Part 59

74 11 0
                                    

"Tidak perlu dokter! Saya sendiri yang akan memeriksa dan memantau kondisi bunda saya. Dokter tidak perlu meminta bantuan Dr. Adit." Sahut seseorang yang ternyata adalah Hesti.

Dokter itu menoleh ke arah Hesti dan berkata " tapi Dr. hesti, pasien dokter kan...." ucapan dokter itu terpotong.

"Sebanyak apapun pasien saya, bahkan satu milyar pun pasien saya! Jika salah satu dari keluarga saya apalagi bunda saya sedang sakit, dan saya adalah seorang dokter...Saya akan memeriksanya sendiri!" Potong Hesti dengan tegas.

"Tapi dokter...." bantah dokter itu lagi karna takut jika Hesti akan kuwalahan dengan pasiennya sendiri.

"Dokter tidak perlu khawatir, saya akan lakukan tugas saya semaximal mungkin apalagi untuk kesembuhan bunda saya (melirik bundanya). Dan saya akan tetap bersikap profesional sebagai seorang dokter... Toh juga saya tidak sendiri kan... ada Syifa (assistent Hesti di RS. Jaya Abadi cabang Bandung) yang akan membantu saya..." Jelas Hesti meyakinkan dokter itu.

"Baiklah dokter kalau begitu. Saya tidak bisa menghalangi dokter. Saya minta maaf!" Jawab dokter itu minta maaf karna sempat tidak percaya dengan keprofesionalan Hesti.

"Tidak apa-apa dokter, saya mengerti kok. Nanti sore saya akan ke ruangan dokter untuk meminta riwayat penyakit bunda saya. Dan sekarang dokter bisa kembali ke ruangan! Sekali lagi terima kasih dokter." Ucap Hesti dijawab anggukan oleh dokter itu.

"Baik Dr. Hesti. Saya permisi dulu dokter, pak, bu." Pamit dokter itu.

"Terima kasih dokter." Ucap Ayah Irfan dijawab senyuman oleh dokter itu dan langsung meninggalkan ruang rawat bunda Sarah.

Tersisa Hesti, ayah Irfan, dan Bunda Sarah di ruangan itu. hesti mendekat ke samping ranjang bundanya dengan hati yang hancur melihat kondisi bundanya sekarang.

Wajah pucat, mata sayu, wajah gelisah saat menatap Hesti. Namun Hesti tidak ingin menangis di hadapan bundanya, Hesti berusaha tersenyum walaupun senyum itu bukan arti kebahagiaan Hesti sekarang.

"Hes..." panggil bundanya lemah. Suara lemah itu membuat Hesti semakin hancur.

Hesti meletakkan telunjuknya pada mulut, meminta bundanya untuk tidak bicara.

"Bunda gak perlu pikirin apa-apa! Sekarang bunda harus pikirin keadaan bunda! Bunda harus berusaha sembuh (suara Hesti mulai bergetar), Hesti sendiri yang akan memeriksa dan memantau kondisi bunda." Ucap Hesti dengan menahan air mata yang sudah memberontak keluar.

"Maafin bunda sayang... Maafin bunda karna belum bisa percaya kamu..." Jawab Bunda Sarah dengan air mata menetes dari matanya.

"Bunda gak perlu minta maaf... bunda gak salah kok, wajar jika seorang ibu takut kehilangan senyum anaknya.... Bunda lihat sekarang, Hesti sudah tumbuh menjadi gadis dewasa, Hesti sudah bisa mengontrol emosi Hesti, Hesti sudah tahu mana yang harus Hesti lakukan dan mana yang tidak. Bunda, ayah.... lihat ini (menunjuk nametag yang ada di jas dokternya)! HESTI ANDRIANA, DR. SP. KANKER. Hesti dapat jas ini karna kalian, karna pengorbanan kalian, karna dukungan kalian, karna doa yang kalian selipkan dalam sujud untuk Hesti. Hesti bukan apa-apa sekarang, jika tanpa kalian... Sekarang Hesti ingin balas budi, walaupun pengorbanan kalian tak akan pernah terbalaskan bahkan dengan nyawa sekalipun (mata Hesti mulai mengeluarkan air mata). Terima kasih untuk segalanya... terima kasih..." Ucap Hesti panjang lebar meyakinkan orang tuanya bahwa dia akan baik-baik saja.

Ayah Irfan menatap anak perempuannya yang dulu masih ia gendong, sekarang sudah tumbuh menjadi orang dewasa. Ayah Irfan tersenyum dan mengusap punggung anaknya itu.

"Doa ayah dan bunda akan selalu menyertaimu dan kakakmu di sana de." Jawab ayah Irfan mengingatkan Hesti pada kakaknya.

Sedangkan bundanya menggenggam tangan Hesti dan menciumnya begitu dalam seperti memberi arti bahwa ia tidak ingin pergi meninggalkan anaknya.

DOKTER ITU MOTIVATOR ADIKKU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang