[61] Gelap

3.2K 271 10
                                    

Ava mulai menggeliat, untuk setelahnya meringis merasakan sakit dari sekujur tubuh. Kepalanya terasa nyeri, pun dengan kakinya. 

Perlahan hidungnya bisa mencium aroma yang tidak asing. Seperti... bau obat-obatan?

Dingin.

Satu kata yang bisa dideskripsikan sekarang. Padahal Ava yakin kini tubuhnya dilapisi kain tebal.

Pandangannya gelap. Sangat gelap. 

Padahal dia sudah merasa membuka mata.

Sebuah ingatan terlintas dibenaknya. Apakah dirinya sudah mati?

Entah senang atau sedih, tapi ada perasaan lega mengetahui hal itu.















"Pasien sudah sadar."

Suara seorang lelaki itu membuat Ava terkejut.

"Alhamdulillah ya Allah... Makasih dok."

Kali ini suara lembut yang berasal dari dekat telinga kiri Ava. Sepertinya, dia kenal suara itu.

"Mau dibantu lagi atau tidak, bu?"

"Tidak usah dok, terimakasih."

Kemudian terdengar suara decitan pintu tertutup.

"Ava..." Seseorang dengan suara lembut itu perlahan menggenggam tangan Ava.

Napas Ava berubah cepat. Adrenalinnya meningkat.

"Ini Bunda."

Ava merasa matanya melotot sekarang.

"B-Bunda?" ucap Ava dengan suara serak.

"I-iya nak."

"A-Ava dimana? Terus kok Bunda ada di sini?" tanya Ava dengan suara lemahnya. Dia masih belum bisa melihat apa-apa.

"Kamu ada di rumah sakit sayang. Sudah empat hari kamu tidak sadarkan diri."

Ava tertegun. Dia berusaha mengingat memori terakhir.

Malam itu, dirinya berjalan keluar rumah tanpa arah. Perasaannya sungguh berantakan. Dia putus asa, terus menangis tak peduli kakinya mengeluarkan darah akibat tidak menggunakan alas kaki. Yang dia ingat terakhir kali sebelum semuanya gelap adalah, suara geraman mobil.

Perlahan tangan Ava memegangi sekitar matanya. Bulu matanya terasa halus menggelitiki jemarinya. Dia juga bisa merasakan pelupuk matanya telah terbuka. "Tapi kok, Ava gak bisa lihat ya bun? Padahal mata Ava sudah terbuka."

Terdengar sebuah isakan dari bibir bibir Santi. Tiba-tiba wanita paruh baya itu mendekat dan memeluk tubuh Ava.

"Bu-Bunda? Kok malah nangis? Kenapa?" Ava meraba punggung Santi.

Perlahan Santi melepaskan pelukan, dan menyeka wajahnya.

"Ava, malam itu kamu ketabrak mobil, kepala kamu terbentur, dan divonis dokter mengalami... kebutaan."

Jantung Ava seperti meledak. Tangannya terkulai lemah. Bola mata hitamnya menatap sesuatu yang tak tentu mulai menimbulkan cairan bening.

"AAAAAAAAAAKHH!" Ava bernajak duduk "KENAPA AVA GAK SEKALIAN MATI AJA SIH, TUHAN!!!!!!"

Gadis itu mengacak rambut frustasi. Kasurnya bergetar akibat hantaman kakinya. Dan baru dia sadari, ternyata ada selang pernapasan yang menyumbat hidungnya, dan ada selang infus yang menusuk punggung tangannya.

Santi buru-buru memeluk gadis itu. Dia juga tak kuat membendung air matanya. "Sssst... Ava... Ava.... Kamu gak boleh—"

"AVA EMANG GAK PANTAS HIDUP LAGI! Hiks. AVA MAU KETEMU TUHAN SECEPATNYA!" Ava terus berusaha memberontak. Namun energi Santi mampu membuatnya kehabisan tenaga.

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang