55. SEDIKIT PERIHAL MASA LALU

199 53 45
                                    

✨-Happy Reading-✨

Sejak jarum jam menunjukkan pukul 09.15 sampai 10.07 WIB Megi telah menghabiskan waktunya disalah satu cafe bernuansa klasik dipinggiran kota. Milkshake blueberry-nya juga sudah habis. Terhitung 2 kali waiters datang ke mejanya, menawarkan Megi untuk memesan lagi dan berakhir penolakan dengan dalih ia akan memesan setelah orang yang ingin ditemuinya datang. Megi menopang dagu, masih sabar menunggu. Mengusir bosan, ia mengetuk-ngetukan jari, menyesuaikan dengan lagu yang sedang di putar.

"Duh, sorry-sorry, gue telat!"

Megi langsung menegakkan punggung, tersenyum tipis memaklumi. Lagipula ini memang kesalahannya, mencuri waktu libur,  padahal bisa dimanfaatkan dengan berisitirahat penuh. Cowok bermata bulan sabit itu menarik kursi kosong tepat di hadapan Megi, mendudukkan bokongnya di sana seraya mengusap wajahnya kasar berkali-kali. Dapat dilihat dengan jelas jika ia baru saja bangun tidur.

"Ah, santai aja kali," timpal Megi terkekeh kecil, menyerahkan buku menu di atas meja.

"Lo udah lama nunggu, ya?" tanya Ganda tak enak hati, ia meringis akan kecerobohannya lupa menyalakan alarm.

"Nggak juga, baru beberapa menit," jawab Megi beralibi. Sejujurnya ia juga tidak mempermasalahkan soal ini, bukan masalah besar.

"Sebagai permintaan maaf, lo boleh pesan apa aja, nanti biar gue yang bayar." tutur Ganda menyunggingkan senyum lebar sampai-sampai sepasang matanya tenggelam.

Belah bibir ranum Megi agak terbuka, menatap lawan bicaranya dengan ekspresi tidak percaya. "Serius?" Anggukan kepala dari sang lawan bicara menjawab pertanyaannya. "Asik. Lain kali kalau ada janji sama gue, telat lagi aja, lumayan dapet untung!" seru Megi teramat bahagia.

Berteman dengan Ganda ternyata menguntungkan juga, pantas saja duo curut itu betah. Bagaimana tidak? Soal perut mereka tak perlu risau, tinggal mengajak Ganda secara baik-baik ke salah satu tempat makan lalu urusannya beres tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun. Andaikan Megi tidak kena guna-guna seorang Dito Lavian, kemungkinan saat ini ia telah menjadi budak cinta Ganda. Benar-benar paket komplit untuk dijadikan calon suami. Tampan, keren, bentuk tubuhnya bagus, dan paling penting tajir.

"Emang, ya, sifat lo sama Dito nggak jauh beda. Udah cocok." canda Ganda sambil mengangkat sebelah tangan, memanggil seorang waiters supaya mendatangi meja yang ditempati oleh mereka.

"Dih, enak aja!" sungut Megi mendelik tajam.

Selepas memilah dan memilih menu yang diinginkan, waiters itu segera mencatatnya di buku khusus, mengulangi jenis pesanan agar tidak terjadi kesalahan yang merugikan 2 pihak sebelum melangkahkan tungkainya kembali ke meja kasir. Ganda bergerak melepaskan hoodie putihnya di atas pangkuan sebab merasakan gerah, panas matahari di luar juga begitu terik.

"By the way, jadi apa yang mau lo omongin?" tanya Ganda menumpukan kedua tangannya yang terlipat pada meja kayu.

"Persoalan Dira."

"Uhuk ... uhuk ..." Entah mengapa Ganda bisa tersedak saliva-nya sendiri, cowok itu meringis sesaat. "D-dira?" cicitnya.

"Kaget banget, Gan. Gue yakin lo tau banyak tentang Dito, Dira, dan kisah mereka." ucap Megi dengan keyakinannya yang kuat.

Ganda menggeleng ribut. "Nggak, Gi. Serius, gue nggak tau apa-apa, lo tau sendiri Dito orangnya agak tertutup." Nyalinya seketika ciut kala cewek berambut ombre itu membalas dengan sorot mengintimidasi yang sangat kentara. "Iya-iya. Lo boleh tanya apa pun, gue juga cerita seadanya, tapi kalau udah kelewat batas gue milih bungkam." terang Ganda kelewat pasrah.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Where stories live. Discover now