[17] Menemukannya

3.2K 333 43
                                    

Ava langsung memeluk Varrel seakan tidak ingin kehilangan lelaki itu lagi. Sempat ada suara gaduh akibat meja yang berbenturan dengan dinding kamar.

Varrel yang terkejut reflek menempelkan telapak tangannya di lantai agar bisa menahan beban tubuhnya. Ada apa ini? Apa parfum  yang tadi dia pakai titisan malaikat sehingga orang-orang jadi menggilainya?

Ah, dia tidak boleh seperti ini. Dengan posisi Ava yang tenggelam dalam dada bidangnya, membuat jantungnya semakin lama semakin berdetak cepat. 

Varrel menarik napas panjang. "Lo kenapa sih?"

Ava mulai tersadar. Dia kembali duduk menyeka wajahnya yang berderai air mata.

Varrel terperangah. Kenapa Ava menangis? Apa parfumnya berubah jadi bau pantat?

Ava segera mengambil ponsel, mengotak-ngatik layarnya beberapa saat, menunjukkan sebuah foto lama.

Ava segera mengambil ponsel, mengotak-ngatik layarnya beberapa saat, menunjukkan sebuah foto lama

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Mata Varrel membola. Anak ini... tidak asing lagi. 

"S... si-siapa?" Tatapan dengan nada Varrel gemetar. Hatinya terguncang hebat. 

Anak perempuan di dalam foto itu... orang yang selama ini selalu Varrel cari keberadaanya.

"I-ini gue..." lirih Ava dengan aliran air mata yang sudah tidak bisa dibendung.

Varrel terdiam. Bibirnya terasa kelu. Entah dia harus merespon bagaimana, intinya jantungnya diantara ingin meledak, atau melenyap.

"Gak mungkin..." Varrel menatap kosong dengan nada yang parau. 

"Gue udah berkali-kali datengin rumahnya, dia udah gak ada. Lo, jangan buat gue berharap leb——"

Ava mengeluarkan secarik kertas lusuh yang telah dimakan waktu.

Varrel menerimanya dengan gemetar. Napasnya yang memburu menjadi saksi tulisan sepuluh tahun lalu itu.

Senyum!Jangan sedih! Entar jadi ikan loh!
~Teman.

"Sepuluh tahun gue nyimpen kertas ini. Dan gue tahu, isi kotak musik itu pasti lagu River Flow in You." 

Oke, sepertinya kali ini dunia berhenti berputar demi menyaksikan betapa terperanjatnya jantung Varrel mendengar pernyataan Ava.

"Teman..." ujar Ava pelan penuh arti. "I-tu kamu, dan aku."

Hal yang terjadi berikutnya akan membuat pembaca jungkir balik langsung terjerembab.

Mereka berpelukan erat.

Ava terisak. "Akhirnya, kita ketemu lagi..."

"Aku kanget banget sama kamu..."

"Sepuluh tahun, kita gak pernah tahu nama satu sama lain."

Mendengar ada tangisan dari gadis di dekapannya, sebenarnya Varrel juga ingin menangis, tapi mengingat statusnya sebagai lelaki, dia harus menahannya.

BRAK!

Pintu terbuka menampilkan Santi——Bunda Varrel dengan sapu di tangannya.

"NGAPAIN KALIAN!"

Mereka yang tersentak langsung melepaskan pelukan.

Dengan wajah murkanya Santi mendekat mengangkat sapu tinggi-tinggi agar pukulannya mendarat mantap.

"Bunda masih ingat teman Varrel waktu kecil?" Varrel berkata cepat. 

Dan itu berhasil memberi jeda untuk pergerakan bundanya.

"Orang itu dia." Varrel menunjuk Ava.

Santi membeku di tempat. 

Klontang.

Sapu tergeletak di lantai.

Ava terkesiap saat badannya dibawa ke dalam dekapan Santi.

"Kamu apa kabar? Bunda kangen banget sama kamu," ucap Santi lirih sembari mengusap rambut Ava. 

"Iya Bun.... Ava juga kangen."

"Tapi kamu beneran gak papa? Papa kamu pas itu apain kamu?!" Santi melepas pelukan. Raut wajahnya berubah panik saat mengingat pertemuan terakhirnya bersama Ava.

Ava tersenyum. "Gak papa kok Bun."

Meski sebenarnya ada apa-apa.

"Tiga tahun setelah itu, Papa ditugaskan pindah kerja ke jakarta. Jadinya mau gak mau Ava harus ikut."

Sepasang ibu anak itu mengangguk paham. Pantes.

"Yasudah, Bunda ke bawah dulu ya, ada sesuatu yang mau Bunda berikan untuk kamu." Santi beranjak dan menghilang dibalik pintu.

Kini tinggal Varrel dan Ava di dalam kamar. Suasana terasa canggung ketika merasa tidak menyangka saja bisa dipertemukan kembali setelah sembilan tahun lamanya.

Ya meski, kenangan mereka hanya sebesar biji semangka.

Ava mengambil kotak musik yang sudah hampir usang. Diusapnya perlahan ukiran yang bertuliskan 'Teman' , kemudian tersenyum. 

"Ternyata lo masih nyimpan juga, makasih ya." 

Perlahan tangan mungil gadis itu membuka tutup kotak musik. Terdegarlah alunan klasik perlahan-lahan.

Varrel tersenyum kecil. "Boneka yang gue kasih, masih lo simpan juga kan?"

Ava mengangguk cepat. "Ya kali enggak. Hihi."

"Leher lo kenapa?'' tanya Varrel panik saat tak sengaja melihat luka memar dibalik kerah baju Ava yang tergeser.

Ava segera menutup lukanya. "Gak, gapapa." 

Ternyata luka tebasan papanya kemarin belum sempat menghilang.

"Papa mama lo, masih...?" Varrel bertanya takut-takut mengingat kondisi Ava yang dulu.

Ava mengela napas. "Its okey, not problem. Sudah biasa."

"Lo tambah cantik," tukas Varrel menatap dalam-dalam gadis di depannya.

Perempuan mana coba yang tidak salting jika dikatakan seperti itu?

Tapi Ava berusaha menyembunyikan degupan jantungnya itu dengan terkekeh. "Halah, lo juga tambah ganteng——"

"Bentar-bentar-bentar." Alis Varrel bertaut.

Dari sekian lama mengobrol, kenapa Varrel baru menyadarinya sekarang?

"Kenapa?" Ava ikut bingung.

"Coba lo ngomong sekali lagi."

"Hah?"

"Ya ngomong apaan dah, terserah."

"Ya ngomong apaan dah, terserah."

Varel menutup mulut terbelalak. "Bicara lo! Lancar!"

<>



instagram: writerrz_

PelukTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon