54. HAPPENS AGAIN?

212 50 25
                                    

✨-Happy Reading-✨

"Murung mulu. Lo kenapa?" tanya Ganda mengamati salah satu temannya yang menopang dagu dengan sorot mata kosong. Bahaya kalau dibiarkan, takut kerasukan karena ada Jin nekat yang masuk, nanti yang repot semua orang.

Dito menghela napas gusar, mengacak-acak rambutnya. Sangat menggambarkan frustasi tingkat akut. Taman fakultas psikologi menjadi tempat persinggahan akhir sehabis mengisi perut di angkringan dekat universitas. Lagipula sekalian menunggu kelas Ganda dimulai, masih ada waktu berbincang-bincang santai dibawah rindangnya pohon ditemani instrumen musik dari gitar serta suara Arka yang agak sulit dikatakan merdu untuk di dengar.

"Gue bingung, Gan," lirih Dito menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, kelopak matanya terpejam rapat sambil merasakan hilir mudik angin kencang yang sesekali berhembus.

Alis Ganda tertaut, kerutan di dahinya muncul. "Konteks?"

"Tiga hari lalu ada acara jamuan makan malam gitu, lo tau sendiri Nenek gue suka berulah terus dia maki-maki Megi terus ngusir." jawab Dito malas. Ia sengaja menceritakan setengah-setengah, yakin jika kedua temannya itu akan paham maksudnya terlihat dari cara mereka yang membalas dengan kekehan kecil.

"Anjir, lo belum minta maaf?"

"Ya, elah, baru sampai depan rumahnya aja gue udah kena bogem." Respon Dito atas pertanyaan yang diajukan oleh cowok pemilik eyesmile. Ia juga memperlihatkan memar kebiruan di pipinya walaupun sudah lumayan memudar, tapi rasanya masih nyeri.

"Bentar, gue mau ketawa di atas penderitaan lo dulu," tutur Arka tergelak puas. Memang definisi teman yang sesungguhnya jika ada teman kesusahan wajib ditertawakan dulu baru ditolong.

"Anjing lo, Ar!" umpat Dito merotasikan bola matanya.

"Kalau lo susah nemuin dia di rumah, samperin aja kali ke fakultasnya," ujar Ganda memberikan saran, siapa tau ada secercah harapan sehingga mereka bisa berbicara empat mata tanpa penggalang.

"Ck, Maudy kelakuannya kayak lampir, setiap gue mau bicara sama Megi langsung dilempar sepatu."

Andaikan mudah, sudah ia lakukan dari tempo lalu daripada membuang waktu. Namun, di mana ada Megi pastinya ada Maudy. Belum sempat membuka suara saja Maudy siap-siap mengambil ancang-ancang guna melemparnya dengan sepatu sampai tepat sasaran seraya memberikan tatapan tajam yang membuat nyalinya mendadak menciut. Enggan berhadapan dengan pawang Megi yang menyeramkan, alhasil Dito lagi-lagi mengulur waktu.

"Sabar aja, mungkin Megi masih butuh waktu buat nggak masuk lingkar keluarga lo yang menurut gue sendiri aneh." sahut Arka memetik gitar asal, menyamankan posisi duduknya di rerumputan hijau yang selalu bersih.

"Nenek gue doang yang biang masalah, ya, jangan sekate-kate." cibir Dito tak terima. Serius, deh, Dito benar-benar ikhlas kalau ada orang yang mau adopsi Neneknya ketimbang di rumah cuma bikin pening.

"Sudahi sedihmu Brother, mari ngopi bersamaku," ajak Arka mengangkat cup kopi transparan sehingga warnanya yang mencolok tampak jelas.

"Hitam banget, air comberan ini, ya?" tanya Dito menebak, meringis saat melihat temannya itu menenggak kopinya rakus. Bahkan Dito dapat membayangkan sepahit apa rasanya, meskipun telah dicampurkan potongan es batu.

"Pala lu kotak!" damprat Arka. Ah, mereka belum tau kalau selera kopinya ini termasuk unik, ada sensasi tersendiri. Lagipula Arka bukan si penyuka makanan atau minuman yang mengandung gula berlebih.

Peralihan topik berganti ke arah random. Dito juga lebih baik, tidak se-murung tadi, meskipun Arka menjadi korban kejahilannya. Sudah biasa, kuncinya cuma sabar. Belum aja ditendang sampai mental ke Afrika. 

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Where stories live. Discover now