34. THE FACTS LOSE

247 54 17
                                    

✨-Happy Reading-✨

Megi menggigiti kukunya yang memajang, berharap-harap cemas sembari memperhatikan ruang kamar orang tuanya dari celah-celah pintu. Hatinya bimbang, memilih menutupi kebohongan ini atau membongkarnya lalu menerima segala resiko. Megi membenturkan jidatnya ke tembok bercat putih bersih tanpa noda, sangat pelan jadi tidak menimbulkan rasa sakit serta bunyi. Sejak malam ia sulit untuk tidur, kelopak matanya terus-menerus terbuka, pikirannya berkecamuk terlalu jauh. Lama-kelamaan ia bisa kehilangan kewarasannya.

Sepasang kaki jenjangnya melangkah mendekati pintu coklat, mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi. Belum sempat menyentuh benda berbahan dasar kayu tersebut, buru-buru Megi menarik kepalan tangannya ke samping pinggang. Oh, ayolah, mengapa harus tegang seperti ini, seolah-olah ia akan diberi puluhan pertanyaan oleh Pak Rehan—guru matematika sewaktu SMA yang cadel 'S' dan menyulitkan anak muridnya untuk mengerti maksudnya sebab terlalu pusing. yang, atau mungkin lebih gugup berhadapan dengan Malaikat Izrail, si pencabut nyawa.

"Bu, Megi boleh masuk nggak?" tanya Megi meminta izin, alhasil ia mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu.

"Masuk aja, Gi," sahut Ibu—Tisa terdengar samar-samar sebab suaranya teredam.

Sebelum masuk ke dalam, Megi mengambil napas dalam-dalam sehingga pipinya mengembung, menghembuskan perlahan. Tangannya terjulur membuka pintu kamar orang tuanya lebih lebar, penampakan pertama yang ia lihat adalah sang Ibu yang tengah terduduk di pinggir ranjang dengan beberapa macam pakaian berserakan memenuhi kasur. Tampaknya wanita paruh baya itu sedang merapikan isi lemari pakaiannya karena terdapat 1 kardus bekas air mineral di kolong kasur.

"Kenapa? Mau minta uang tambahan?" tanya Tisa sekaligus menebak, tak biasanya Megi datang ke kamar kalau urusannya tidak penting.

Sontak Megi menggelengkan kepala, "nggak, kok." jawabnya mengukir senyum tipis.

"Lho, terus ngapain? Tumben banget kamu masuk kamar Ibu, Gi." kata Tisa kebingungan, dahinya pun ikut mengerut.

"B-bu, Megi m-mau jujur," Kedua tangannya saling meremas, mencoba menetralkan debaran jantungnya, bahkan darahnya berdesir hebat sangking gugupnya.

"Kamu bohongin Ibu, ya? Oh, jangan-jangan vas bunga di meja makan kamu yang pecahin? Ngaku kamu!" tanya Tisa penuh selidik, mengacungkan jari telunjuknya ke arah anak bungsunya yang kini mendengkus sebal.

"Bukan, kalau itu Megi nggak ikut-ikutan, ya!" sergah Megi seraya mencebikkan bibirnya lucu, ia mendudukkan bokongnya tepat di samping Ibu yang belum juga menghentikan kegiatannya.

Soal vas bunga yang pecah tentu bukan Megi pelakunya, tapi Ayahnya sendiri. Sebenarnya saat itu sang Ayah tengah mengambil buah kemudian lengannya tidak sengaja menyenggol vas yang terlalu menjorok ke luar sehingga jatuh menyentuh lantai dalam kondisi mengenaskan. Kebetulan Megi menjadi saksi, supaya tidak terkena amukan Ibu maka Ayah memberikannya uang lebih selagi bisa menutup mulut. Selama uang jajannya lancar, masalah rumah akan aman.

Gelak tawa menggelegar, memenuhi seluruh penjuru kamar. Sudah jelas-jelas Megi itu memang  copy paste Tisa. Sifatnya benar-benar tsundere, oleh karena itu ia dan anak sulungnya seringkali menjahili ataupun mengejek Megi habis-habisan sekadar melihat raut wajah penuh emosi yang malah terlihat menggemaskan. Tisa mengusap wajah Megi kasar, beranjak dari duduknya sambil memeluk tumpukan pakaian yang telah dilipat untuk dimasukkan ke dalam lemari.

"Ck, to the point, bentar lagi Ibu mau skincare-an." pinta Tisa tidak sabaran, menyusun pakaiannya agar lebih rapi.

"Janji dulu, sebelum Megi selesai cerita, Ibu nggak boleh tiba-tiba motong terus marah-marah," tutur Megi menggigit bibir bawahnya, menatap punggung Ibu dari belakang.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Where stories live. Discover now