"Oke, nanti Altair bantuin," tambah Altair yang sebenarnya sedikit tidak setuju.

"Gampang itu. Nanti biar Mama ngomong dulu sama Papa---"

"Kenapa harus ngomong sama Papa dulu?" Kali ini nada Altair terdengar jelas tidak suka. Wajah putranya itu juga terlihat jelas menahan kekesalan. Anggita dengan kaku menampilkan senyum, lalu mengambil duduk bersebelahan dengan Altair.

"Kamu tuh kenapa sih, berantem mulu sama Papa, hm?" Anggita mengelus surai hitam anak lelakinya. Dulu sewaktu kecil, Altair tidak akan bisa tidur jika belum dipeluk dan dielus sang ibu. Bahkan, bisa dibilang Altair dulu adalah anak yang manja. "Tiap malem Mama denger juga sering debat."

"Mama denger?" Altair terkesiap, menatap mamanya yang diam menatapnya, karena jujur, Altair tidak pernah menyangka jika ungkapan kekesalannya ternyata di dengar oleh mamanya diam-diam.

"Kalian baikan, ya?" pinta Anggita yang tidak mendapat jawaban anggukan atau gelengan dari Altair. Menit berlalu dalam keheningan, Altair memilih bangkit, lantas memandang ibunya yang tersenyum.

"Lusa, kita ke rumah sakit, Ma." Anggita memudarkan senyumnya, tatapannya mengikuti kepergian Altair yang perlahan menghilang di ujung tangga.

Ketika gelapnya malam sudah benar-benar menguasai bumi, di lain tempat, di sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, sosok lelaki dengan seragam sekolah yang tidak lagi rapi duduk bersandar menatap cahaya bulan lewat jendela kaca. Rambut hitamnya berantakan, dua kakinya terangkat lurus di atas meja di depannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Wajahnya terbias cahaya bulan, kalau saja ada orang di tempat itu, terutama seorang perempuan, mungkin akan terpesona sebab selain memperlihatkan rahang tegas cowok itu, ketampanannya kian bertambah karena cahaya.
Setelah beberapa saat terjadi keheningan, cowok itu mendesah, merasakan kembali pikiran berat yang berkecamuk memenuhi kepalanya. Ia pun membungkuk mengambil bungkus rokok, setelah mendapatkan satu batang, ia mendekatkan ujungnya dengan api. Hembusan nafas bersamaan kepulan asap membumbung di hadapan wajahnya.

Dengan begitu saja, Daniel bisa merasakan masalah yang ikut keluar bersama asap rokok.

Dering suara ponsel mengalihkan atensinya dari sebatang rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan tengahnya menuju layar yang menampilkan panggilan telepon dari orang rumah. Sejak jarum jam menunjukan angka delapan, orang rumah tidak berhenti menghubungi, tidak lain untuk meminta Daniel pulang. Awalnya dari Dania---adik perempuannya itu, yang hanya Daniel balas lewat pesan singkat jika ia baik-baik saja. Padahal Daniel tahu jika jawaban itu bukan jawaban yang diinginkan sang adik. Dan kali ini, panggilan langsung ia dapat dari papanya---Tama. Daniel belum sempat menggeser tombol hijau tapi keburu mati. Disusul masuknya sebuah pesan singkat yang lebih seperti sebuah ancaman.

Yang Mulia Tama:

Pulang sekarang
atau nggak sama sekali!!!

Daniel berdecak malas, sebenarnya ia tahu ini hanya sekedar ancaman yang tidak akan terjadi betulan karena Daniel berlindung di balik punggung bundanya. Percayalah, ia akan selalu berada di posisi aman jika Rita sudah berdiri didepannya. Hanya saja, yang menjadi pemberat adalah, jika Daniel tidak pulang, maka siap-siap ia akan mendapat semburan Dania yang tidak terima bunda mendapat kemarahan papa karena Daniel. Sebenarnya, Daniel juga kasihan jika bunda mendapat bentakan pelampiasan amarah papa karena ulah dirinya, tapi ...

"Oke, gue pulang!" Daniel mematikan puntung rokok yang tinggal separuh, lalu bangkit menyambar tas dan almamater sebelum keluar dari tempat itu. Daniel menghampiri motornya, belum sempat menarik gas, Daniel mengumpat karena mendapati robekan cukup besar di ban belakangnya. "Bangsat, ini Ares bawanya gimana, sih?"

HeartbeatWhere stories live. Discover now