60. KESEMPATAN MASIH ADA

275 53 14
                                    

✨-Happy Reading-✨

Seumur-umur, Dito tak pernah se-kacau ini. Gelisah, panik, dan khawatir. Semuanya menjadi satu, tanpa menyisakan ketenangan sedikitpun. Air dalam botol yang semula dingin kini menetes, membasahi permukaan lantai. Pikirannya terbagi 2, mengabaikan pening yang melanda sebagian kepalanya. Netra kelamnya lurus ke depan, hanya berkedip seperlunya. Bahkan Dito juga mengabaikan kehadiran Lisa disisinya, meski Adiknya itu lebih banyak diam sembari mengayunkan kakinya yang menggantung sebab kursi yang diduduki agak tinggi.

Ditinggalkan berdua, menciptakan kesunyian. Orang tuanya berada di ruang khusus, tengah membicarakan sesuatu yang penting dengan Dokter yang menangani Neneknya. Dito memang tidak menyukai sikap Neneknya yang arrogant, pengatur, dan keras kepala. Tapi, bukan berarti ia membencinya. Bagaimanapun ia pernah merasakan kasih sayangnya. Dulu, kala waktu belum membawanya menjadi laki-laki dewasa dengan pemikiran matang.

Huh.

Entah sudah ke berapa kalinya Dito menghela napas kasar. Kepalanya menunduk, tangan-tangan berhiaskan urat itu meremat kasar surai hitam legamnya. Benturan keras pada kepala bagian belakang Nenek cukup membahayakan, terlebih ia sudah renta, sampai sekarang wanita tua itu belum sadarkan diri. Mungkinkah ini sebuah balasan atas perbuatannya? Andaikan iya, Dito bingung harus menanggapi dengan apa. Ada di titik kebahagiaan atau malah sebaliknya.

"Kak Ito ..." panggil Lisa ragu-ragu, jari-jemarinya yang berada di paha tertaut.

Dito menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Ya?" tanggapnya.

"L-lisa laper," ucap anak berumur 6 tahun itu, terdengar seperti bisikan. Takut jika yang dimintanya itu merepotkan Kakaknya.

"Mau makan apa?" tanya Dito lembut, mengusak rambut Lisa gemas.

"Roti sama susu, boleh?" Lisa bertanya balik, mengerjapkan matanya polos. Pagi tadi ia sempat sarapan, tetapi tidak banyak karena orang tuanya terburu-buru untuk datang ke rumah sakit.

Tanpa basa-basi, Dito meng'iyakan permintaan Adik kecilnya.

"Tunggu di sini, ya," titah Dito tersenyum tipis, beranjak dari kursi lalu melangkahkan tungkai kakinya yang terasa begitu lemas.

Seminggu dihabiskan Dito untuk bolak-balik ke rumah sakit, sekadar bergantian menunggu dan merawat Nenek. Bersyukur ada beberapa mata kuliah yang mengadakan susulan UAS, meskipun sebelum itu Dito mendapatkan wejangan dari Mama dan Papanya selama sehari penuh. Namun, Dito masih belum bisa menceritakan apa masalahnya dengan mereka, terlalu takut jika membebani. Lagi pula Megi juga sulit ditemui belakangan ini. Ketika ia datang ke fakultasnya, tau-tau cewek itu sudah pulang. Menghubungi lewat telepon pun percuma, seolah-olah Megi enggan mengangkat panggilannya dan memilih me-reject.

Kantin rumah sakit lumayan ramai dikunjungi, Dito mendatangi salah satu stan. Mengambil roti selai blueberry serta susu kotak full cream berukuran besar. Nominalnya tak sampai menyentuh angka 20 ribu. Dito mengeluarkan selembar uang, mengetuk-ngetukan jari di etalase kaca sambil menunggu penjual mengambilkan uang kembalian.

"Terima kasih, Bu." tutur Dito menerima uang kembalian, mengangguk sopan pertanda ia akan segera pamit.

Si Ibu mengangguk, balas tersenyum. "Sama-sama, Nak," sahutnya.

Cowok berkulit tan itu membalikan badan, berjalan lurus di koridor dengan air muka datar. Untuk mengulas senyum rasanya sulit, Dito seakan tak mampu membuktikan jika kondisinya baik-baik saja berupaya menipu banyak orang. Ruang inap Neneknya berada di lantai 2. Disediakan lift, tapi Dito malah menggunakan tangga darurat. Hitung-hitung berolahraga sebab beberapa hari ini gairah hidupnya seakan direnggut paksa.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang