Lima Puluh Empat🍊

Start from the beginning
                                    

Cobanya hari ini entah kenapa begitu banyak. Bukan hanya Amy yang mencoba memancing emosinya, namun adik Amy juga ikutan.

"Mati kali," balas Amy asal.

"Yah masa mati sih? Gue kan pengen ditraktir pizza nih."

Axel merasa gagal sebagai pacar karena nama Jonah sebagai mantan masih tetap dijunjung oleh Amar.Tentu penting, karena hal itu menjadi tolak ukur seberapa hebat  peran Jonah dibandingkan dia dalam hidup Amy.

"Traktiran melulu otak lo! Belajar sana!" Amy menghantam kepala Amar dengan bantal.

"Aelah jujur aja, lo juga kangen kan pengen ditraktir bang Jonah."

Amy melotot, mencoba memperingatkan Amar untuk menjaga kata-katanya. Namun Amar bukan FBI, dia tidak paham kode-kode semacam itu.

"Sok jual mahal! Sini biar gue yang telepon Bang Jonah."

Amar menghampiri Amy, bersiap merebut ponsel kakaknya. Amy segera mencoba menjauhi Amar. Bisa malu dia kalau hal itu terjadi.

"Lo ini, sama pacar sendiri kok malu."

"Apa?" Axel mendekati keduanya. Matanya bergantian bergeliniding dari Amar menuju Amy.

"Apa-apa," Amar berkacak pinggang. Sedikit heran dengan pias emosi di wajah Axel. "Kan dua bocah itu, Amy dan Jonah memang pacaran."

Axel menurunkan tatapanya pada Amy."Am.." panggilnya frustasi.

Pantas saja Amar tidak pernah hormat padanya atau setidaknya memperlakukanya sedikit istimewah.

"Malah pandang-pandangan," tegur Amy. "Bang, keluar yuk beli makan."

Amar menyeret lengan Axel pergi. Dia tahu kakaknya sangat dekat dengan Axel. Namun dia juga tidak yakin Amy dan Jonah beneran sudah putus, terlebih keduanya masih terlihat cocok sebagai sepasang kekasih. Dan oleh sebab itu, Axel telah memberi pengumuman kepalanya bahwa Jonah dan Amy masih pacaran. Meskipun Amy pernah bilang dia telah putus.













🍊•🍊•🍊










Sembari menunggu pesanan jadi, Axel dan Amar bersantai diri di kursi plastik yang tersedia.

"Lo sering ya ditraktir Jonah ya?"

"Sangat," jawab Amar cepat. "Apalagi kalau kak Amy gak tahu. Gue palakin tiap hari malah."

"Dia gak nolak?"

Amar menggeleng. "Malah nitip buat Kak Amy lagi," tambahnya.

"Kok bisa?"  Ingin Axel bertanya begitu. Namun dia sadar situasi tidak tepat. Memaksa diri mengaku sebagai pacar Amy juga tidak ada gunanya. Belum tentu juga Amar menerima dirinya sebagai pacar Amy.

"Kayaknya bisa tenang hidup kalau dia jadi ipar gue."

Diam-diam Axel mengalihkan pandangan. Menyembunyikan wajahnya yang memerah dari pandangan Amar.

"Bukan cuma jajan, skincare, bahkan sampai gadget Amy dia penuhin. Awalnya gue kira karena dia habis ngapa-ngapain Amy, ternyata enggak. Dia beneran melakukan itu karena perhatian sama Amy. Lagipula gak mungkin dia ngapa-ngapain Amy, jelek gitu haha."

Sama sekali bukan candaan bagi Axel. Ini benar-benar pembatas besar dia untuk meraih Amy.

"Mas, baksonya."

Seruan tukang bakso membuat keduanya bangkit. Aroma semerbak sama sekali tidak membangkitkan selera Axel, yang ada malah emosinya yang bangkit. Makin kental pula seiring kendaraanya sampai di rumah Amy.

Sesampainya di rumah. Amy memindahkan bakso ke mangkuk, membagikannya pada Amar dan Axel.

Tanpa menunggu Axel makan, Amy menyesap kuah baksonya. Axel hanya diam memandanginya.

"Gak suka ya?" tanya Amy mencoba sok lupa akan kejadian di restauran tadi.

"Mar, beli sprite gih." Axel memutar badan pada Amar yang baru hendak menelan baksonya. Ia menyodorkan selembar uang seratus ribu.

"Sisanya buat gue," kata Amar menyambar uang tersebut.

"Oke."

Amar menyendok sekali lagi baksonya, lalu pergi meninggalkan keduanya.

"Kenapa lo gak kasih tahu Amar kalau lo udah put...."

"Udah gue kasih tahu," potong Amy.

"Kalau tentang lo dan gue pacaran?"

Mata Amy berlari dari tatapan Axel. "Yaa belum. Kan baru jadian."

Amy bisa mendengar nafas berat dihembuskan ke udara, berisi frustasi dan amarah yang kental.

"Nanti gue kasih tahu," ujar Amy mencoba menenangkan.

"Kapan?"

"Ya nanti nunggu dia pulang."

"Tahu ah." Axel mengaduk kesal kuah baksonya.

"Sorry," cicit Amy.

"Gue pulang." Axel berdiri. Semakin lama entah kenapa emosinya semakin besar saja.

Amy ikut berdirir, menahan lengan Axel untuk pergi.

"Pangeran kodok marah ya?"

"Gak," ketus Axel menghempas tangan Amy. Ia merapikan sekilas jaketnya kemudian lanjut berkata, "Gue setuju kita putus."

Itu memang yang Amy inginkan dari tadi. Namun melihat bagiamana dinginnya kalimat itu meluncur, serta wajah Axel yang keras membuat hati Amy menjadi tidak nyaman.

"Xel..."

"Gue pulang." Belum sempat Amy berucap, Axel sudah melangkah keluar dengan kaki panjangnya.

Kini Amy menjadi merasa bersalah. Dia sudah merusak hati Axel—sahabat yang paling nyaman baginya. Kata maaf yang akan dia luncurkan, takutnya membatalkan niat Axel untuk putus. Tapi, jika dia tidak seperti itu..entah lah Amy tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Karena sekarang yang dia pikirkan adalah..

Apakah salah dia memutuskan axel?







🍊•🍊•🍊

Konfliknya bagimana woi?
Bingung auto hiks

My Kriting GirlWhere stories live. Discover now