52. DINNER

217 50 16
                                    

✨-Happy Reading-✨

Anggap saja yang dialami Dito saat ini adalah sebuah bencana besar. Terlalu sering mencari cara menggagalkan, tetapi berbeda dengan hari ini. Dito benar-benar tidak bisa menghindar, apalagi kabur. Lagi-lagi dihadapkan pada pertemuan mencekam dengan embel-embel makan malam lalu berakhir saling menjodohkan. Selaku korban ke kolotan sang Nenek, Dito hanya mampus menghela napas pasrah. Pantulan cermin menampilkan gurat lelah yang begitu kentara. Seberapa keras untuk menolak, maka kenyataan itu tidak membuahkan hasil.

Cklek.

Netra sekelam malam itu teralihkan, wanita paruh baya dengan balutan dress sebatas betis tersenyum hangat. Melangkahkan kakinya memasuki kamar sang anak sembari merentangkan tangan, menyalurkan afeksi dalam pelukan erat serta usapan lembut di punggung tegap tersebut. Pelukan terlepas, tak sekalipun Davina melepaskan pandangannya pada Dito, tangannya bergerak merapikan kemeja bermotif pohon kelapa serta kaos putih polos sebagai dalaman.

"Ganteng banget anak Mama," tutur Davina memuji, menyampirkan tiap helaian rambut yang menutupi dahi sang anak sulungnya.

Senyum Dito merekah, meskipun tampak jelas ada unsur paksaan. "Mereka udah dateng?" tanya Dito mengalihkan pembicaraan ke arah yang jauh lebih serius.

"Belum, tapi Nenek kelihatan antusias nunggunya." jawab Davina memelankan suara, jujur ia tak enak hati, terasa menjadi orang tua jahat dan tidak dapat diandalkan karena selalu berada di posisi patuh, tapi mengorbankan orang lain.

"Jelas, tamu spesial," canda Dito diakhiri kekehan kecil.

"Mau langsung minta dia ke sini?" Kali ini berganti Davina yang mempertanyakan figur penting yang turut hadir dalam jamuan makan malam ini.

"Biar aku jemput di depan komplek, katanya berangkat sendiri."

Davina mengangguk-angguk mengerti, menepuk bahu Dito benar-benar pelan. "Ya, udah, cepat pergi." titahnya.

Tungkai kakinya melangkah keluar dari kamar, meninggalkan sang Mama yang kini terdiam menatap punggung tegapnya menjauh dari penglihatan. Dito menuruni satu per satu anak tangga dengan perasaan was-was. Takut jika Neneknya tiba-tiba muncul lalu memintanya agar duduk manis di sofa selagi menunggu para tamu yang katanya penting itu datang. Hembusan napas lega terdengar, buru-buru ia berbelok menuju pintu rumah bagian belakang, tidak peduli bila jaraknya semakin jauh yang terpenting keadaan aman.

Kala membuka pagar kayu, ia dikejutkan dengan kedatangan Lisa. Sebelum anak itu menyapanya dengan teriakan, Dito membekap mulutnya seraya melayangkan tatapan penuh peringatan. Naas, telapak tangannya digigit kuat-kuat, membuat Dito melepaskannya secara paksa. Lisa melempar kucing berwarna oranye berjenis Persia ke rerumputan—yang dipeluknya. Kini berkacak pinggang, memperhatikan sang Kakak dengan tatapan selidik.

"Kak Ito mau ke mana?" tanya Lisa penasaran. Tubuhnya dibalut baju kodok semata kaki dan rambut yang diikat 2 entah mengapa membuatnya jauh berkali lipat lebih menggemaskan.

"Keluar sebentar," jawab Dito malas. Padahal niatnya ingin cepat-cepat pergi, tapi Adiknya malah sebagai penghalang.

"Kenapa lewat pintu belakang?" Rasa keingintahuan Lisa terlalu berlebih, maklum sifat kepo-nya memang turun-temurun.

"Ada tukang rentenir di depan," Dito tentu beralibi.

"Bohong?"

"Bener. Udah, deh, nggak usah banyak bacot." ucap Dito gemas. Mau dijelaskan panjang lebar pun anak berumur 6 tahun itu tidak akan mengerti, yang ada waktunya terbuang sia-sia.

Lisa merentangkan tangannya lebar-lebar, mencegah kepergian Dito dari hadapannya. "Ish, ikut!" pintanya.

"Jangan! Diam-diam di sini aja, sih." bujuk Dito agar Lisa menurut. Saat ia mengambil langkah ke kiri, maka Lisa akan melakukan hal yang sama, begitupun sebaliknya. Lama-kelamaan Dito dibuat geram dengan tingkah lakunya.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Where stories live. Discover now