Awakening - Sixth Sense

By vikrama_nirwasita

38.4K 3.1K 202

Awakening : Sixth Sense "Mereka" yang lebih dikenal dengan sebutan hantu, setan, jin, roh, makhluk halus dan... More

1. Pertemuan Pertama
2. Mimpi yang Aneh
3. Kesurupan Massal
4. Warna Merah
5. Hilang Kesadaran
6. Salah Tingkah
7. Wanita yang Berdiri di Sudut Kelas
8. Sebuah Awal
9. Pelet
10. Konfrontasi
11. Menjalani Kehidupan Kampus
12. Menikmati Momen yang Langka
13. Pilihan
14. Genderuwo
15. Film India
16. Teman Baru
17. Tengah Malam
18. Memori yang Indah
19. Cubitan Manja
20. Dominasi
21. Bukan Siapa-Siapa
22. Perasaan Kacau
23. Melissa
24. Maaf
25. Playboy
26. Tapi Bohong
27. Mobil yang Bergoyang
28. Truth or Dare
29. Tertawa Terbahak-bahak
30. Pembuktian
31. Pengakuan
32. Mimpi Buruk
33. Menikmati
34. Penyesalan
35. Kopi Darat
36. Terjatuh
38. Makhluk yang Bersimbah Darah
39. Bungkusan Hitam
40. Pengalaman Putra
41. Firasat Buruk
42. Pulang ke Kost
43. Terkejut
44. Ancaman
45. Cerita Dibalik Rara
46. Kurang Tahan Lama
47. Hadiah
48. Rencana
49. Eksperimen
50. Titipan Eyang
51. Kecil
52. Penangkapan
53. Merek Baju
54. Drama
55. Pesan Singkat
56. Nadia
57. Hujan
58. Pesugihan
59. Hilang
60. Kolam
61. Kerjasama
62. Perang
63. Pengorbanan
64. Kisah Putra
65. Jatuhu
66. Awakening
67. Kabar Buruk
68. Raga Sukma
69. Perpisahan <END>

37. Pulang

428 45 1
By vikrama_nirwasita

"Makasih, Ram. Udah mau bantuin gua tadi," ucap Putra yang tiba-tiba menjadi akrab denganku.

"Tadi gua kewalahan gara-gara gak bawa pusaka yang biasanya gua pake," tambahnya memberi alasan.

"Oh, iya sama-sama, mas." Aku membalasnya dengan canggung, sebab aku bingung kenapa dia tiba-tiba berbicara dengan bahasa santai kepadaku.

"Ga usah kaku-kaku amat, panggil gua Putra aja. Anggap aja sekarang kita udah temenan," ucapnya dengan santai.

Aku merasa umur kami tak terlalu terpaut jauh, oleh sebab itu aku mulai mencoba untuk bersikap lebih santai padanya.

"Oke, Put. Omong-omong, siapa yang nyerang barusan, ya?" tanyaku agak canggung.

"Sebenarnya pelakunya itu dukun yang udah santet client gua. Jadi ceritanya dia mau balas dendam karena targetnya gua lindungin," ucapnya dengan pandangan yang kosong layaknya sedang melamun.

"Capek ya, mas?" tanyaku dengan pelan.

Aku menyadari, pekerjaan menjadi paranormal yang selalu berurusan dengan hal gaib bukanlah hal yang mudah. Mungkin dari luar tampak keren dan menarik, tapi kenyataannya sangat menguras pikiran dan batin. Sebab harus siap sedia dimana pun dan kapan pun, karena tiada yang tahu kapan serangan musuh akan datang.

Selain itu, baik kita berada di pihak yang benar ataupun yang salah, mau tidak mau, sudah pasti akan menambah musuh baru. Jadi sebenarnya sangat berbahaya untuk ikut campur dan berurusan dengan hal-hal gaib.

"Capek sih iya, tapi mau gimana lagi, udah resiko pekerjaan," jawabnya dengan senyuman tipis.

"Kalo boleh tau, emang kasus clientnya apaan, ya?" tanyaku penasaran.

"Kasus biasa, masalah persaingan bisnis. Padahal mereka masih tetangga-an sebenarnya," jawab Putra sambil menghisap rokoknya.

"Jadi mereka sebenarnya udah saling tau, gitu?" tanyaku dengan heran.

"Iya, ibaratnya yang ngirim pura-pura bego, terus yang kena santet bingung mau ngomong gimana," jelas Putra.

"Kayaknya lo tertarik banget ya, sama yang berbau gaib gini?" tanya Putra.

"Sebenarnya gua baru-baru ini sih, tertarik sama hal-hal gaib gini," jawabku.

"Hmmmm ... mau coba ikut gua buat nanganin pasien, gak?" tawar Putra setelah berpikir sejenak.

"Boleh kalo masnya bersedia," jawabku sambil tersenyum.

"Jangan panggil gua mas lagi, Ram. Gua gak terbiasa dengernya, hahaha," ucap Putra.

"Eh iya, keceplosan, hehehe," balasku canggung.

Saat aku menoleh, ternyata Nadia dan kedua temannya masih melirik ke arahku. Dari raut wajah mereka, sepertinya aku masih menjadi bahan topik pembicaraan mereka. Sepertinya figurku akan melekat di memori mereka sebagai pria yang bertingkah memalukan.

"Terus untuk mahar belajar tenaga dalam, kira-kira berapa, ya?" tanyaku dengan keraguan.

"Nanti kita omongin setelah nanganin pasien aja," jawab Putra.

"Emangnya pasiennya punya masalah apaan?" tanyaku.

"Pasiennya bilang kalo dia kena santet, walau udah beberapa paranormal yang tangani, tapi ga sembuh-sembuh juga katanya," jawab Putra.

"Waduh, kasusnya berat dong berarti?" tanyaku secara spontan.

"Bisa dibilang iya, makanya gua sampe ngajak lo ikut, haha," ucap Putra.

Sepertinya Putra mengajakku dengan maksud dan tujuan tertentu. Mungkin dia ingin memanfaatkanku juga, tetapi aku tidak mempermasalahkannya, soalnya ini kesempatan berharga bagiku untuk menambah pengalaman. Bisa dibilang ini win win solution bagi kami berdua.

"Tiga hari lagi, lo ada waktu kosong gak?" tanya Putra.

"Hmmm ... kayaknya sih ada, tapi takutnya lokasinya kejauhan dari sini. Soalnya besok gua gak di kos lagi, gua udah balik ke rumah," jelasku.

"Santai, entar gua jemput ke rumah lo langsung," ucap Putra.

"Oke deh. Entar berkabar aja," balasku singkat.

"Ya udah, kayaknya gua mau balik dulu, nih. Lo mau barengan atau gimana?" ucap Putra sambil menaikkan alis matanya.

"Gua balik sendiri aja, soalnya gua lagi bawa motor temen," balasku menolak.

"Ya udah, nanti gua kabarin lagi," ucap Putra seraya tersenyum lalu berjalan pergi menuju pintu keluar cafe.

Saat aku beranjak berdiri dan berniat untuk pergi pulang, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang mengarah padaku.

"Rama, boleh minta nomornya gak?" ucap Nadia sambil tersenyum memandangku.

"Emangnya buat apa, ya?" tanyaku dengan polos.

"Buat komunikasi dong. Emangnya buat apa lagi? Haha," jawabnya sambil tertawa.

"Ehmmm, 0821******* itu nomor gua, gua duluan, ya." Aku langsung pamit dengan cepat, karena gugup dan malu akan kejadian yang tadi.

"Oke, hati-hati, ya."

<><><>

Sesampainya di kos, aku langsung rebahan sembari memainkan ponselku. Perlahan aku membuka pesan yang telah kukirim ke Adellia beberapa hari yang lalu. Tapi balasan pesan yang kuharapkan tak juga kunjung tiba.

Aku hanya bisa menghayal dan berspekulasi akan alasan dia tak membalas pesan dariku. Lagi dan lagi aku terjebak didalam ilusi yang dibentuk pikiranku sendiri. Hingga akhirnya, tanpa sadar mataku mulai terpejam dan aku pun terjatuh ke alam mimpi.

Suara gebrakan pintu berkali-kali, bersamaan dengan gagang pintu yang ditekan tanpa henti berhasil merusak mimpi indahku. Terlebih lagi suara nyaring dari seseorang yang secara bertubi-tubi menghantam gendang telingaku.

"Woi, Ram! Bangun woi!" teriak Steven sambil menggedor pintu.

Aku mencoba membuka kedua mataku yang terpejam, tetapi rasanya sungguh berat. Rasa kantuk tak bisa kutandingi, hingga rasanya aku ingin melanjutkan tidurku lagi. Oleh sebab itu, aku mencoba sebisa mungkin untuk menghiraukan suara berisik dari Steven.

"Woi, kebo! Lo pasti udah bangun kan!" teriak Steven sambil menggedor pintu tak henti-hentinya.

Sialnya suara yang dikeluarkan Steven benar-benar sangat mengganggu. Hingga membuatku merasa sangat kesal dan tak bisa melanjutkan tidurku.

"Berisik banget lo kampret!" teriakku kesal seraya beranjak dari tempat tidur.

"Hahahahaha! Ga bisa lanjut ngebo ya lo," balasnya sambil tertawa terbahak-bahak.

Sebenarnya badanku masih terasa pegal, begitu juga dengan mataku yang masih berat, tetapi aku menyadari, kalau aku harus pulang ke rumah hari ini. Dengan terpaksa, aku harus bangun dan bersiap-siap secepatnya, sebab Steven sudah menungguku.

"Iya, gua siap-siap dulu dah," balasku setelah membuka pintu sambil menggaruk kepala.

"Ya udah, gua tungguin. Jangan kelamaan nyabunnya ya, haha," ucap Steven sambil tertawa jahil.

"Sini otak lo yang gua sabunin, biar ga ngeres mulu," balasku.

"Hahaha, cepet mandi sono," ucapnya sambil mendorongku ke arah kamar mandi.

Setelah selesai bersiap-siap dan membereskan kamarku, kami langsung pergi pulang menggunakan mobil Steven. Seperti biasanya, di perjalanan kami hanya berbincang santai sambil sesekali bercanda. Sampai beberapa saat kemudian, akhirnya kami telah sampai di depan rumahku.

"Jangan lupa ntar KRSnya barengan," ucap Steven.

"Iye, saling berkabar aja entar. Gua masuk duluan yak, hati-hati di jalan," balasku.

"Oke, jangan kelamaan galau gegara Adel yak, hahaha," ejek Steven.

"Bacot!" balasku singkat lalu mengetuk pintu dan menunggu orangtuaku membuka pintu rumah.

Steven lalu mengedipkan matanya, seraya berkata "Gua pergi dulu, ya. Babay."

"Cepetan sono!" balasku bercanda sambil menggelengkan kepalaku.

Hingga beberapa saat kemudian, Ibuku membuka pintu rumah dan langsung memelukku dengan erat. "Mama udah kangen, nih."

"Baru juga beberapa bulan, ma. Omong-omong bapak lagi ngapain?" ucapku sambil tersenyum.

Dari kecil, aku sudah terbiasa memanggil ayahku dengan panggilan bapak sedangkan ibuku dengan panggilan mama. Mungkin karena latar belakang kedua orang tuaku yang berbeda membuatku terbiasa memanggil mereka sesuai dengan lingkungan asalnya. Walau terasa aneh, aku sudah terbiasa begitu, jadi aku akan merasa canggung jika menggunakan panggilan yang lain.

"Biasa, lagi nonton tv tuh," balas ibuku.

"Kamu keliatan makin kurus, nih. Pasti makannya gak teratur ya," tambah ibuku seraya mengernyitkan dahinya.

"Bukan gak teratur makan, ma. Mungkin karena kecapean kuliahnya," balasku.

"Ah masa iya? Bukannya sibuk main game mulu, nih?" tanya ibuku dengan nada jahil.

"Sibuk dua-duanya, sih," balasku sambil tersenyum kecil.

"Hahaha, masuk ke dalam, gih." Ibuku kian bergeleng sembari tertawa melihat responku.

"Aku masuk ke kamar dulu ya, ma. Mau beres-beres," ucapku.

"Iya, habis itu langsung makan, ya. Di meja udah disiapin," balas Ibuku..

"Oke, ma." balasku singkat lalu pergi menuju kamarku.

Sebelum sampai ke kamar, aku bertemu ayahku di ruang tamu yang tampaknya sedang asik menonton televisi.

"Pak, Rama udah pulang," ucapku pelan.

Ayahku langsung menoleh dan sejenak memandangku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, lalu bertanya, "Oh, udah makan belum?"

"Tadi udah makan dikit, sekarang mau beres-beres dulu," balasku canggung.

Ayahku hanya meresponku dengan mengangguk kecil lalu kembali menaruh perhatiannya ke layar televisi. Bisa dibilang sebenarnya aku tidak akrab dengan ayahku, kami hanya berkomunikasi apa adanya.

Dulunya aku lebih terbuka dan suka bercerita kepada ibuku. Tetapi seiring aku bertumbuh dewasa, aku mulai menjadi semakin pendiam dan tidak menceritakan masalah yang kualami kepada siapa pun.

Biasanya saat di rumah, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di dalam kamar. Aku lebih suka bermain game dan membaca komik untuk menghabiskan waktu luangku.

Saat didalam kamar, aku berpikir kamarku sudah lama kosong dan tidak dipakai. Aku jadi berpikir, apa sudah ada makhluk halus yang menempati kamarku ini? Selain itu, aku juga mulai penasaran dan ingin tahu akan entitas apa yang sebenarnya menghuni rumahku. Tanpa basa-basi aku langsung mengaktifkan mata ketigaku dan mulai mengecek sekitarku dengan antusias.

Setelah mengaktifkan mata ketigaku, ternyata aku tidak menemukan entitas apa pun yang menghuni kamarku. Tak mau berhenti di situ saja, aku pun mulai keluar dari kamar lalu mengecek setiap sudut ruangan yang ada di rumahku.

Hingga saat berada di ruang tamu, akhirnya aku melihat sebuah entitas dengan wujud manusia bertubuh kekar, dengan wajah yang sangar dan mengintimidasi. Dia tidak memakai atasan alias bertelanjang dada. Dia hanya memakai kain serupa sarung atau selendang berwarna coklat. Terdapat keris yang panjang terselip di bagian pinggangnya.

Dia berdiri di belakang Ayahku dengan posisi tegap. Dia memancarkan aura yang berhasil mendominasiku. Sejauh ini, aku merasa aura yang dikeluarkannya jauh lebih kuat dari seluruh entitas yang pernah kutemui.

Saat aku menatapnya, ternyata dia menyadarinya dan membalas tatapanku. Ketika tatapan kedua mata kami bertemu, aku mulai merasakan bahwa dia tak memiliki niat yang buruk sama sekali. Aku menduga, bahwa dia adalah entitas yang menjaga Ayahku. Tapi aku sungguh tak menyangka bahwa Ayahku memiliki entitas sekuat ini yang menaunginya.

Beberapa saat, aku hanya diam dan saling bertatap-tatapan dengannya. Di benakku, aku memiliki banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya, tetapi aku ragu untuk menanyakannya. Hingga pada akhirnya Ayahku menoleh dan memandangku sesaat dengan raut wajah yang penuh tanya.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Ayahku mulai membuka suara. "Kamu bisa ngelihat dia ya?"

Bersambung ...

Continue Reading

You'll Also Like

334K 18.2K 30
Juwita Liliana, gadis berparas cantik, cerdas, kemampuan aneh yang dia miliki mengharuskan dia homeschooling, namun setelah satu tahun terakhir akhir...
1M 18.3K 7
Tiara di temukan mati bersimbah darah di lantai 3 lorong asrama. Dan kematian Tiara menimbulkan banyak teka-teki bagi keluarganya. Terlebih Kakak kem...
206K 26K 44
Sheina Arsilia, gadis SMA yang terpaksa tinggal sendiri di rumah pemberian sang paman. Setiap hari ia lewati bersama 'mereka'. Peristiwa mengerikan d...
247K 17.2K 29
Ruang tua 12.A kelas sunyi sepi. kelas itu selalu ditempati oleh anak anak kutu buku dan kelas itu sangat dijaga oleh para guru. Hingga pada akhirnya...