LIVING WITH THE DEVIL

By aciajuly

1.6M 123K 5K

⚠WARNING 21+ (please be wise reader) ❇❇❇ LIVING WITH THE DEVIL season 1 : IGNITE (completed) season 2 : ABLA... More

I. Prologue
II. Prologue
Chapter 1 - He's coming.
Chapter 2 - It's you.
Chapter 3 - His threat.
Chapter 4 - Surrender.
Chapter 5 - Special treatment.
Chapter 6 - Escape. (a)
Chapter 7 - Escape. (b)
Chapter 8 - Escape. (c)
Chapter 9 - Punishment.
[info update]
Chapter 10 - Guilty Pleasure (1)
Chapter 11 - Guilty Pleasure (2)
Chapter 12 - Gossip
Chapter 13 - Precious One (a)
Chapter 14 - Precious One (b)
Chapter 15 - Precious One (c)
Chapter 16 - Angel Without Wings (a)
Chapter 17 - Angel Without Wings (b)
Chapter 18 - Angel Without Wings (c)
Chapter 19 - Room of Black
Chapter 20 - First Terror (a)
Chapter 21 - First Terror (b)
Chapter 22 - Playing Game in Darkness (a)
Chapter 23 - Playing Game in Darkness (b)
Chapter 24 - Too Late to Let Go
Chapter 25 - The Casino
Chapter 26 - Unexpected Encounter (a)
Chapter 27 - Unexpected Encounter (b)
Chapter 28 - Breaking Cold (a)
Chapter 29 - Breaking Cold (b)
[info update] please read
Chapter 30 - The Letter (a)
Chapter 31 - The Letter (b)
Chapter 32 - Come to Me
Chapter 33 - Shopping
Chapter 34 - Sweety
Chapter 35 - Calm Night
Chapter 36 - Mine
Chapter 37 - The Dead Girl
Chapter 38 - The Request
Chapter 39 - Distrustful
Chapter 40 - Father
Chapter 41 - Ignite The Fire (a)
Chapter 42 - Ignite The Fire (b)
Chapter 43 - The Fear of Losing
Chapter 45 - Relieve
Chapter 46 - You're All That Matters
Chapter 47 - Epilogue
Ablaze 01 - After The Fire
Ablaze 02 - The Promise
Ablaze 03 - Affection
Ablaze 04 - Gravestone
Ablaze 05 - Your Shadow
Ablaze 06 - Runaway
Ablaze 07 - Fallen Rose
Ablaze 08 - Memory
Ablaze 09 - The Plan
Ablaze 10 - First Moment
Ablaze 11 - The Trauma
Ablaze 12 - Close Your Eyes
Ablaze 13 - One Motel Room
Ablaze 14 - The Feelings
Ablaze 15 - Your Touch
Ablaze 16 - Ugly Scar
Ablaze 17 - Beautiful View
Ablaze 18 - Silence
Ablaze 19 - One More Goodbye
Ablaze 20 - The Denovan
Ablaze 21 - The Picture
Ablaze 22 - Corrupt
Ablaze 23 - The Glimpse
Ablaze 24 - Better Without
Ablaze 25 - The Distraction
Ablaze 26 - Failed Plan
Ablaze 27 - In The Woods
Ablaze 28 - Chaos
Ablaze 29 - Dream & Memory
Ablaze 30 - New Information
Ablaze 31 - The Way To Protect Her
Ablaze 32 - The Temptation
Ablaze 33 -Black Dress
Ablaze 34 -Rain Cold
Ablaze 35 - The Warm (END)

Chapter 44 - Chilling Night

21.4K 1.6K 68
By aciajuly

Sebelum ke luar, Lucius menatap Alicia sekali lagi, memperbaiki selimutnya, dan mengatur suhu ruangan agar lebih hangat.

"Ben, temui aku di ruangan, sekarang!" ucapnya, berbicara pada alat interkom yang masih terpasang di telinganya.

Lucius pergi menuju ruang kerjanya dengan langkah lebar. Landon tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, menghalangi jalan Lucius. Lucius menatapnya sesaat, mencoba mempertahankan kesabarannya yang tidak dia miliki banyak.

"Aku ikut," kata Landon.

Lucius mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya melewati Landon, menabrak bahu lelaki itu.

"Lucius, aku serius!" ucap Landon keras kepala, mengikuti Lucius di belakang.

"Apa kau tahu yang hendak aku lakukan?"

"Aku tahu," jawab Landon.

Lucius langsung berhenti dan menoleh menatapnya.

Mendapat tatapan menyeramkan seperti itu, Landon langsung melanjutkan, "Maksudku, aku tidak tahu. Tapi apapun itu, aku akan ikut! Aku..." Landon menghela napas sesaat. "Dengar, aku peduli pada Alicia." Tatapan Lucius menajam. "Bu-bukan seperti itu!" sergah Landon.

"Jelaskan!" tuntut Lucius.

"Aku peduli padanya karena... well... karena dia Alicia! Dan aku tahu seberapa pentingnya dia bagimu."

"Kalau begitu jangan ikut campur!" balas Lucius sebelum berbalik pergi, masuk ke ruang kerjanya, meninggalkan Landon berdiri seorang diri dengan rasa frustasi di lorong yang sepi.

***

"Kau sudah mengurus polisi-polisi itu?" tanya Lucius pada Benjamin yang baru saja sampai di ruangannya.

"Ya, Sir," jawab Ben, menatap sang tuan yang tengah sibuk merangkai sebuah senjata api di meja kerjanya.

"Kita akan mengunjungi Alarick malam ini," kata Lucius dengan tenang.

Ben sudah bisa menduganya. "Tapi... secepat itu?"

Lucius mengangkat kepala dan menatap Ben sesaat. "Ya, aku tidak ingin menunggu lebih lama," ujarnya.

Ben mengangguk mengerti, menunggu perintah dari Lucius selanjutnya.

"Apa kita masih memiliki mata-mata di kediaman Alarick?"

Benjamin menunduk menyesal. "Tidak, Sir. Dua hari lalu, Martha, gadis yang kukurim untuk menjadi pelayan di sana, telah dipecat oleh kepala pelayan rumah itu karena berupaya untuk memasuki ruangan tempat Alicia disekap. Aku belum menemukan penggantinya sejak itu, maaf."

Lucius mengeluarkan gumaman pelan. Ben tidak bisa menebak apakah sang tuan marah atau tidak, karena ekspresinya sekarang tidak menunjukkan apapun.

"Tidak masalah," sahut Lucius kemudian, sambil mengangkat pistol berlaras pendek yang baru saja dirakitnya, kemudian dia masukkan ke dalam sebuah koper bersama senjata-senjata yang lain. "Bawa ini ke mobil," suruhnya pada Ben.

Mereka berdua pun melangkah ke luar secara bersamaan. Namun saat melewati ruang tamu, Lucius melihat siluet Landon di kegelapan dan dia pun berhenti, sedang Ben terus berjalan membawa koper itu ke dalam mobil.

"Landon," panggil Lucius.

Landon langsung menoleh, berdiri mendekati sepupunya.

Alih-alih menyutujui permintaan Landon untuk pergi bersamanya seperti yang lelaki itu inginkan, Lucius memiliki pemikiran lain. "Tinggallah di sini," kata Lucius.

"Tapi-"

"Jaga Alicia!"

Landon yang hendak membantah pun menutup kembali mulutnya. Dia tidak menyangka bahwa Lucius akan mengatakan itu, jadi Landon menjawab sambil mengangguk patuh, "Baik, akan kulakukan."

***

Malam sedikit terang, bulan purnama merajai langit, sekalipun beberapa gumpalan awan hitam bergerak teratur ke arah barat, menutupnya sesekali. Udara begitu dingin, salju-salju membeku. Dua orang pria yang tengah duduk di dalam mobil menatap ke luar, ke sebuah rumah megah yang dikelilingi lampu taman menyala. Dari luar, rumah itu tampak seperti istana, pilar-pilar tinggi berwarna putih dan emas menghiasinya. Namun bukan itu yang menjadi fokus dua pria itu.

"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya pria yang tengah memegang kemudi.

"Apalagi? Tentu saja menunggu Bos berbicara," sahut pria di samping. "Kita tidak akan melakukan ini semalaman, Bos pasti akan datang dan memotong leher Alarick," lanjutnya.

Mereka terkekeh pelan. Tepat setelah itu, pintu gerbang rumah tersebut terbuka, dua mobil hitam melaju melintasi mereka.

"Siapa itu?"

"Itu mobil pengawal Alarick. Kemana mereka akan pergi?"

"Apakah kita ikuti?"

"Bos menyuruh kita menunggu dan mengawasi. Lagipula, para pengawal datang dan pergi. Seolah kau tidak tahu hal itu saja."

"Bodoh! Jangan turunkan pengawasanmu! Dalam situasi seperti ini, para pengawal datang dan pergi atas perintah Bos mereka sendiri!" pria di balik kemudi mendelik pada rekannya.

"Kalau begitu kita ikuti?"

"Tidak. Tapi ngomong-ngomong, di mana unit pengganti yang dibicarakan Bos? Mengapa pemalas-pemalas itu belum juga sampai?"

"Ben menyuruh mereka kembali ke mansion, mengambil senjata, dan memanggil yang lain untuk bantuan."

"Holy shit!"

Bayangan akan apa yang akan terjadi selanjutnya membuat kedua pria itu menunggu dengan penuh antisipasi, malam tidak menjadi begitu dingin karenanya.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil yang nyaris tidak bersuara berhenti di belakang mereka. Dua pria itu mungkin tidak akan menyadarinya datang jika bukan karena lampu yang menyorot mereka.

Suara interkom menyambung bergemirisik di telinga. Salah satu dari pria itu kemudian melaporkan hasil pengawasan mereka selama beberapa puluh menit lalu. "Tidak ada pergerakan, hanya dua mobil pengawal yang keluar secara bersamaan."

"Pergi! Ikuti mereka!" perintah Lucius jelas melalui alat interkom.

Dua pria itu saling tatap. "Tapi, bagaimana dengan-"

"Kali ini, jangan sampai gagal!" Perintah yang tidak terbantahkan.

***

Lucius menatap mobil pengawalnya yang melaju menjauh. "Ayo, Ben!" katanya kemudian setelah suasana kembali sepi.

Mereka pun ke luar dari mobil. Kendaraan mahal tersebut disembunyikan di antara pepohonan berdaun lebat yang tumbuh tidak terlalu jauh dari rumah kediaman Lucero, sepenuhnya menyembunyikan eksistensi mereka, tempat yang tepat untuk mengintai.

Dengan berbekalkan senjata yang mereka bawa, keduanya menyelinap di antara kegelapan, memasuki kediaman Lucero melalui tembok yang tidak terlalu tinggi. Beberapa penjaga berjaga di luar, namun dengan jumlah yang standar. Lucius mendengus, Lucero lagi-lagi meremehkannya.

"Aku akan mengurus mereka," bisik Benjamin.

Lucius mengangguk. "Perintahkan rekanmu untuk menunggu sinyalku."

"Aku mengerti."

Ben pun melangkah lebih dulu. Dengan mengendap-ngendap, dia memukul leher seorang penjaga dari belakang. Pria di sebelahnya begitu terkejut namun tidak sempat melakukan apapun karena Ben telah lebih dulu menyikut dagunya dan melayangkan tinju ke wajahnya, suara retakan tulang kemudian terdengar. Tidak butuh lama dua pria itu langsung terkapar di tanah tidak sadarkan diri.

Melalui pohon yang tumbuh di dekat samping bangunan tersebut, keduanya memanjat naik dan melompat ke sebuah balkon. Ben membuka pintu dengan kunci serbaguna yang dimilikinya. Lalu keduanya masuk dan langsung menuju lorong.

"Tidakkah ini terlalu mudah?" ujar Ben.

Lucius menatap ke sekelilingnya, tidak ada satupun penjaga yang berjaga di sana, tidak terlihat seperti seharusnya dan hal itu begitu mencurigakan.

"Periksa ruangan yang lain!" perintah Lucius.

Ben berlalu pergi ke arah lorong yang berlawanan dengan langkah pelan mengendap-ngendap.

Sedangkan Lucius berjalan dengan santai, berhenti saat seorang pelayan terlihat. Lucius terdiam, saat pelayan itu berlalu, dia ke luar dan pergi menuju arah tangga, ditatapnya ruangan di bawah, ruang tamu sepi, dan tidak ada suara sedikitpun selain langkah kaki pelayan yang tengah melakukan tugas mereka. Lucius mencari ke tempat lain, namun rumah itu jelas-jelas sepi. Lucius menduga Alarick tengah berada di ruang kerjanya, atau di dalam kamarnya. Namun Lucius malah melangkah menuju ujung tangga lagi. Menatap sebuah lampu kandelir yang menyala indah menerangi hampir sebagian lantai bawah.

"Begitu tenang," gumam Lucius, sebelum sudut bibirnya terangkat dan pistolnya teracung ke depan. Setelah itu suara letusan dari peluru yang dilepaskan terdengar, diikuti ledakan lampu kandelir yang rantainya putus dan terjatuh ke lantai. Suaranya yang begitu membahana mengejutkan semua pelayan yang langsung berlari berhamburan ke sumber suara. Mereka semua terkejut saat menatap ke lantai atas dan melihat Lucius di ujung tangga.

Namun orang yang Lucius tunggu-tunggu tidak juga menampakkan diri.

"Di mana Alarick?" suara Lucius, dingin dan tajam. Para pelayan tidak ada yang berani menatapnya ataupun menjawab, mereka semua menunduk ketakutan.

Beberapa penjaga datang dengan tergesa-gesa dari pintu tidak lama kemudian.

Tanpa menoleh ke arah mereka, Lucius mengangkat pistolnya dan menembak mereka satu-satu, semuanya terkapar dengan bersimpah darah kemudian.

Mata merah Lucius berkilat terang, dia menyeringai tipis sambil melangkah menuruni tangga dengan langkah tenangnya. "Jangan khawatir, aku masih memiliki simpati untuk tidak membuat mereka semua mati," ujarnya.

Namun ucapan Lucius itu tidak membuat mereka yang mendengarnya merasa lebih baik. Kepala mereka semakin tertunduk dengan tubuh yang mulai bergetar ketakutan.

Lucius berjalan ke arah satu orang yang dengan terang-terangan menatapnya. "Ah, kau pasti si kepala pelayan," kata Lucius.

Wanita paruh baya itu langsung menunduk dan beralih menatap lantai karena tidak kuasa menatap mata merah yang menatapnya tajam itu. Dia pernah mendengar rumor bahwa Lucius Denovan telah bekerja sama dengan iblis dan merelakan kedua bola matanya, namun ketika dia melihat pria itu secara langsung, mata merah itu... dan apa yang baru saja dia lakukan... si kepala pelayan langsung berpikir bahwa iblis yang orang-orang maksud, adalah Lucius Denovan sendiri.

"Di mana Alarick?" tanya Lucius padanya.

Kepala Pelayan diam membisu.

Lucius mencondongkan tubuhnya sedikit dan mengangkat dagu wanita itu agar menatapnya. "Aku tidak suka mengulangi pertanyaanku," ujar Lucius.

"Aku... tidak tahu, Tu-tuan!"

Lucius menatapnya semakin lama dan menemukan kebohongan yang tidak begitu ahli dia tutupi.

"Sesuatu mengatakan padaku bahwa kau tahu," kata Lucius sambil menyeringai.

"Ti-tidak!" bantah si kepala pelayan.

Cengkraman jari Lucius di dagunya mengencang. Sejak awal, kesabaran Lucius begitu tipis, dia tidak ingin wanita tua itu mengujinya terlalu lama. Lucius melepaskannya kemudian menodongkan pistolnya.

Kepala Pelayan begitu terkejut dan takut sampai tubuhnya bergetar hebat.

"Katakan!" Lucius semakin menekannya.

"Me-mereka... mereka pergi," jawab wanita itu kemudian. "Mereka telah kembali ke Jepang," lanjutnya.

"Kapan?"

"Beberapa saat lalu."

Lucius teringat pada dua mobil pengawal yang dikatakan oleh bawahannya, ke luar dari rumah ini beberapa saat yang lalu. Lucius pun menyalakan alat penghubung di telinganya, lalu berbicara, "Periksa bandara!"

"Ya, Sir. Kami membuntuti Alarick sampai di bandara, namun penjagaan di sana begitu ketat. Dia juga menambah jumlah pengawasan dari orang-orangnya."

Dengan kata lain... sudah terlambat.

"Apa yang harus kami lakukan, Sir?"

Lucius terdiam untuk beberapa saat. "Kita akan mundur," dia menjawab pelan. "Tinggalkan tempat!"

"Dimengerti."

Lucius menurunkan pistolnya dengan konsentrasi yang mulai terganggu oleh amarah yang semakin membumbung tinggi. Dia menatap si kepala pelayan sekali lagi, sebelum berbalik pergi.

Kepala Pelayan langsung jatuh ke lantai, tubuhnya yang lemas, napasnya memburu, dan ekspresi wajahnya tampak syok. Dia tidak percaya bahwa dia baru saja telah mengkhianati majikannya sendiri, tempat dia mengabdi selama puluhan tahun. Namun dia tidak ingin mati sehingga tidak punya pilihan lain. Rasa marah dan frustasi itu membuatnya menatap punggung pria yang melangkah semakin menjauh.

Ini semua karenanya! Dan karena wanita jalang itu!

Si kepala pelayan pun bangkit, mengambil pecahan kaca dari kandelir yang masih berserakan di lantai.

"Terkutuk kau iblis dari neraka dan jalang kecilmu yang menyedihkan itu!" teriaknya.

Langkah Lucius langsung terhenti.

Semua orang yang berada di sana menahan napas mereka.

Mungkin ini kenapa aku begitu muak melihat wajahnya, pikir Lucius. Dia menduga bahwa wanita tua itu ikut andil dengan luka-luka lebam di sekujur tubuh Alicia. Dan bagaimana si kepala pelayan memecat mata-matanya, Martha, hanya karena gadis itu mencoba memasuki kamar Alicia saat disekap di sini menjelaskan lebih banyak pada Lucius.

"Aku harap aku membunuhnya saat aku masih memiliki kesempatan!" serunya sebelum melangkah cepat dengan beling tajam teracung di tangannya.

Namun tepat sebelum benda itu mengenai Lucius, Lucius berbalik dan menahan tangannya, melepaskan peluru ke perut wanita itu tanpa ekspresi apapun di wajah.

Kepala Pelayan itu belum mati, terkapar di lantai dengan darah yang mulai merembes ke luar dari tubuhnya. Matanya membulat, mulutnya terbuka lebar oleh rasa sakit yang dahsyat. Lucius sengaja tidak langsung membunuhnya. Dia tadinya akan melakukan itu, tapi berpikir lagi bahwa akan lebih menyakitkan kalau dia membiarkan wanita itu mati secara perlahan oleh rasa sakit yang tidak akan tertahankan.

"Kalian memiliki waktu selama lima menit sebelum aku menghanguskan tempat ini," ucap Lucius.

Semua yang berada di sana langsung berhamburan pergi dengan panik. Tidak ada satupun yang mencoba untuk menolong si kepala pelayan, sedangkan lima penjaga yang terluka di pintu mereka angkut satu-satu dengan tergesa.

Lucius menyeringai. "Nampaknya kau memang pantas untuk mati."

Benjamin yang berdiri di ujung tangga kembali menurunkan pistolnya, dia baru saja hendak menembak kepala wanita itu, namun kalah cepat oleh tuannya. Ben pun melangkah mendekat.

"Kau mendengar ucapanku," ujar Lucius kepada Ben.

Ben mengangguk mengerti. Dia memerintahkan bawahannya untuk membakar rumah tersebut segera.

Tidak lama kemudian api mulai menyala, berkobar dengan liar dan membumbung tinggi ke atas, membakar semua yang ada di sekitarnya. Para pelayan dan penjaga tampak begitu pasrah di luar, hanya menonton pertunjukkan si jago merah tersebut.

Lucius memperhatikan pemandangan itu dari mobil. Dia tidak merasa puas sama sekali, amarahnya tidak juga mereda. Karena Alarick sudah pergi dan terlambat untuk menyusul pria itu sekarang. Lucius pun memerintahkan Benjamin untuk mengemudikan mobil kembali ke mansion.


•●tbc●•

Asia tahu AN di akhir itu mengganggu banget karena bisa ngilangin feel baca 😆 tapi Asia mau tanya...

Gimana chapter ini?

Maaf yaaa untuk yang sudah nungguin kemetongan Alarick 😂 Asia gak bisa bunuh dia sekarang, kalo doi mati, ntar IGNITE gak ada sequelnya dung wkwk... *spoiler

Oh iya, untuk info update dan spoiler lainnya, kalian bisa follow instagram Asia @deltaxia 💕

- ASIA (08/10/20)

Continue Reading

You'll Also Like

3.8M 42.2K 33
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1.1M 112K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
17M 755K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
1.5M 137K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...