"Eh, kok kamu bisa ada di sini, Del?" tanyaku kaget seperti orang yang telah kepergok selingkuh.
"Aku dari tadi nyariin kamu Ram. Tau-taunya lagi enak berduaan di sini," ucapnya dengan ekspresi jengkel.
"Emangnya ada perlu apa, Del?" tanyaku lagi.
"Emangnya harus ada yang perlu baru bisa nyamperin kamu?" jawabnya balik.
Sepertinya aku salah bertanya. Aku bingung dengan sikap yang ditunjukkan Adel, antara aku yang terlalu percaya diri atau salah sangka. Aku merasa dia sedang cemburu saat aku sedang bersama Riska.
Aku kikuk dan tak tahu mau membalas apa, sedangkan Adel menatapku dengan ekspresi datar. Jujur, aku merasa ekspresi datarnya lebih menakutkan daripada ekspresinya saat sedang marah. Aku tak bisa menebak apa yang ada dipikirannya saat itu. Jadi lebih baik aku diam dan menunggu saat yang tepat untuk merespon.
"Halo Adellia, maaf ganggu. Kalo boleh tau, apa kalian berdua lagi pacaran?" tanya Riska tiba-tiba.
"NGGAK KOK!" ucap kami berdua secara serentak.
Riska hanya tersenyum melihat reaksi dariku dan Adellia. Sementara itu, kami berdua malah menjadi salah tingkah. Aku merasa sangat malu, dan ingin secepatnya pergi menghindar dari sana.
"Yaudah deh, aku pergi dulu ya, Ram. Makasih banget buat bantuannya tadi," ucap Riska sembari mengedipkan salah satu matanya.
"Ehh, iya sama-sama kak," balasku dengan canggung.
Setelah Riska pergi meninggalkan kami, Adellia pun mengajakku untuk makan bersama di kantin. Saat berjalan kami berjalan ke kantin, entah kenapa suasana makin terasa canggung. Sepanjang perjalanan menuju kantin, kami berdua tak berbicara sama sekali. Kami hanya menatap satu sama lain sesekali, layaknya dua sejoli yang sedang curi-curi pandang. Seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan hal aneh seperti ini, akibat telah menjomblo sepanjang hidup. Sesampainya di kantin, aku akhirnya memberanikan diri untuk memulai percakapan.
"Del, mau sampai kapan nih kita diem-dieman?" tanyaku sambil menatapnya matanya dalam-dalam.
"Hmmmm, tau ah Ram, aku lagi bete," balasnya sambil manyun.
"Sorry, Del," ucapku pelan, walau sebenarnya aku tak mengerti mengapa aku harus meminta maaf.
"Sorry buat apa Ram? Emang kamu ada buat salah?" tanyanya datar seakan tak terjadi apa-apa.
"Gapapa del, cuma mau bilang sorry doang, kok." ucapku sambil menggaruk kepala. Daripada semakin ruwet, aku memilih untuk mengalah saja.
Melihat responku, senyuman mulai tersungging di bibir Adellia. Matanya memandangku dengan tatapan kemenangan. Mungkin ini yang selalu disebut orang-orang, kalau wanita pasti selalu benar.
Saat di kantin, seperti biasanya kami hanya mengobrol santai, entah itu membahas film, kuliah, supranatural dan berbagai macam topik lainnya. Tak terasa kami menghabiskan waktu yang cukup lama disana, akhirnya kami beranjak dari kursi dan keluar dari kantin. Setelahnya kami pergi pulang bersama.
Saat sedang diperjalanan pulang, lagi-lagi kami dicegat di tempat yang sama saat aku berkelahi dengan Arif. Tempat ini selalu menjadi saksi akan masalah-masalah yang kuhadapi belakangan ini. Berbeda dengan yang kemarin, saat ini ada delapan orang yang bergerombol menghadang kami.
Tampak David yang berdiri ditengah, bagaikan boss diantara para anak buahnya. Di sampingnya berdiri orang yang tidak asing lagi bagiku, dia adalah Arif si cempreng. Dia memandangku dengan senyuman licik dan puas. Ternyata dia masih dendam akan hal yang terjadi saat ospek kemarin, pikirku.
"Del, kamu lari duluan, ya." ucapku buru-buru.
"Kamu gimana Ram? ayo kita lari bareng aja yuk," ucapnya panik.
Sebelum aku membalas ucapan Adelia, mereka sudah mulai bergegas berlari mendekatiku. Sepertinya tak ingin membiarkanku lolos sama sekali.
"Cepat kabur Del!" teriakku sambil mendorong pelan Adellia.
Dengan berat hati, akhirnya Adellia pergi kabur. Sepertinya dia ingin mencari bantuan warga sekitar, seperti yang dilakukannya sewaktu ospek kemarin. Walau secara logika bantuannya pasti tak akan datang tepat waktu. Yang dipikiranku, setidaknya Adellia bisa selamat dan tak terkena imbas dari masalahku.
"Beraninya keroyokan, kek banci aja lo pada," ucapku sambil menatap mereka satu persatu.
"Terus emangnya kenapa? panggil temen lo sana!" ucap David yang direspon dengan tawa teman-temannya.
"Lo mau remuk dibagian mana dulu nih. Gua kasih lo milih sendiri deh," ucap Arif dengan ekspresi tengilnya.
Saat mereka sibuk berbicara dan mengolok-olok diriku. Tiba-tiba pria berjubah merah muncul disampingku dan berkata. "Jangan lakukan perlawanan,"
Selesai dia berbicara, perlahan aku mulai merasa hilang kontrol akan tubuhku sendiri. Aku hanya bisa melihat dan mendengar, bagaikan seorang penonton. Tubuhku mulai bergerak dengan sendirinya, lalu mencekik leher Arif dengan tangan kanan saja. Sementara itu, David dan temannya tak diam saja. Mereka mulai menyerangku dengan berbagai pukulan dari berbagai arah, alias mengeroyokku tanpa ampun.
Tapi anehnya, tubuhku tak bergeming sama sekali. Tubuhku tetap bergerak seperti sebelumnya. Aku merasakan sebuah kegirangan yang meluap dari makhluk yang menghinggapi tubuhku. Sebuah rasa, di mana dia haus dan ingin mencicipi darah.
Sebuah tinju dilayangkan menuju wajah Arif berkali-kali hingga membuat wajahnya berkucuran darah. Tubuhku lalu melepas cekikan setelah Arif tak berdaya. Sedangkan David dan teman-temannya masih sibuk memukul dan berusaha melepaskan Arif dari cengkeraman tubuhku. Beberapa dari mereka berusaha mengunci tubuhku agar tidak bisa bergerak, tetapi yang ada mereka malahan terangkat saat makhluk yang ada di tubuhku berusaha memberontak.
Sampai saat mereka sudah mulai kehabisan tenaga, makhluk yang ada di tubuhku tak memberi mereka jeda dan tetap memukul mereka membabi buta bagaikan orang gila. Semua pukulan yang mereka lontarkan tak dihiraukannya. Mulutnya menyeringai, sembari memukul dan menendang mereka dengan barbar. Hingga satu persatu dari teman David mulai berjatuhan di tanah dengan bekas luka dan lumuran darah di beberapa bagian wajah mereka.
Ekspresi wajah mereka yang awalnya penuh tawa berubah menjadi ekspresi ngeri dan ketakutan. Walaupun mereka sudah menyerah, pria berjubah merah yang sedang berada ditubuhku tidak memperdulikannya. Dia tetap memukul dan menendang mereka yang masih berdiri mau pun yang tergeletak di tanah.
Entah kenapa, aku mendapat perasaan bahwa dia memiliki suatu amarah yang ingin dilampiaskan sejak lama. Mungkin aku bisa dapat merasakannya, karena dia masuk ke dalam tubuhku disaat aku sedang di dalam kondisi sadar.
Pada akhirnya, cuma tersisa David yang masih berdiri dalam keadaan diam membisu. David menatapku penuh ketakutan, layaknya sedang melihat setan di siang bolong. Saat aku mendekatinya, tubuhnya terlihat gemetaran sampai-sampai dia pun terjatuh dengan sendirinya.
Tangan kiriku bergerak mencekik lehernya, sedangkan tangan kananku bergerak untuk memukul wajahnya berkali-kali. Aku bahkan sampai lupa akan berapa jumlah pukulan yang telah kuluncurkan. Aku hanya bisa memperhatikan wajah David yang semakin lama semakin tak jelas bentuknya. Seluruh wajahnya dipenuhi akan darah dan luka, saking shock-nya dia sampai tak sadarkan diri.
Aku mencoba untuk mengambil alih kendali tubuhku, dengan berkomunikasi secara batin kepada pria berjubah merah yang sedang berada ditubuhku. Sepertinya dia paham akan maksudku, lalu dia segera pergi meninggalkan tubuhku saat itu juga.
Setelah mendapat kendali akan tubuhku sendiri, aku tak merasakan kehadirannya di dekatku lagi. Perlahan aku mulai memperhatikan teman David yang sudah tergeletak ditanah, mereka masih memegangi wajah dan bagian tubuhnya yang kesakitan.
"Kalo masih pengen dia hidup, cepet obatin tuh orang," ucapku dingin, mencoba untuk terlihat teguh.
Mereka perlahan bangun dan segera memapah David dan Arif yang sudah tak sadarkan diri. Beberapa saat setelah mereka pergi, dari kejauhan aku melihat Adellia dengan beberapa orang yang sedang berlari menuju arahku.
"Kamu gapapa Ram? Kok mereka pada hilang semua?" tanya Adel dengan wajah bingung.
"Mereka udah pada kabur semua, Del," jawabku lemas.
Adellia menatapku dengan curiga, sepertinya dia mengerti setelah memperhatikan pakaianku yang kotor dan penuh bercak darah. Sedangkan orang-orang yang datang menatapku bingung dan heran. Tatapan mereka seperti menanyakan kenapa penampilanku sudah seperti seseorang yang mengalami kecelakaan. Kami pun berterimakasih dan meminta maaf kepada orang-orang yang dimintai bantuan karena telah merepotkan mereka.
"Laki-laki itu, masuk ke badan kamu lagi ya, Ram?" tanya Adel.
"Iya Del. Bedanya waktu dia masuk tadi, aku sadar sepenuhnya," jawabku
Adel hanya diam menatapku sesaat. Tampak keraguan di wajahnya saat ingin menyampaikan sesuatu kepadaku.
"Badan kamu ada yang luka gak?" tanya Adel dengan penuh khawatir.
"Gapapa kok, Del. Cuma pegel-pegel doang," jawabku sembari melontarkan tersenyum palsu. Sebenarnya aku merasa badanku hampir remuk. Rasa sakit yang muncul kian menghantamku secara sekaligus, di saat aku mengambil alih tubuhku kembali.
"Sini aku bantuin," Adellia tampaknya berhasil melihat kebohonganku. Dia lantas mencoba membantu memapahku.
Aku sangat terkejut dan spontan menolaknya, "Eh jangan del, badan gua lagi kotor banget, nih."
Tetapi Adel tak memedulikan ucapanku dan tetap memaksa untuk memapahku.
"Udah gausah pake protes, Ram," balasnya dengan paksa.
Melihat ekspresi wajahnya yang serius, membuatku tak berani membantah perkataannya. Aku hanya bisa pasrah dan berusaha menikmati setiap detik dari momen langka ini. Momen langka yang terekam rapi di memori indahku.
Bersambung ...