Awakening - Sixth Sense

By vikrama_nirwasita

38.4K 3.1K 202

Awakening : Sixth Sense "Mereka" yang lebih dikenal dengan sebutan hantu, setan, jin, roh, makhluk halus dan... More

1. Pertemuan Pertama
2. Mimpi yang Aneh
3. Kesurupan Massal
4. Warna Merah
5. Hilang Kesadaran
6. Salah Tingkah
7. Wanita yang Berdiri di Sudut Kelas
8. Sebuah Awal
9. Pelet
10. Konfrontasi
11. Menjalani Kehidupan Kampus
12. Menikmati Momen yang Langka
13. Pilihan
14. Genderuwo
15. Film India
16. Teman Baru
17. Tengah Malam
18. Memori yang Indah
19. Cubitan Manja
20. Dominasi
21. Bukan Siapa-Siapa
22. Perasaan Kacau
23. Melissa
24. Maaf
25. Playboy
26. Tapi Bohong
27. Mobil yang Bergoyang
28. Truth or Dare
29. Tertawa Terbahak-bahak
30. Pembuktian
31. Pengakuan
32. Mimpi Buruk
33. Menikmati
35. Kopi Darat
36. Terjatuh
37. Pulang
38. Makhluk yang Bersimbah Darah
39. Bungkusan Hitam
40. Pengalaman Putra
41. Firasat Buruk
42. Pulang ke Kost
43. Terkejut
44. Ancaman
45. Cerita Dibalik Rara
46. Kurang Tahan Lama
47. Hadiah
48. Rencana
49. Eksperimen
50. Titipan Eyang
51. Kecil
52. Penangkapan
53. Merek Baju
54. Drama
55. Pesan Singkat
56. Nadia
57. Hujan
58. Pesugihan
59. Hilang
60. Kolam
61. Kerjasama
62. Perang
63. Pengorbanan
64. Kisah Putra
65. Jatuhu
66. Awakening
67. Kabar Buruk
68. Raga Sukma
69. Perpisahan <END>

34. Penyesalan

428 42 1
By vikrama_nirwasita

Di sepanjang perjalanan pulang menuju Jakarta, suasana di dalam mobil terasa sangat canggung. Tidak ada percakapan akrab yang terjadi di antara kami. Berbanding terbalik jika dibandingkan dengan suasana saat perjalanan sebelumnya, yang penuh akan tawa dan canda.

Aku masih belum bisa melupakan apa yang kulakukan pada Adellia di depan pintu kamar. Sejak saat itu, aku dan Adellia saling menghindar satu sama lain. Oleh sebab itu, aku memaksa duduk di kursi depan untuk menghindari interaksi dengannya. Tanpa bisa menikmati perjalanan, waktu empat jam yang kami tempuh terasa sangat lama dan membosankan.

Liburan selama tiga hari itu benar-benar berada di luar ekspektasiku. Mulai dari memori liburan yang indah berubah menjadi memori buruk bagi kami semua. Sejujurnya aku merasa bersalah, karena aku adalah penyebab dari situasi canggung ini. Jadi, aku berniat untuk meminta maaf kepada Riska dan Steven setelah suasana lebih membaik.

Sesampainya di Jakarta, Steven masih harus mengantarkan Adellia,Melissa dan Jessica pulang terlebih dahulu. Kebetulan kos Adellia dekat dengan lokasi kos kami berdua, jadi kami memutuskan untuk mengantarkan Melissa dan Jessica duluan. Tak membutuhkan waktu yang lama akhirnya kami selesai mengantarkan mereka dan langsung memutuskan untuk kembali menuju kos bersama Adellia.

Begitu kami sampai di depan kos, Adellia langsung bergegas turun dan berkata, "Makasih ya, Ven."

"Oke, Del. Omong-omong habis ini lo mau pulang kampung?" tanya Steven.

"Iya, Ven. Soalnya kemaren udah janji sama orangtua gue," jawabnya.

"Jadi lo balik sendirian ke Surabaya?" tanya Steven dengan penasaran.

"Nggak, gue bareng sama mas Ilham kok," ucapnya pelan sambil melirik ke arahku.

"Oh, ya udah hati-hati kalo gitu, Del. Sampai ketemu lagi semester depan," balas Steven sambil melirikku juga.

Sepertinya mereka berdua berharap agar aku ikut merespon perkataan mereka. Tapi sayangnya aku tak berniat untuk melakukannya, sebab mendengar nama Ilham saja sudah membuatku muak.

"Iya Ven, makasih ya. Gue duluan dulu kalo gitu," ucapnya dengan senyum kecil lalu pergi masuk ke kosnya.

Aku hanya bisa memandangnya yang perlahan pergi menjauh dariku. Mungkin ini akan menjadi hari terakhir bagi kami berdua untuk berjumpa di tahun ini. Sebuah perpisahan yang diakhiri tanpa kata-kata.

"Lo gapapa, Ram?" tanya Steven dengan serius.

"Kenapa emangnya?" tanyaku balik.

"Dari ekspresi lo aja udah keliatan kok, kalo lo masih ga rela," ucap Steven.

"Hmmm ... kayaknya gua cuma butuh waktu sendiri dulu," balasku.

"Ya udah, tapi lo yakin ga mau ngomong sama Adel sebelum dia balik?" tanya Steven perlahan.

"Hmmmmm ... entar gua pikirin dulu deh." Masih tersirat keraguan dalam batinku.

"Jangan sampe nyesel, Ram." Steven menepuk pundakku lalu pergi masuk kedalam kamarnya.

Ucapan Steven terasa sangat menusuk bagiku. Sebenarnya aku juga ingin berbicara serius dengan Adel, tetapi ego didalam diriku berhasil membungkamku. Lagi dan lagi aku masih kalah dan menjadi budak bagi ego yang ada di dalam diriku.

Saat di dalam kamar, aku hanya berbaring dan melamun, menatap kosong ke langit-langit ruanganku. Terbesit di benakku, sepertinya aku harus membenahi diriku terlebih dahulu.

Mungkin saja Adellia menolakku karena diriku yang tidak menarik dan tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Hingga perlahan-lahan aku mulai merasa rendah diri kembali, dikarenakan efek penolakan dari Adellia.

Seperti dugaanku dulu, setelah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, hubunganku dengan Adellia pasti akan menjadi canggung. Aku tak tahu harus merasa menyesal atau merasa lega setelah mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. Aku hanya bisa berbaring di atas kasur dengan perasaan yang campur aduk. Hingga tiba-tiba muncul suara Lala yang berhasil mengejutkanku.

"Jangan berlarut-larut di dalam keraguan," ucap Lala.

"Duh, kalo bisa munculnya jangan tiba-tiba dong," ucapku spontan.

Lala hanya diam tak menghiraukan ucapanku, dia hanya memandangku dengan tatapan datarnya.

"Hmmmm ... sebenarnya aku mau minta maaf karena jarang berkomunikasi dengan kalian," ucapku pelan.

Lala tidak meresponku, dia hanya diam sembari memandangku. Hingga perlahan-lahan sebuah senyuman mulai mekar di bibirnya. Sepertinya dia senang mendengar ucapanku.

"Apa kamu keberatan jika aku memanggilmu hanya untuk berbicara dengan santai?" tanyaku sambil memperhatikan ekspresi wajahnya.

Lala mengangguk kecil dengan senyuman manis yang masih menempel di bibirnya.

"Kalo boleh tau, apa saja kegiatan yang kamu lakukan di alammu?" tanyaku penasaran.

"Aku hanya berdiam diri di tempat kita pertama kali berjumpa," jawabnya.

"Hanya diam tanpa melakukan apa-apa?" tanyaku dengan heran.

Lala mengangguk sebagai tanda konfirmasi. Sebenarnya aku kasihan dengan Lala, sebab aku merasa dia masih dihantui oleh bayang-bayangan tuannya yang terdahulu. Dia masih belum bisa melepas kenangan buruk dan keterikatan di antara mereka berdua.

"Apa kamu tidak bosan sendirian disana? Bagaimana kalau kamu berada di sisiku saja?" tanyaku perlahan.

Mendengar ucapan dariku, Lala langsung merespon dengan anggukan cepat sambil tersenyum dengan lebar. Raut wajahnya tampak sangat bahagia, mungkin dia sudah menunggu-nunggu ajakanku dari dulu. Tapi apa daya aku masih tidak peka akan perasaan dan situasi dirinya. Sejak saat itu, aku mulai sadar akan pentingnya komunikasi dengan entitas yang mengikutiku.

Aku akhirnya memahami, bahwa mereka juga memiliki perasaan layaknya seorang manusia. Mereka juga memiliki kehidupan di alamnya masing-masing. Aku mulai menyadari kesalahanku yang hanya memanggil mereka jika dibutuhkan saja. Padahal seharusnya aku menganggap mereka seperti seorang teman, di mana aku bisa saling berbagi kebahagiaan maupun kesusahan.

Selama ini hubungan kami hanya berada di sebatas kebutuhan dan kepentingan saja. Aku merasa menyesal telah memperlakukan mereka dengan tidak sepantasnya. Oleh karena itu, aku berniat untuk memperlakukan dan memahami mereka dengan lebih baik lagi.

Beberapa saat setelah aku berkomunikasi dengan Lala, aku mulai merasa kehabisan topik. Sebab pada dasarnya aku bukanlah orang yang banyak berbicara, jadi biasanya orang lain yang bertanya kepadaku. Perlahan aku menjadi merasa canggung, sebab Lala selalu berada di sisiku sambil memandangiku.

Mau tak mau aku harus menonaktifkan mata ketigaku, agar tidak merasa risih saat melakukan aktivitasku. Pada malam itu, aku sibuk mencari informasi mengenai pelatihan tentang ilmu supranatural melalui internet. Dengan serius, aku mulai menjelajahi dari website, forum, hingga ke sosial media.

Jika mengingat pertarungan gaibku dengan Ilham, aku ingin melatih diriku dengan lebih serius lagi. Di saat itu, aku belum bisa menggunakan keilmuan atau senjata apa pun untuk membantu teman gaibku.

Oleh karena itu, aku harus mencari dan belajar dari seorang guru ataupun ahli. Aku berharap di saat kami bertemu lagi, aku bisa membuat Ilham bertekuk lutut di hadapanku. Aku ingin melihat wajahnya yang sombong itu kian mengemis ampunan dariku.

Entah kenapa asal mendengar atau mengingat sesuatu yang berhubungan dengan Ilham, aku merasa sangat kesal dan marah. Emosiku mulai muncul dan itu jelas membuat moodku menjadi jelek.

Mungkin ini yang dimaksud dengan perasaan dendam, sebab aku merasa emosi negatif asal berpikiran tentangnya. Di sisi lain, itu menjadi sebuah motivasi bagiku untuk mengembangkan kemampuan supranaturalku. Dengan semangat aku melanjutkan penjelajahanku melalui internet.

Setelah berjam-jam aku menjelajahi internet, aku mencoba untuk menghubungi beberapa praktisi yang berada di Jakarta. Hingga beberapa saat kemudian, dari beberapa praktisi yang kuhubungi, ada salah satu praktisi yang menjawab pesanku.

Aku mencoba bertanya mengenai beberapa hal supranatural untuk mengetahui lebih dalam tentang dirinya, dan pastinya untuk memastikan apa dia benar-benar seseorang paranormal yang terpercaya.

Hingga pada akhirnya dia menyuruhku untuk datang ke lokasi dan mengikuti kopi darat alias kopdar di suatu cafe bersama beberapa orang lainnya. Kebetulan beberapa minggu lalu, mereka sudah merencanakan untuk bertemu dalam tiga hari lagi.

Aku cukup tertarik akan ajakannya, tetapi pertama-tama, aku langsung menanyakan mengenai biayanya. Aku sadar akan kondisi finansialku, aku hanya seorang mahasiswa yang masih bergantung akan pemberian dari orangtua. Untungnya, dia tidak meminta tarif biaya apapun, dia hanya akan memberikan tarif jika aku memaharkan salah satu jasanya.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menerima ajakannya, sebab aku merasa apa yang dikatakannya rata-rata logis dan masuk akal bagiku. Penjelasannya juga masih dapat kumengerti dengan mudah. Semakin lama aku berkomunikasi dengannya, aku merasa semakin berharap banyak dari pertemuan kami nantinya.

Hingga tak terasa, jam di layar ponselku sudah menunjukkan angka tiga. Aku tak menyangka telah menghabiskan banyak waktu di depan layar laptopku sejak tadi. Karena sudah larut malam, aku memutuskan untuk langsung berbaring di atas kasurku. Tak membutuhkan waktu yang lama, aku mulai tertidur dengan lelap. Mungkin tubuhku masih terasa lelah dikarenakan efek perjalanan pulang dari liburan di Bandung.

<><><>

Saat aku terbangun dari tidurku, aku merasa suasana yang sangat sepi di kosku. Tidak ada suara ribut dari aktivitas penghuni kos lainnya, sebab sepertinya mereka sudah pulang ke kampungnya masing-masing. Suasana sepi ini berhasil membuatku diam termenung, dan entah kenapa aku menjadi memikirkan tentang Adellia.

Aku ingin mendengar suara merdunya dan memandang wajahnya secara langsung. Perlahan aku mulai menyadari, bahwa Adellia sebenarnya tidak melakukan kesalahan. Dia berhak untuk menolak pengakuanku.

Yang sebenarnya menjadi sumber masalah adalah diriku sendiri. Aku masih bersifat kekanak-kanakan, dan tidak bisa menerima kenyataan yang sesungguhnya. Pikiran yang jernih akhirnya membuatku tersadar akan kesalahanku. Oleh sebab itu aku pun berniat untuk menemui Adellia secara langsung.

Saat aku mengecek jam di ponsel, ternyata saat itu sudah jam tiga sore. Aku tak menyangka aku telah tidur hampir seharian, tanpa berpikir panjang aku langsung cepat bergegas mandi. Sehabis mandi, aku berencana untuk menemui Adellia di kosnya. Tak memakan waktu yang lama, akhirnya aku selesai mandi dan langsung bergegas pergi menuju depan kos Adellia.

Saat di sana, aku melihat kondisi sekitar yang sangat sepi. Di sana, tidak ada satu pun orang bahkan untuk sekedar lewat saja. Aku pun tetap menunggunya di depan. Aku tidak langsung masuk karena rasanya tidak sopan jika masuk ke kost-an wanita tanpa izin.

Tak terasa, sudah belasan menit berlalu tetapi masih tak ada orang yang muncul. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Adellia. Setelah menunggu balasan pesan darinya, hingga memakan waktu kurang lebih dua puluh menit, Adellia masih tak kunjung membalas pesanku.

Sesaat kemudian, ada seorang wanita yang keluar dari pintu kos. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menanyakan tentang keberadaan Adellia.

"Maaf mbak, bisa numpang nanya gak?" tanyaku dengan sopan.

"Oh, bisa. Emangnya mau nanya apa, ya?" balasnya.

"Adellia ada di dalam kos gak, mbak?" tanyaku.

"Hmmm, kemarin sih ada, tapi hari ini aku nggak ngeliat dia nongol tuh," jawabnya ramah.

"Oh, bisa bantu buat ngecek sama panggilin dari kamarnya nggak mbak?" tanyaku dengan penuh harapan.

"Oke sebentar, ya. Masuk aja dulu mas, duduk di ruang tamu," ucapnya mempersilakanku.

"Gapapa mbak, saya di sini aja nunggunya," balasku sambil tersenyum kecil.

"Oh, ya udah, mas." Dia lalu pergi masuk ke dalam kos.

Setelah menunggu dalam kisaran waktu kurang lebih sepuluh menit. Akhirnya wanita itu muncul dan langsung mendekati posisiku.

Dia lalu berkata, "Ga ada respon dari kamarnya, mas."

"Tapi tadi orang di kamar sebelahnya bilang, kalo Adel pergi bawa koper tadi pagi," lanjutnya.

Apa yang kutakutkan pun terjadi, aku tak menyangka Adellia sudah berangkat pergi ke Surabaya. Sepertinya kami telah ditakdirkan untuk berpisah tanpa bertukar kata. Aku seketika merasa menyesal karena tidak meresponnya kemarin.

"Makasih udah mau bantuin ya mbak, maaf udah ngerepotin," ucapku lesu.

"Sama-sama mas, saya pergi dulu, ya." Dia lalu melewatiku yang diam termenung di depan kos.

Aku mulai merasa kosong dan lesu, hanya diam berdiri di depan kosnya sembari menghela nafasku dengan panjang. Menyesali sesuatu yang takkan bisa terulang kembali dan mengutuk kebodohanku sendiri.

Tak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sana, hanya untuk menunggu balasan pesan darinya. Hingga akhirnya matahari mulai terbenam dan kegelapan perlahan menyelimuti, tetapi balasan pesan dari Adellia tak kunjung tiba. Walau merasa sedih dan frustasi, entah kenapa terbentuk senyuman kecil di bibirku.

Perlahan aku menyadari, jadi ini yang dimaksud dengan pepatah, "Penyesalan itu selalu datangnya terlambat."

Bersambung ...

Continue Reading

You'll Also Like

568K 62.2K 88
[Cerita ini akan tersedia gratis pada 6 Agustus 2021] *** Pembunuhan berantai di Andromeda City mengincar nyawa para Anak Spesial. Oliver harus menem...
740K 122K 62
Sebagai seseorang dengan kekuatan supernatural, Ametys tentunya sudah terbiasa dengan beberapa hal mistis yang terjadi. Namun, tidak disangkanya jika...
44.8K 2.5K 70
Jata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset ka...
334K 18.2K 30
Juwita Liliana, gadis berparas cantik, cerdas, kemampuan aneh yang dia miliki mengharuskan dia homeschooling, namun setelah satu tahun terakhir akhir...