43. RONDA MALAM

252 50 47
                                    

✨-Happy Reading-✨

Sarung, senter, lilin, krim anti nyamuk sudah disiapkan. Kurang satu, cemilan selama berjaga-jaga di pos ronda. Jam dinding masih menunjukkan pukul 20.27 WIB, sedangkan jadwal ronda dimulai 1 jam lagi. Sampai kini belum juga ada kabar dari partnernya, mendadak Dito gelisah, bisa jadi Arka membatalkan secara sepihak. Memang tidak bisa dibiarkan. Dito meraih benda pipih yang tergeletak di kasur, berjalan mondar-mandir seraya menekan ikon panggilan pada kontak tertera di layar. Mengaktifkan loud speaker menunggu panggilan terjawab. Namun, dengan kurang ajarnya di reject.

Dito Lavian.
Anjing, di reject. So fun anda begitu?|
Lo di mana?|

Arka jones
|Telpon lo gak penting
|Rumah Pakde, lah

Dito Lavian
Lo gak ada bakat buat bohong, Ar|

Arka jones
|Serius ini, anjing

Dito Lavian
Coba angkat video call dari gue|

Arka jones
|Ogah, gue lagi mode dekil kayak gembel

Dito Lavian
Elah, cepetan angkat|

Arka jones
|No! Tak akan ku serahkan pada kampret durjana

Dito Lavian
Yah, gagal. Kapan lagi gue bisa liat gembel|

Arka jones
|BACOT

Amat mengenaskan, kontaknya langsung di blokir oleh Arka. Tampaknya sang teman sedang dalam keadaan mood buruk, apa yang ia lakukan pasti serba salah. Membujuk cowok bertubuh jangkung itu gampang-gampang susah, apalagi kalau emosi berbicara menggunakan bahasa Sunda lalu mencak-mencak tak jelas. Rungu-nya tidak mampu menangkap jelas, terlalu cepat. Masuk dengan sopan dari telinga kiri langsung keluar ke telinga kanan.

Dito melangkahkan kaki keluar dari kamar. Kesunyian menyambut setiap derap langkah menjelajahi keramik yang terasa dingin. Papa sedang lembur, kemungkinan pulang ke rumah pukul 1 dini hari, sedangkan Mama dan Adiknya sudah tertidur pulas. Dito menuruni satu per satu anak tangga, mematikan saklar lampu ruang tamu supaya menghemat listrik. Pintu coklat dibuka sedikit, selepas keluar ia tutup kembali tanpa menguncinya.

Senter dalam genggamannya dinyalakan, membantu menerangi jalan komplek. Pepohonan rimbun, semak-semak, bahkan rumah-rumah warga lain tak luput dari cahaya senter yang sengaja ia arahkan demi menghilangkan bosan. Letak rumah Pakde Arka memang berbeda blok dengannya, lumayan jika ditempuh dengan berjalan kaki. Tumben-tumbenan lapangan basket sepi, biasanya anak-anak SD sampai SMP berkumpul di sana, sekadar bercengkrama di bawah terangnya rembulan atau bermain lari-larian hingga dibanjiri keringat. Infonya hari Senin dilaksanakan ujian kenaikan kelas secara serentak.

Senyumnya mengembang kala netra se-kelam langit malam menangkap pemandangan rumah bercat hijau alpukat. Semangatnya bertambah, ia menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan sebelum berlari kencang. Dito masuk ke area pekarangan yang dipenuhi tanaman lidah buaya, pandan, kencur, dan janda bolong harga selangit, padahal terlihat biasa saja, tidak menarik tapi entah mengapa laku di pasaran. Namanya juga strategi marketing, orang-orang berlomba-lomba mencari cara agar terjual habis.

Ting ... tong.

Bel dekat pintu ditekan berkali-kali, tak peduli sang pemilik rumah terganggu dan risih atas perbuatannya. Lama-kelamaan Dito gemas karena sama sekali tidak mendapat sahutan dari dalam, jangan-jangan Arka berbohong padanya. Bukan bermaksud suudzon, cuma waspada. Tangannya beralih mengetuk pintu, mengintip dari celah jendela yang tertutupi gorden. Dito menyalakan handphone, mengetikkan nomor milik Arka yang telah dihapalnya, tanpa basa-basi langsung menelepon, tetapi lagi-lagi tidak terjawab sebab sedang berada dipanggilan lain.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Where stories live. Discover now