[2] Gagap

5.6K 437 8
                                    

Demi melihat Leyna berjalan menjauh, wajah Ava kembali sendu. Seperti seseorang yang tidak punya semangat hidup, dia membuang napas. Menetralisir rasa sakit di tubunya.

Kakak lelakinya masih setia menatapnya dalam diam. Disaat keluarga yang lain terus-terusan menyudutkan Ava, maka Keenan lain. Anak pertama itu hanya diam bagai patung. Menyiksa tidak, menolong juga tidak.

Dulu sewaktu kecil, mereka tidak se-akward ini. Ava dan Keenan masih bisa saling bermain, tersenyum, mengenal satu sama lain sebagai adik kakak.

Tapi suatu hari, ketika Ava berumur tujuh tahun, dan Keenan berumur delapan, lelaki itu harus dirawat di rumah sakit karena koma.

Alasannya, karena ketahuan memberi makan Ava yang sedang menjalani hukuman kurungan dalam kamar atas suruhan Arzan. Disitu Papanya murka, dan langsung memukul Keenan tanpa ampun, hingga pingsan.

Setelah itu, apakah Arzan merasa bersalah?

Tidak.

Arzan memang menyuruh asisten rumah tangga untuk mengantarkan Keenan ke rumah sakit, tapi pria itu tidak pernah menjenguk anaknya selama Keenan tidak sadarkan diri. Hanya Ava yang disuruh untuk menjaga.

Ava menghela napas pelan mengingat kejadian itu. Mungkin karena itu juga kakaknya benci terhadapnya.

Ava berdiri menyambar tasnya, lalu pergi ke ruang makan untuk duduk disalah satu kursi. Mengambil sebuah roti tawar yang tersisa, mengoleskannya dengan selai stoberi, lantas mengunyahnya untuk mengganjal perut yang lapar.

Beginilah kesehariannya. Harus merawat diri dengan mandiri karena tidak ada yang peduli.

Setelah rotinya tandas, dia menaiki tangga untuk menuju tangga yang sempit nantinya. Ava sengaja di tempatkan di kamar terpencil di ujung rumah, agar ketika ada kerabat Arzan berkunjung ke rumah, Ava tidak ketahuan jika dia adalah anaknya.

Tapi saat dia melewati kamar Lidya, sang pemilik kamar langsung membuka pintu.

"Eiiits, tunggu. Nih seperti biasa!" Lidya menyodorkan empat buku tulis. "Ingat! Jangan sampai gak seratus! Gak mau tau itu besok pagi harus sudah selesai!"

Brak!

Pintunya ditutup keras.

Ava menghela napas pasrah menatap tumpukan buku di tangannya. Kejadian ini hampir menjadi rutinitasnya.

Papa dan teman-teman di sekolah tidak ada yang tahu sebenarnya Lidya tidak sepintar apa yang mereka bayangkan. Selama ini dia hanya mengandalkan otak Ava setiap mengerjakan tugas.

Lihatlah tumpukan buku ini. Ini semua adalah tugas sekolahnya yang diberikan dengan semena-mena kepada Ava. Dia sangat malas untuk mengerjakan tugas sekolah. Kebetulan otak kakaknya pintar, jadilah dia pergunakan untuk mendapatkan nilai sempurna.

Makanya dipandangan orang-orang Lidya adalah anak yang pintar. Padahal...

Kalian bisa menyimpulkan sendirikan, siapa yang sebenarnya berhak dibilang 'pintar'?

Ava tidak bisa menolak. Karena Lidya bisa saja melakukan apapun yang lebih kejam dari yang dilakukan Papanya.

Ava membuka pintu kamarnya. Jika dilihat dari luar, pintu kamar ini memang terlihat lusuh. Namun jika dibuka, kamar ini memiliki nuansa remaja modern. Dengan hiasan girly disekitarnya. Siapapun pasti akan takjub melihat keindahan dan kerapian ruangan ini.

Arzan yang menyuruhnya untuk tidak mengubah dekorasi pintu yang hampir koyak. Supaya jika ada orang asing yang berkunjung, mereka akan mengira itu adalah gudang.

Ava menaruh tas ke sembarang arah dan menaruh buku ke meja belajar. Lalu masuk ke kamar mandi, mulai membasuh tubuh dirinya.

Seusai mandi, karena merasa lelah, Ava pun merebahkan tubuhnya diempuknya kasur.

PRANG!

Tiba-tiba terdengar suara kegaduhan dari luar

"KAMU BISA SABAR SEDIKIT GAK SIH?!!"

"GIMANA BISA SABAR! MAS AJA NGASIH AKU DUIT DIKIT!"

"KAMU KIRA NYARI DUIT ITU SEMUDAH NYABUT DAUN?!"

"YA TAPI KAN AKU HARUS BELI KALUNG ITU SEKARANG MAS! BESOK ADA ARISAN, HARUS KETEMU TEMAN AK---"

BRAK!

"APASIH YANG KAMU PIKIRKAN SELAIN UANG, HAH?! KAMU TUH ENAK! CUMAN BISA JADI ISTRI YANG DIAM DIRUMAH---"

Ava langsung menyumpal telinganya. pasti Papa Mama berantem lagi.

Rasanya tiada hari tanpa pertengkaran kedua pasutri itu. Leyna seperti sudah biasa menerima bentakan dari sang suami.

Pasti kalian bertanya-tanya kan, gimana bisa hubungan kedua orang tua itu bertahan sampai sekarang padahal sering cek-cokkan. Jawabannya simpel. Itu semua karena uang bagi Leyna, dan karena martabat bagi Arzan.

Leyna tidak mempunyai pekerjaan. Dia hanya menjadi istri dari direktur kaya. Karena itu dia bisa hidup nyaman dengan barang-barang mewah disekelilingnya. Dan dia mendapatkan itu semua tanpa harus bekerja. Jadi dia sangat bergantung pada gaji Arzan. Maka dari itu mau tidak mau dia harus bertahan dengan suaminya ini.

Sama halnya dengan Arzan. Dia masih mau menjaga martabatnya sebagai lelaki yang baik, memiliki keluarga harmonis dipandangan publik. Jika disorot kamera, lelaki itu selalu terlihat bahagia sambil tangannya digandeng Leyna.

Jika semisal Arzan memutuskan bercerai, maka secara tidak langsung reputasinya menurun. Dan pasti juga jabatannya ikut menurun. Mana mungkin dia memutuskan karirnya yang telah dia bangun susah-susah hanya karena perihal cerai.

Ya, beginilah hidup Ava. Aneh dan rumit, namun begitulah kenyataannya.

Ava mengambil boneka beruang di ujung kasur. Dipandanginya lekat-lekat sebelum meluknya dengan erat.

"Ha-hari ini Papa mukul Ava lagi. Ma-mama gak peduli. Kakak juga. Se-seperti biasa, dia hanya diam natap Ava. Li-Lidya ngetawain Ava terus! Ma-Mama mukul kepala aku masa."

Ava melakukan rutinitasnya seperti biasa. Mencurahkan segala isi hatinya pada boneka beruang yang bisu ini.

Ava menderita penyakit gagap. Dia tidak bisa berbicara dengan lancar sejak umurnya tujuh tahun. Dan karena itulah juga Arzan tambah benci kepadanya, menganggap anaknya ini tambah malu-maluin.

"Ka-kamu dimana... A-Ava kangen kamu... Se-semoga orang yang sayang sama a-aku masih hidup ya," ucap Ava lirih pada boneka ini. Bagai sedang berbicara pada seseorang yang sedang dipeluk.

Ava teringat nenek. Orang pertama yang menyatakan sayang padanya. Tapi naas, nenek meninggal ketika Ava kecil berumur delapan tahun. Dan Ava tidak mau kejadian itu menimpa lelaki yang memberikan boneka ini.

Ava menghadap samping. Langsung terkejut melihat tumpukan buku di atas meja.

Astaga! tugas Lidya!

Ava segera beranjak, duduk di bangku meja belajar dan mengerjakan satu-persatu soal fisika pemberian Lidya.

Tiga jam berlalu, sekarang pukul dua malam. Ava mulai merasa pegal dengan soal ini. Dia belum menyelesaikan tugas sekolahnya sendiri masalahnya, tapi dia sudah mulai merasa ngantuk duluan.

Ava menguap, kantuknya tidak bisa dibendung.

<>

Ig: writerrz_

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang