37. TANDA-TANDA?

242 59 39
                                    

Sepenting apa pun lo buat dia, bukan berarti lo punya hak ngatur-ngatur hidupnya.

✨-Happy Reading-✨

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

✨-Happy Reading-✨

Jari-jemari lentik Maudy berhenti bergerak, menekan tombol enter di keyboard laptop. Dagunya ditopang, sedangkan tangan sebelahnya tak henti-henti mengambil kripik kentang dari dalam toples. Pipinya pun menggembung, menambahkan kesan lucu, siapa pun yang melihatnya pasti ikut tertarik dan mendambakan sosoknya. Selasa ini tidak ada kelas, semua tugas juga sudah dikerjakan walaupun terburu-buru sebab diberikan deadline yang amat singkat. Oleh karena itu, sekarang waktunya refreshing sejenak, setidaknya dengan menonton film horor.

Di luar sana hujan turun deras, terkadang diikuti hembusan angin kencang sehingga ranting-ranting pohon bergerak tak karuan menimbulkan bunyi retakan mengerikan. Sebelum acara menonton film dimulai, Maudy telah menyiapkan 2 cangkir cappucino hangat beserta makanan ringan lain, cukup dalam menghangatkan badan. Terlebih Mama dan asisten rumah tangga sedang tidak ada di rumah. Mungkin nanti Maudy akan meminta Megi menginap, lebih terkesan paksaan karena ia tidak mau mendengar kalimat penolakan.

"Mau yang ini nggak?" tanya Maudy menunjuk salah satu film horor yang baru rilis 1 bulan lalu menggunakan kursor.

Pertanyaannya itu terabaikan, Maudy agak menolehkan ke belakang, posisinya yang tengkurap di atas kasur king size malah mempersulitnya. Sayangnya sang empu tetap mengacuhkan, berjalan mondar-mandir tak tentu arah sembari bersidekap lalu tidak lama matanya ikut terpejam merapalkan kata-kata dalam sebuah bisikkan. Maudy mendelik, berubah menjadi duduk bersila dengan sorot keheranan.

"GI!" teriak Maudy melemparkan bantal, melesat tepat mengenai sasaran.

"EH, NGGAK USAH PAKE TERIAK!!" Megi berdecak sebal, tanpa sadar ia juga berteriak begitu kencang.

"Terus barusan lo apa? Nyinden?!" tanya Maudy terkesan sindiran, ia memutarkan bola matanya jengah. "Kenapa, sih? Gelisah banget perasaan," Sejak tiba di rumahnya, sifat Megi memang agak aneh karena lebih sering melamun sendiri.

Megi menghela napas gusar, melangkahkan kakinya mendekati kasur, mendudukkan bokongnya di pinggir ranjang. Manik hitamnya pun menajam persis serigala yang ingin mencabik korbannya. "Kalau Kak Erlan sampai ilfeel sama gue, ini semua salah elo!" sungutnya.

"Anjir, apa-apaan! Itu resiko lo, ya." sahut Maudy yang jelas-jelas tidak terima. Ini tentang perasaan Megi, mengapa ia juga harus terkena imbasnya.

"Dy, biasanya dia chat gue sekadar basa-basi, tapi sekarang nggak sama sekali, chat gue yang kemarin malem aja nggak di read." terang Megi mengelus-elus case benda pipih dalam genggamannya, bibirnya pun mengerucut.

Tahan. Berteman dengan Megi harus mempunyai mental yang kuat, banyak-banyak bersabar, haram hukumnya mengumpat kasar karena nyatanya Megi bisa lebih galak dari bayangan. Sudut bibir Maudy tertarik lebar, sebuah pencitraan semata supaya temannya itu berhenti mengeluh akan masalah yang sama. Gendang telinganya terasa nyeri, topik pembicaraan tidak jauh dari perubahan sifat Erlan. Menjelaskan dan menenangkan sampai mulutnya berbusa pun Megi tidak berhenti berpikiran buruk.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Where stories live. Discover now