41. TRAUMA IS NOT HEART

242 57 66
                                    

✨-Happy Reading-✨

"LISAAA!!"

Sepasang kaki tanpa alas itu terus menapaki lantai dengan langkah yang sengaja dihentak, membanting pintu kamar lalu terburu-buru menuruni setiap anak tangga. Berlarian tak tentu arah sekedar mengejar anak berusia 6 tahun yang melompat-lompat kegirangan begitu lincah sambil mengibarkan kaos Deus berwarna hitam yang baru tiba diantarkan oleh kurir. Dito membungkukkan badan, mengatur napasnya yang memburu.

"BALIKIN SINI! ITU KAOS KAKAK BARU BELI!" pekik Dito mengulurkan tangan, berharap besar Adiknya itu mau mengerti dan mengembalikan barang yang bukan miliknya.

Seakan bebal, Lisa turun dari sofa dengan hati-hati, tersenyum lebar sampai-sampainya deretan gigi kecilnya terlihat. Tangan mungilnya melambai-lambai, menantang sang Kakak agar kembali mengejarnya. Air muka kesal yang ditunjukkan malah membuatnya bahagia, bahkan tergelak puas layaknya mendapatkan hiburan gratis. Bagaikan kilat, Lisa melesat keluar dari rumah, lagi-lagi Dito mengerang frustasi.

"ADUH, GUSTI NU AGUNG!!" Dito tak mampu berkata-kata saat mendapati kaos barunya tercebur di kolam ikan dekat pekarangan rumah.

Ditatapnya tajam sang Adik yang menundukkan kepala di depan pot bunga mawar, memainkan jari-jemarinya demi menghindari amukan. Dito mengacak rambutnya kasar, belum sempat mandi makin terlihat seperti gembel. Amarahnya yang meluap ditahan sedemikian rupa, menarik kemudian menghembuskan napas gusar supaya bisa bersikap lebih tenang. Dito melangkahkan kaki mendekati kolam, mengambil jaring di rerumputan untuk memudahkannya meraih kaos yang mengambang di tengah-tengah kolam.

"Ini kenapa pada teriak-teriak, sih? Dari tukang sayur aja kedengeran," Davina menutup gerbang, menghampiri kedua anaknya yang saling diam sambil membawa plastik berisi sayur-mayur mentah.

"Ma, Lisa ndablek, tuh." adu Dito dengan wajah tertekuk. Tangannya memeras kaos berbau amis hingga tidak ada lagi air yang menetes.

"Nggak sengaja tau," timpal Lisa tak terima jika hanya dia yang disalahkan.

Dito mendelik sebal, "bohong. Dari tadi Kakak udah bilang balikin kaosnya, kamu malah dibawa-bawa keluar." ujarnya membeberkan kebenaran, ia dapat melihat rasa bersalah yang tersirat melalui bola mata sang Adik.

"T-tapi Lisa kesandung, salahin batunya aja, huwaaa ...," Tangis Lisa menggelegar, mendudukkan bokongnya asal sembari menendang-nendang angin.

"Lho, kok malah nangis?" Davina menggelengkan kepala heran, menarik lembut pergelangan tangan anak bungsunya agar mau beranjak. Terlebih tadi malam sempat hujan, rerumputan basah dan banyak kuman. "Cup ... cup. Minta maaf dulu sama Kakak," titahnya menghapus jejak-jejak air mata pada pipi chubby Lisa menggunakan ibu jari.

Lisa mendongak takut-takut, bibirnya melengkung ke bawah. "Minta maaf, Lisa nggak mau ndablek lagi." lirihnya.

"Hm." Disuguhi pemandangan yang menggemaskan, seketika imannya lemah, ia tidak sanggup marah terlalu lama.

"Ya, udah, kita masuk ke rumah." ajak Davina merangkul bahu sempit Lisa, meninggalkan Dito yang masih termenung sendirian.

Dito memilih kembali ke kamarnya, sebelum itu menaruh kaos barunya yang bernasib naas di bak kecil disertai bubuk detergen untuk direndam selama beberapa menit. Baru ingin mengangkat kaki menyusuri tangga, handphone dalam genggamannya berdering menampilkan satu deret nama yang sudah ia hapal di luar kepala. Pada akhirnya, Dito duduk di anak tangga terbawah, menempelkan benda pipih ke telinga bagian kanannya.

"Halo?" sapa Dito menunggu si penelepon dari seberang sana merespon.

"D-dit ... hiks."

"Kenapa, sih, kenapa?" tanya Dito sabar, paling-paling topik pembicaraan kali ini tak jauh-jauh dari kejadian tempo lalu.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Where stories live. Discover now