9. Kerja yang benar

Start from the beginning
                                    

Kembali membuat roti yang lain, aku memaki dalam hati melihat Willy yang masih juga belum pergi. Aku mendelik ke arah pria itu lalu kembali mengerjakan pekerjaanku yang masih menumpuk.

"Kenapa dia masih di sini," gumamku, kesal.

"Kamu bilang apa?"

Aku mengerjap, menoleh ke arah Willy yang sedang menatapku. Aku juga bisa melihat wajah kaget Ilham yang juga menatapku.

"Apa?" tanyaku karena memang tidak mengerti.

"Tadi kamu bilang apa?" ulang Willy.

Dahiku mengerut bingung. "Memang aku bilang apa?"

Willy mendengus. "Saya gak budeg, Ara. Jelas-jelas kamu bilang sesuatu tadi."

Kerutan di dahiku semakin lebar. Memang apa yang aku katakan? Aku berpikir, ketika sadar dengan apa yang Willy tanyakan, aku membelalak. Jangan bilang kalimat tadi keluar dari mulutku? Tidak, perasaan tadi aku mengatakan itu di dalam hati kok.

"Ilham, kamu juga dengar kan?" tanya Willy.

Ilham menatapku. "Iya Pak."

Aku meringis, menggigit bibir bawahku. Kenapa aku bodoh sekali sih!

"Kamu dengar 'kan? Kamu pikir siapa lagi yang akan bicara di sini selain kamu?"

Aku mencoba mencari alasan. "Aku gak bilang apa-apa."

"Terus tadi suara siapa?"

Aku menggeleng cepat, mencoba mengalihkan pertanyaan Willy dengan adonan roti di kedua tanganku. "Hantu mungkin."

Willy mendengus. "Di sini gak ada hantu."

Aku mendesis. "Kok Pak Bos tahu? Memang Pak Bos Indigo?"

"Iya."

Aku menatapnya kaget. Serius? Pria ini Indigo? Dia bisa melihat hantu yang menyeramkan itu?

"Bercanda," lanjut Willy yang membuat kedua bahuku yang tegang tadi merosot jatuh.

"Gak lucu, Pak." Aku berdecak kesal. Aku benar-benar takut dengan semua hal yang berbau hantu. Kenapa hantu itu harus ada? Kenapa hantu harus di ciptakan? Kenapa makhluk menyeramkan itu harus ada di dunia ini?

"Kerja yang benar."

Setelah mengatakan itu Willy keluar. Aku mendengus, juga sedikit lega karena pria itu tidak mempertanyakan kalimatku yang tidak sopan tadi. Sial, untung saja. Seandainya tadi aku tidak punya alasan, sudah pasti aku langsung di tendang dari sini. Yang benar saja aku di pecat di hari pertama kerja.

Ilham mendekatiku. "Kamu gak boleh kayak gitu, Ara."

Aku berdecak. "Habis dia nyebelin sih. Baru mulai udah masuk ke dapur."

"Wajar. Ini kan hari pertama kamu kerja. Lagi pula kamu tahu sendiri sebelum-sebelumnya gak ada pastry chef yang cocok di sini sebelum akhirnya kamu di terima bekerja." Ilham menjelaskan.

"Memang kenapa? Apa pastry chef sebelumnya menghancurkan dapur?"

Ilham diam sebentar lalu membalas. "Ya enggak sih."

Aku mendengus. "Kan, dia saja yang nyebelin. Harusnya dia biarin aku kerja dengan baik. Daripada liatin kayak gitu bikin gak fokus buat roti."

"Wah, kamu salting ya di liatin Bos?"

Aku menatap Ilham lalu bergidik ngeri. "Dih najis. Gak lah!"

"Kenapa? Pak Bos kan ganteng. Pelanggan kami saja banyak yang naksir loh."

Aku memutarkan kedua bola mataku malas. "Itu mereka bukan aku. Lagian yang lihat Bos ganteng kayaknya punya penglihatan yang rusak."

"Hah? Kenapa tuh? Memang Pak Bos ganteng kok."

Aku menyipitkan pandanganku ke arah Ilham. "Kamu naksir Pak Bos?"

Ilham melotot. "Sembarangan, aku normal ya."

Aku mengedikan bahu. "Ya siapa tahu. Habisnya kamu maksa banget bilang Bos ganteng."

"Kan emang iya," balas Ilham.

"Fix kamu gay."

"Lah, kenapa bisa gitu anjir, aku normal."

"Soalnya kamu muji Bos."

"Salahnya di mana muji Bos?"

"Itu berlebihan."

"Jadi kalau aku muji kamu cantik juga berlebihan?"

aku terkekeh. "Itu pengecualian, tapi tanpa kamu puji juga aku tahu aku cantik."

Ilham meringis. "Astaga."

Aku tertawa. Menyelesaikan pekerjaan pagi ini dengan obrolan random bersama Ilham. Meski sesekali Willy masih menyempatkan diri ke dapur untuk melihat perkembangan pekerjaanku. Aku mulai menghiraukan kehadirannya dan fokus membuat semua menu yang sebentar lagi akan selesai. Ah, sepertinya tidak akan selesai sampai jam pulang.

 Ah, sepertinya tidak akan selesai sampai jam pulang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Reaching Dream, with Bos!Where stories live. Discover now