31. BAD MOOD

256 56 89
                                    

✨-Happy Reading-✨

Sayup-sayup terdengar suara ayam berkokok, matahari di ufuk timur masih malu-malu menampakkan diri. Pasca hujan lebat saat malam hari, sampai saat ini langit menggelap, seolah-olah pertanda jika rintik disertai kilatan petir akan kembali hadir menyapa permukaan bumi. Rasa dingin menusuk indra peraba, membuat siapapun itu memilih bergelung dibawah gulungan selimut tebal, bermalas-malasan ria tanpa batas waktu yang ditentukan.

Namun, itu tidak berlaku untuk Dito kali ini. Sebentar lagi ujian semester 2 akan dilaksanakan, mempertaruhkan nilai IP-nya karena semakin tinggi nilai IP yang dapat dicapai, maka semakin bertambah jumlah SKS  yang dapat diambil. Belum lagi hari ini ada jadwal kuis, kepalanya terasa ingin pecah, berteriak keras memaki pun tidak ada gunanya. Dito mengusap tengkuk, menguap lebar kala kantuk menyerang. Kasur king size begitu menggoda, seperti memintanya untuk kembali berbaring dan melupakan segala tugas pentingnya.

"Plis, jangan kurang ajar lo! Ngegoda gue lagi, jatah bolos gue udah dipake." monolog Dito seraya mengarahkan jari telunjuknya pada benda mati yang tidak bersalah. Di mata batinnya, kasur melambai-lambai meminta ia supaya bermanja-manja.

Dito mengambil makalah serta catatan penting lainnya yang tertata rapi di atas meja belajar, memasukkan ke dalam ranselnya. Tadi malam, sehabis mengerjakan tugas bersama dengan Arka, niatnya pulang ke kost diurungkan. Jaraknya yang jauh membuat Dito berpikir dua kali, apalagi hujan bertambah deras. Dengan amat terpaksa ia ke rumah orang tuanya, menyusup masuk ke dalam tanpa memberi kabar, beruntung ia mempunyai kunci cadangan dari Papanya.

"Semoga hari ini batal kuis, dosennya lagi berburu shopee, Aamiin." gumam Dito tersenyum secerah masa depannya dengan Mbak IU atau paling tidak Mbak Somi.

Perlengkapan kuliahnya sudah beres, Dito melangkahkan kakinya keluar kamar, tak lupa menutup pintunya. Keadaan masih sepi, bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamar kedua orang tuanya serta Lisa yang letaknya berhadapan dengan kamarnya. Dito bersenandung kecil, menuruni satu per satu gundukan anak tangga. Energinya untuk menghadapi kepadatan jadwal hari ini sudah terkumpul, walaupun prosesnya cukup panjang.

"Lho, kamu ada di rumah ternyata," ujar wanita tua yang tengah mengoleskan selai kacang pada selembar roti tawar. Entah sebuah pernyataan atau mungkin pertanyaan, sulit dibedakan.

"Kenapa, Nek?" tanya Dito saat berada di anak tangga terakhir, mengeratkan cengkraman pada tali ranselnya.

Sekar menggelengkan kepala, mendudukkan bokongnya di kursi lalu menenggak teh manis di meja makan. "Mulai nggak betah di kost? Anak manja aja berlagak sok mandiri," ejeknya.

"Repot banget ngurusin hidup cucunya, udah bau tanah juga." gerutu Dito, tentunya masih dapat di dengar oleh Neneknya. Persetan, sikap hormatnya menghilang bagaikan tiupan angin pada pasir pantai.

"Nenek begitu karena mau masa depan kamu itu bener," Sekar menimpali, bola matanya ikut membesar dan amat tajam. "Lusa ada acara makan malam, sekalian perkenalan kamu sama anaknya Tante Narsi, kalau cocok tinggal tunangan." tutur Sekar tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir teh, bahkan tidak peduli raut keterkejutan cucunya sendiri.

Tiap kali mendengar ataupun membahas perkara perjodohan, stres langsung menyerang Dito. Siapa pula orang yang sukarela menerima perjodohan dengan orang yang tidak kenal cuma atas dasar baik, cantik, dan menjunjung tinggi pasal tata krama. Jatuh cinta pada pesona orang asing tak semudah itu, meskipun terkadang tercetus kalimat cinta datang karena terbiasa. Ah, ayolah, kisah perjodohan berujung bucin itu terlalu klise, jangan mudah berekspektasi sebab realita kehidupan berbanding terbalik.

"Bisa nggak, sih, nanya dulu sebelum mutusin sesuatu? Dito nggak bisa, banyak tugas kuliah." ketus Dito, secara tidak langsung ia menolak ajakan makan malam tanpa berdasar.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Where stories live. Discover now