[1] Ava

7.2K 549 21
                                    

⚠14+⚠
MENGANDUNG KEKERASAN. HARAP BIJAK DALAM MEMBACA

<>

Ava menunduk, menggenggam erat tas ransel yang berada di pundaknya. Langit sudah gelap, jam tangan menunjukkan pukul tujuh malam.

Dia mendongak. Menatap rumah megah dengan sepasang pintu besar di dekatnya. Keringat dingin terus mengucur, melihat pintu masuk saja sudah membuat badannya gemetar.

Perempuan bernama Ava itu masih setia dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. Padahal lima jam yang lalu waktu sekolah telah usai, namun dia baru bisa melangkah kesini karena harus melewati masalah.

Ava menarik napas dalam-dalam. Sudah pasti perasaannya mewakilkan apa yang akan menyambutnya di dalam sana. Perlahan tangannya mendorong gagang pintu, masuk ke dalam.

Terlihat Arzan---Papanya, sedang duduk di sofa sambil menatap sebuah kertas di tangannya. Beberapa jarak di sampingnya, ada Leyna---Mamanya yang asyik mewarnai kukunya dengan kutek. Seperti hari-hari biasa, penampilan Leyna seperti pulang dari arisan. Memakai baju elegan berkelas, serta tasnya yang bermerk. Disamping Leyna, ada Lidya---Saudara perempuan Ava lebih muda satu tahun yang sedang berkutat dengan ponselnya. Ava yakin, pasti Lidya rela duduk manis di situ hanya untuk menunggunya pulang, dan melihat pertunjukkan spesial yang Papa berikan padanya.

Mendengar pintu kembali tertutup, Arzan dan Lidya langsung mendongak menatap Ava. Sedangkan Mama? Tidak perlu ditanya. Wanita itu mana peduli dengan kehadiran anaknya, sekalipun dia sudah tahu Ava yang membuka pintu.

Ava bisa melihat tatapan benci dari Papanya. Arzan berdiri, rahangnya mengeras. Nampak seperti orang naik pitam. Lantas pria itu melangkah, dan menunjukkan kertas yang dipegangnya tepat di depan wajah anak keduanya.

Itu adalah kertas nilai hasil ujian tengah semester sekolah. Tertera namanya 'Avarin Linderella Anan'. Dan di situ terpampang jelas, nilai-nilai yang Ava dapatkan, tidak ada yang lebih dari lima puluh. Miris sekali.

Tangan Arzan langsung merobek seluruh bagian kertas, meremas, dan membuang gumpalan itu mengenai wajah Ava. Ava hampir memundurkan langkah karena kaget.

"LIHAT NILAI KAMU ITU! MAU JADI APA KAMU NANTI DENGAN NILAI BODOHMU?! BISA-BISANYA KAMU MASIH BERANI MASUK KERUMAH INI DENGAN NILAI SEGINI!" Arzan langsung mengeluarkan amarahnya yang sejak tadi dia pendam. Di ujung kalimat, dengan tega pria itu mendorong tubuh anaknya hingga tersungkur.

Sakit?

Ya, sangat sakit.

Namun ini belum seberapa dengan apa yang akan Arzan lakukan setelah ini.

Dan tugas Ava? Hanya bisa diam menerima perlakuannya.

Mustahil untuk bisa menghentikan Papanya dengan tenaganya yang lemah.

Lidya langsung membuang ponsel kesembarang arah. Menopang dagu melihat kakaknya seperti melihat tumpukkan doorprize yang dinanti-nanti.

Sedangkan Leyna? Wanita paruh baya itu masih tetap berkutat dengan perawatan nail-nya, terus meniupi kukunya agar catnya mengering. Dirinya tidak pernah peduli dengan apa yang akan suaminya lakukan pada keluarga ini. Sekalipun ada yang terbunuh.

Arzan memukul Ava. "KENAPA BARU PULANG SEKARANG! TAKUT KAMU KENA PUKUL?!"

Papa kira Ava pulang terlambat gara-gara takut menerima pukulan dari dia? Tidak. Ava sudah sangat kebal dengan pukulannya. Tapi mana mungkin Papa akan percaya kalau Ava pulang terlambat gara-gara dikunci di kamar mandi sekolah bukan?

"KAMU ITU SELAIN JADI SAMPAH DISINI BISA APA?" Papa memukuli anaknya tampa ampun. Dari emosi stress bekerja sampai emosi dengan keluarga ini, dia lampiaskan di situ.

PelukWhere stories live. Discover now