Sore hari yang penuh konflik itu berubah menjadi kenangan yang indah bagiku. Setiap langkah yang kuambil menjadi saksi atas konflik batin yang kumiliki. Antara aku harus jujur atau menyimpan dalam-dalam perasaanku yang sebenarnya. Aku sadar, sejak pertemuan kami pertama kali, benih-benih cinta sudah mulai tertanam.
Banyaknya masalah yang datang dan kami hadapi bersama-sama, membuat hubungan kami semakin erat. Sejenak aku sadar, bahwa aku merasa kurang pantas akan dirinya. Sepertinya lebih baik aku bersyukur, masih bisa menjalani hubungan yang baik dengannya, seperti saat ini. Pada akhirnya, momen itu berhenti saat kami sampai di depan kos.
"Udah sampai nih, Ram. Langsung istirahat, ok?" ucapnya sembari tersenyum. Sebuah senyuman bagaikan magnet yang memikat pandangan mataku.
"Makasih ya, Del," balasku kaku.
"Sama-sama ,Ram. Kalo bisa sering-sering senyum kayak gini, biar keliatan makin ganteng, Bye," ucapnya cepat lalu dia langsung kabur sembari tertawa ke kostnya.
Aku terdiam sejenak, lalu menyadari bahwa aku sedang tersenyum sendiri seperti layaknya orang gila. Mungkin itu rasanya di pelet, pikirku ngasal. Aku pun masuk ke dalam kos dan melakukan rutinitasku. Setelahnya aku langsung berbaring di tempat tidur, mulai merenung dan tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Aku merasa sejak masuk kampus, hidupku yang dulunya tenang tanpa konflik jadi berubah drastis. Tapi entah kenapa aku tak merasa menyesal sama sekali, mungkin karena aku tak merasa bahwa itu buruk dan menganggap apa yang telah kulakukan adalah sesuatu yang benar.
Tanpa kusadari, sifatku yang selalu mencoba untuk menghindari masalah mulai berubah. Walau aku tak tahu perubahan itu akan berdampak baik atau buruk kedepannya. Malam itu kulewati dengan penuh perdebatan di dalam pikiran dan batinku, hingga tak terasa waktu berlalu cepat dan aku pun tertidur dengan lelap.
Suara kicauan burung dan aktifitas penghuni kost yang lain pun berhasil membangunkan tidurku. Tubuhku masih terasa pegal dan kurang nyaman, tapi berhubung hari ini masih ada jadwal kelas yang harus kuhadiri, aku terpaksa bangun dan langsung bersiap-siap untuk pergi ke kampus bersama Adellia.
Saat sampai di kampus, aku mulai merasa banyak orang yang memandangiku dengan tatapan yang aneh dan penasaran. Sepertinya Adellia juga merasakan yang sama, dia juga menatapku dengan bingung karena tak tahu apa alasannya. Kami pun langsung mempercepat langkah menuju kelas dan anehnya mahasiswa yang ada didalam kelas juga menatapku seperti orang-orang yang berada diluar.
Aku mulai berspekulasi dan bertanya dalam hati. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku mulai mengetahui alasannya, penyebabnya adalah kejadian perkelahian antara aku dan David kemarin. Sepertinya beritanya sudah mulai tersebar dikalangan mahasiswa fakultasku. Seketika aku menjadi orang yang populer, walau aku tak tau itu dalam artian konotasi yang baik atau buruk.
Sepanjang kelas berjalan, mereka masih sesekali menoleh dan menatapku dengan penasaran. Walaupun sebenarnya aku merasa risih, aku berusaha menghiraukan tatapan dari mereka. Beberapa dari mereka juga bertanya langsung denganku mengenai kejadian kemarin, tapi aku hanya berusaha berbasa-basi dan langsung mengakhiri percakapan secara halus.
Sesudah kelas berakhir, saat aku dan Adellia baru saja keluar dari pintu kelas, ternyata sudah ada dua mahasiswa yang sedang menunggu. Tanpa basa-basi, mereka langsung mengajakku kesuatu ruangan dengan alasan ada yang ingin menemuiku.
Aku sempat bertanya akan identitasnya, tapi mereka bersikeras merahasiakannya dengan alasan bahwa yang ingin menemuiku adalah orang penting. Dengan terpaksa aku harus mengikuti mereka. Aku menyuruh Adel untuk pergi terlebih dahulu, walau pada akhirnya dia tetap bersikeras untuk mengikutiku dan menunggu di luar ruangan.
Saat memasuki ruangan, aku melihat ada seorang pria dengan perawakan tinggi dengan wajah yang cukup tua duduk di sebuah kursi. Ekspresi wajahnya tampak sangat kaku dan dingin. Jika kuperhatikan dengan seksama, ternyata wajahnya mirip dengan David. Aku pun sadar bahwa ayahnya datang untuk menemuiku, mempermasalahkan kejadian kemarin.
"Kamu yang namanya Rama?" Dia bertanya dengan menatapku sinis.
"Iya, ada keperluan apa dengan saya pak?" tanyaku.
"Jadi kamu yang berani mukulin anak saya sampai luka parah begitu?" tanyanya dengan intonasi suara yang mulai naik.
"Iya pak, tapi saya hanya membela diri kok. Pada dasarnya anak Bapak yang memulai, dia mau mengeroyok saya dengan teman-temannya," jawabku membela diri.
Pria itu lantas mengacungkan jarinya ke arahku. "Saya tidak peduli sama alasan kamu. Buktinya yang luka itu anak saya, sedangkan kamu gak ada luka sama sekali."
Aku pun sadar bahwa berdebat dengan orang yang ada di hadapanku, hanya akan membuang-buang waktu saja. "Jadi mau bapak sebenarnya bagaimana? Walau saya cari alasanpun, pasti Bapak ga akan percaya. Terus terang saja, Pak."
"Yasudah, sekarang kamu ikut saya ke rumah sakit buat dan minta maaf ke David. Jangan lupa buat bayar biaya pengobatan sebagai kompensasi." Pria itu pun langsung menunjukkan tabiat aslinya.
Mendengar ucapannya membuatku sangat marah, aku sungguh tak menyangka ternyata ada orang tak tahu malu seperti ini.
"Maaf pak, saya gak merasa berbuat salah, jadi saya gak bisa ikut dengan Bapak." Aku langsung mencoba untuk melangkah pergi keluar dari ruangan.
Ekspresi wajahnya yang kaku itu perlahan mulai menunjukkan kemurkaan. Pria itu seketika mencegat jalanku. "Mau ikut saya atau mau dituntut secara hukum?"
Aku tak bisa menahan emosi didalam diriku, hingga akhirnya aku melontarkan ucapan yang malah semakin memperburuk situasi.
"Kalau Bapak masih waras dan punya malu, Bapak gak akan ngomong kayak gitu," balasku sambil menatapnya tajam.
Dia langsung memukul keras meja yang ada di sampingnya. "Berani kamu ngeledek saya? HAHHH!"
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan aku melihat Adellia yang langsung bergegas masuk.
"Dasar orang tua gak tau malu! Anak sama Bapak ternyata sama aja brengseknya!" hardiknya sembari menatap dingin Ayah David.
"Ayo Ram, kita pergi aja dari sini. Gausah dengerin dia ngomong." Adellia langsung menarik tanganku dan berusaha menyeretku keluar ruangan.
"Hei! Mau kemana kalian berdua! Jangan main-main sama saya!" teriak ayah David sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah kami.
Sembari kami pergi menjauh dari ruangan itu, Adellia masih memegang salah satu tanganku. Aku merasa tangannya terasa sangat halus dan lembut, ada sensasi dingin yang membuatku nyaman. Saat aku memandang wajahnya, sepertinya dia masih tidak menyadarinya. Mungkin karena dia masih terbawa suasana emosi hingga tak memperhatikanku. Tapi aku sengaja pura-pura tak menyadarinya dan tetap membiarkannya memegang tanganku.
Saat kami sampai diluar gedung kampus, sepertinya Adellia mulai menyadari posisi tangan kami berdua. Aku melihatnya menoleh seperti mengintip ke arahku sedikit, lalu dia mulai melepas tanganku perlahan-lahan agar tidak terlalu kentara. Suasana yang tadi tegang berubah menjadi canggung, kami berdua hanya berjalan pelan di dalam diam.
"Gausah dipikirin, Ram. Kamu gak buat salah kok," ucap Adel yang akhirnya memulai percakapan.
"Iya, Del. Aku sebenarnya cuma takut orangtuaku tau sama masalah ini aja, Del. Lebih ke arah takut ngecewain mereka," balasku menjelaskan.
"Kalau dengar cerita yang sebenarnya, aku yakin mereka bakal ngebela kamu kok, Ram," ucapnya meyakinkanku.
"Aku ga tau, Del. Soalnya baru kali ini aku punya masalah separah ini," ucapku gugup.
"Ga usah banyak dipikirin, Ram. Kalau ada apa-apa nantinya, aku pasti bakal dukung dan bantu kamu, kok." Adellia lalu tersenyum seakan ingin meringankan beban pikiranku.
Senyumnya itu berhasil membuat kekhawatiran yang ada di batinku berkurang. Kehadirannya membuatku berubah menjadi orang yang lebih terbuka dan percaya diri. Padahal sebelum bertemu dengannya, aku adalah orang yang tertutup dan tak akan berani melawan orang yang lebih tua dariku. Aku tak tahu dari mana munculnya keberanianku untuk menghadapi semua masalah yang kujalani beberapa bulan ini. Terkadang aku sulit percaya, bahwa aku bisa berubah sedrastis ini.
"Makasih banyak, Del," ucapku yang refleks tersenyum.
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekati posisiku. Saat menoleh kebelakang, aku melihat Riska yang sedang berlari menuju arahku.
"Ram, tadi bokapnya David ada ngomong apa ke kamu?" tanyanya dengan suara dan nafas yang ngos-ngosan.
Aku terdiam sejenak, lalu perlahan menjawabnya, "Ngomong banyak sih kak, tapi ga usah dipikirin kak."
Terpampang ekspresi khawatir dan panik di wajah Riska. "Dia pasti ngancam kamu ya, Ram? Aduh, aku jadi ga enak sama kamu, Ram."
"Gapapa kok kak, paling dia cuma mau nakut-nakutin aku doang," ucapku berusaha meringankan suasana.
Riska tampak merasa terganggu dengan ucapanku, lalu dia pun berkata, "Kayaknya sih dia serius, Ram. Soalnya setau aku, bokapnya David itu polisi yang pangkatnya lumayan tinggi."
Aku terdiam seketika, aku tak pernah menyangka masalahnya akan menjadi serumit ini. Pikiranku yang sudah mulai tenang kembali menjadi gusar. Kegelisahan seketika mengalir di sekujur tubuhku.
Riska tampak berpikir sembari menggigit ujung bibirnya. "Gini aja, Ram. Ikut aku sekarang, buat aku kenalin sama papaku. Soalnya papa aku punya banyak kenalan yang mungkin bisa bantuin kita."
Belum sempat aku membalas ucapan dari Riska, Adellia tiba-tiba saja memotong.
"Sekarang kamu mau ikut dia atau bareng aku, Ram?" tanya Adellia sambil menatapku dengan tajam.
"Ha?" ucapku dengan spontan, gagap akan situasi yang terjadi.
Bersambung ...