusap rambut Hesti lembut membayangkan anaknya yang ada di depannya sekarang. Bahkan anaknya pun tidak pernah mencium tangannya.

"Ohh iya ruangan nenek dimana?" Tanya Hesti sambil menghapus air matanya.

"R. Anggrek Sp. Jantung." Jawab kakek yang sedari tadi diam melihat kedua wanita dihadapannya itu.

"Ok. Nanti setiap pagi Hesti akan ke ruangan nenek ya..." Ucap Hesti.

"Tidak perlu nak... kamu kan kerja masaaa ke ruangan nenek. Pasienmu gimana?" Sahut nenek tak enak jika Hesti harus ke ruangannya setiap hari.

"Hesti biasanya mulai periksa pasien agak siangan nek. Jadi Hesti bisa lebih dulu ke ruangan nenek. Ya... boleh yaa???" Tanya Hesti dengan wajah memelas membuat nenek dan kakek tertawa melihat ekspresi Hesti.

"Baiklah." Jawab kakek nenek bersamaan.

"Ciieee.... kompakkk!!" Ejek Hesti untuk menghibur mereka. Kakek dan nenek saling pandang dan tersenyum.

DOKTER ITU MOTIVATOR ADIKKU Where stories live. Discover now