44. SALAH PAHAM

247 57 54
                                    

✨-Happy Reading-✨

Pertunjukan band dadakan di gedung fakultas bahasa dan seni didatangi oleh ratusan mahasiswa dari berbagai tingkat dan jurusan yang berbeda. Acara pameran berjalan lancar, tampak menarik perhatian. Berbagai jenis lukisan hasil karya berjajar rapi mengelilingi, mulai dari lukisan abstrak, realistis, dua dimensi, romantisme, naturalisme, dan tentunya masih banyak lagi. Bahkan ada beberapa anak UKM seni budaya yang menjajakan hasil buatan mereka, bisa berupa gelang, tenang soal harga tidak semahal itu, pas dikantong.

'Harta dan tahta ...'

'Jelek nggak apa-apa asal banyak duitnya ...'

'Yang penting apa?!'

'Harta dan tahta!'

Kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya sedikit diturunkan, memincingkan mata menatap dengan sorot meremehkan yang terlihat jelas ke arah panggung kecil dibuat dadakan. Telinganya berdenging ngilu seakan mendengar tiupan suling Squidward selama 7 hari 7 malam tanpa jeda untuk beristirahat sejenak, berbarengan dengan suara cempreng Maudy kala dikejar-kejar anjing besar berwarna hitam, penjaga pohon jambu Pak Anas demi membuat sepiring rujak.

"Bisa nggak itu tuker posisi, gue aja yang nyanyi, kapan lagi gue yang apatis ini riya." ujar Dito mengusap rambutnya ke belakang, bergaya bak model bayaran nasi kotak sebungkus per harinya.

"Kemarin-kemarin ditanya soal ginian, lo jawab ogah," sahut Ganda menyeruput yoghurt anggur di dalam botol.

"Ya, gimana, suara gue itu merdu-able banget, gue takut yang denger pada falling in love." Dito mengelus-elus lehernya, berdeham keras guna mengetes suara yang keluar.

Ganda mendelik sinis, memusatkan sepasang mata sipitnya ke arah panggung. "To, waktu itu tetangga gue sifatnya over pede, besoknya mati." tutur Ganda meyakinkan.

"Dasar cucu Firaun!" sungut Dito menaikkan kacamata hitam ke atas kepalanya. "Eh, tapi kalau gue mati duluan, tolong kain kafannya cari yang polkadot gemesin, di liang lahat tambahin AC juga soalnya hot, takut gue nggak fokus sama interviewnya." Jari-jarinya mengetuk lengan bagian kanan.

"Semoga yang di atas mengaminkan. Ada sepatah atau dua patah kata yang mau lo bilang lagi nggak? Soal pembagian harta gono-gini keluarga lo contohnya," tanya Ganda terkekeh geli disela-sela kegiatan menikmati setiap tetes yoghurt di lidahnya yang mulai habis.

"Nggak, makasih. Hartanya mau gue bawa ke kuburan,"

"Anjing!" umpat Ganda melempar botol bekas yang digenggamnya pada tong sampah anorganik. Sengaja tulisannya dibuat dengan ukuran besar agar orang-orang tak salah lagi.

Gelak tawa sebagai tanda akhir dari percakapan random tersebut. Dito menggulung lengan kemeja flannel, bersidekap dada sembari mengunyah permen karet hasil merampas. Memang yang gratisan itu rasanya lebih nikmat. Penampilan band telah usai, tergantikan oleh cewek berambut pirang yang duduk anteng di kursi sambil memangku gitarnya. Di saat semua orang terlarut dan terkesima dengan penampilan itu, Dito tidak merasakan yang sama. Netra se-kelam langit malam terus menjelajah ke setiap sisi penjuru lapangan, mencari-cari keberadaan seseorang di antara ratusan mahasiswa yang bertebaran.

Atensinya teralihkan, jarum jam menunjukkan pukul 09.43 WIB. Helaan napas kasar keluar dari celah bibirnya yang kering, belakangan ini ia jarang mengonsumsi air putih. Secangkir kopi, es teh manis, jus buah segar. Jangan salahkan penyakit yang menyerang jika kondisi imunnya tidak dapat dikatakan baik-baik saja. Benda pipih yang belum lepas dari genggamannya diangkat sebatas perut, kepalanya tertunduk menyesuaikan jarak. Jari-jarinya bergerak amat lincah, menekan huruf-huruf yang tertera di keyboard.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora