Terdapat moodswing yang sangat terjal di chapter ini jadi siapkan diri Anda 😅
Chapter ini cukup panjang, jangan lupa kasih vote dan komen yaaa (ಥ_ಥ)
•●※●•
"What are you doing here, Alicia?" Lucius berbisik ketika Alicia bernapas seolah seluruh oksigen telah direnggut darinya. Alicia mengangkat tangan, meraba wajah Lucius dan mengusap rahangnya yang mengeras.
"A-aku..." Alicia mencoba menjawab.
Lucius menyentuh tangan Alicia di wajahnya, menghentikan gerakan lembut itu. "Apakah kau datang untuk ini?"
"Huh?" Alicia mengerjap beberapa kali, berharap sekali dapat melihat raut di wajah Lucius saat ini, tapi pikirannya masih dibalut kabut gairah.
Terdengar suara kekehan mencemooh dari Lucius yang membuat Alicia semakin bingung. "Lihat, beberapa hari yang lalu kau menuduhku telah memerkosamu, padahal kau juga menikmatinya. Persis seperti sekarang. Apakah ini yang kau inginkan? Datang ke kamarku untuk menggodaku lagi, Alice?" nada dingin di suara Lucius itu membuat sekujur tubuh Alicia membeku dan dia pun mulai tersadar.
"Tu-tunggu sebentar!" Alicia mendorong tubuh Lucius menjauh ketika lelaki itu hendak kembali mencumbu lehernya dan menyentuh payudaranya. Alicia pun sadar seberapa terbukanya dia sekarang. "A-aku tidak datang untuk itu!" bantahnya dengan tegas yang justru terdengar lirih. Matanya mulai memanas saat ucapan Lucius semakin merasuki pemahamannya.
"Lalu? Apakah ada hal lain yang kau inginkan selain... ini?"
Alicia terkesiap ketika Lucius mengecup puncak dadanya.
Bahkan di dalam kegelapan, bagaimana lelaki itu bisa melakukannya?! Alicia sudah akan terisak ketika lampu tiba-tiba saja menyala.
Mata Alicia langsung terpejam oleh silau lampu. Dia merasakan Lucius menjauh dari tubuhnya dan dengan bingung Alicia merasa kehilangan, sehingga dia membuka matanya perlahan dan melihat Lucius berdiri tanpa atasan sambil melempar sebuah remote kecil ke atas sofa di kaki Alicia.
Alicia lantas bangkit dan dengan cepat merapikan baju tidurnya yang nyaris terkoyak, beberapa kancing teratasnya lepas. Alicia merapatkan tubuhnya dan duduk meringkuk di atas sofa merah. Dia mengedarkan pandang, melihat ruangan yang luasnya tidak seberapa dengan keempat sisi dinding berwarna hitam, diisi hanya dengan beberapa furnitur saja; sebuah kursi dan meja kerja yang terbuat dari kayu, sofa merah yang saat ini Alicia duduki, dan sebuah meja panjang terbuat dari besi di sebelah kanan Alicia. Alicia menyipitkan mata melihat benda yang berada di atas meja besi itu. Apakah itu sebuah pistol?
Itu memang pistol, Alicia meneguk ludah dengan susah payah. Setelah melihat apa yang dilakukan Lucius di ruang kerjanya tadi, Alicia tidak terlalu terkejut lagi bahwa Lucius memang menyimpan senjata-senjata mematikan di rumah ini.
Alicia menoleh ke arah Lucius lagi yang tengah bersandar di meja kerjanya, menatap Alicia. Segelas minuman berwarna merah terselip di antara jemari Lucius. Mata lelaki itu yang juga bewarna serupa memerhatikan Alicia.
Alicia merasa bahwa Lucius menunggunya mengucapkan sesuatu. Dan dalam keadaan yang begitu rapuh, tatapan Lucius membuat Alicia merasa semakin ditelanjangi. Alicia pun memeluk lutunya semakin erat. Di benaknya dia merutuki diri sendiri karena bisa begitu mudah terlena akan godaan sang tuan.
"Aku... hanya penasaran," gumam Alicia dengan pandang menunduk untuk menghindari tatapan Lucius yang mengintimidasi.
"Penasaran?"
"Hm."
"Apa rasa penasaranmu itu meliputi gairah juga?"
"Ti-tidak!" bantah Alicia cepat, sekaligus sedih karena Lucius memandangnya serendah itu.
Tapi memang, Lucius memang selalu memandangnya rendah. Namun setiap kali lelaki itu menunjukkannya, Alicia tidak bisa menampik perasaan mencubit di ulu hati.
Lucius menenggak habis anggurnya dan mendekati Alicia, tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan bertumpu di sandaran sofa, mengukung Alicia, sedang gadis itu duduk semakin meringkuk.
Awalnya mereka saling tatap, tapi Alicia tidak kuat pada intimidasi yang tatapan Lucius miliki.
"Kenapa kau tidak lari, Alice?"
Alicia yang kemudian menyembunyikan wajahnya di antara lutut pun tidak tahan untuk tidak menangis. Karena dia mempertanyakan pertanyaan yang sama berulang kali. Kenapa tidak lari?!
"Hm? Di saat aku memberimu begitu banyak kesempatan untuk melakukannya. Kenapa?"
"A-aku... aku tidak tahu...!" Alicia terisak samar.
"Alicia-ku yang malang," kekeh Lucius pelan. "Haruskah aku menuntaskan apa yang tadi telah kita mulai?"
"Kumohon jangan perkosa aku lagi seperti waktu itu." Alicia mendongak, matanya merah dan basah oleh air mata, kemudian dia melanjutkan, "Aku tidak akan kuat menahan ini semua lagi," lirihnya.
Rahang Lucius mengencang. "Sekejam itukah aku di matamu? Tapi akui saja, bahwa kau pun menyukai apapun yang telah kulakukan padamu. Dan aku yakin kau akan menyukai yang ke depannya juga."
"T-tidak..."
"Ya, kau memang tidak menyadarinya."
"Aku mau pergi..."
Lucius menahan tubuh Alicia agar gadis itu tidak kemana-mana. Alicia pikir tekanan yang Lucius berikan tidak akan sampai sejauh ini, tapi Lucius terus-terusan membuatnya kebingungan dan ketakutan. Bukan hanya bingung atau takut pada lelaki itu, sekarang Alicia pun merasa takut pada dirinya sendiri.
"Kau tahu... aku tidak pernah bisa menghilangkan kenangan tentang hari itu dari benakku. Api yang ada pada dirimu benar-benar telah menyulut milikku. Aku mengagumi setiap perlawanan kecilmu juga kepasrahanmu dalam kuasaku. Kau mendesah, berteriak, bahkan meminta lebih. Apakah itu yang disebut pemerkosaan?"
Alicia merasa seolah dadanya dihimpit batu yang sangat besar. Dia terisak semakin keras, kemudian menutup kedua telinganya dengan tangan, berharap bisa menulikan diri dari apapun yang Lucius katakan.
Lucius tersenyum kaku. Seharusnya dia merasa senang. Seharusnya dia bisa memenangkan permainan ini dengan mudah. Tapi semakin hari, kehadiran Alicia yang semula dianggapnya menguntungkan malah menimbulkan banyak masalah, terutama masalah pada dirinya sendiri.
"Aku tidak akan terkejut jika setelah hari itu kau melakukan percobaan untuk kabur. Aku memberimu waktu yang begitu banyak." Lucius mengusap pelipis Alicia dengan kelembutan yang Alicia tahu adalah palsu. "Tapi kau malah memilih untuk tinggal. Kau bahkan bersikap seolah pemerkosaan, seperti yang kau katakan itu, tidak pernah ada. Kau tidur dengan nyenyak setiap malam."
"He-hentikan... tolong..."
"Aku bahkan memberikanmu izin untuk keluar."
"Ke-kenapa k-kau melakukannya?"
"Karena aku penasaran, sampai sejauh mana kau akan bertahan."
"Bunuh saja aku," lirih Alicia, menatap Lucius tepat di mata.
Lucius tidak melihat ada api yang bergejolak lagi di dalam sana, walaupun berupa titik kecil. Tatapannya syarat akan kepasrahan dan permohonan. Dan amarah tiba-tiba meletup naik pada diri Lucius.
Usapan tangan halus di wajah Alicia berubah menjadi cengkraman erat. "Aku tidak akan segan-segan melakukannya."
"Kumohon... Lakukan saja."
"Lakukan saja? Lalu bagaimana dengan kedua orangtuamu? Bagaimana dengan mimpi-mimpimu itu, hm?"
"Orang tuaku hidup dengan baik bahkan ketika aku tidak ada bersama mereka. Dan mimpi-mimpiku... semua itu telah lama kau hancurkan. Jadi tolong..."
Napas Lucius berubah memburu. Dia lalu melepas cengkraman jemarinya di wajah Alicia dan bangkit berdiri. Lucius berjalan cepat menuju meja kerjanya dan mengisi gelas anggurnya lagi. Setelah menyesap cairan merah itu, amarah yang dirasakan Lucius justru semakin naik dan dia memukul mejanya dengan dua kepalan tangan, menimbulkan suara yang mengejutkan Alicia.
Sosok Lucius kemudian terasa semakin gelap. Nyaris seperti ketika Alicia melihatnya di dalam kantor ketika lelaki itu menyiksa para bodyguardnya.
Alicia sudah pasrah akan dibunuh. Dia menutup matanya yang sudah terasa perih oleh air mata dan tubuhnya jatuh berbaring di sofa.
Namun kemudian, dirinya diangkat dan dua lengan kekar melingkari tubuhnya, memeluknya erat. Alicia terkejut. Dia membuka kedua netranya lagi dan langsung di hadapkan pada dada bidang yang keras. Alicia mencoba melepaskan diri, tapi Lucius menahannya.
"Tenanglah," bisik sang iblis.
Yang membuat Alicia tenang bukanlah ucapan itu, tapi nada yang Alicia dengar di dalamnya. Bisakah sang iblis merasakan perasaan sedih?
Kemudian napas Lucius yang semula memburu berangsur normal saat tangisan Alicia pun tidak lagi terdengar.
"Kau seharusnya membunuhku, bukan malah memelukku." Alicia berkata lirih, suaranya teredam dalam pelukan yang terasa meruntuhkan setiap dinding pertahanannya.
"Aku tidak akan membunuhmu," bisik Lucius di atas kepala Alicia. "Kau tidak akan mati," lanjutnya, "tidak akan pernah terjadi selama kau berada di bawah awasku."
Salju turun semakin deras di luar sana, dingin yang semakin membeku, membuat malam terasa semakin mencekam. Mereka terdiam dalam momen itu dalam kesunyian yang terasa seperti magis, di bawah lampu temaram yang berpendar lembut.
"Saat di luar tadi, aku melihat seorang pria yang mencurigakan," Alicia akhirnya membuka suara kendati kantuk mulai menggantung di bawah pelupuk matanya karena usapan lembut tangan Lucius di punggungnya. "Awalnya kupikir hanya perasaanku saja dia terus memperhatikanku, tapi ketika aku keluar dari toko sebuah mobil menyerempet ke pinggir dan nyaris saja menabrak kami." Alicia mendongakkan kepalanya dan menatap raut wajah Lucius yang tidak berubah, "Dan aku melihat pria mencurigakan itu di balik kemudi." Alicia mengernyit karena raut wajah Lucius sama sekali tidak berubah, tetapi tatapannya tampak menggelap. "Kau sudah mendengarnya dari Ben, kan?"
Lucius terdiam, lalu menjawabnya dengan gumaman singkat, "Hm."
Alicia menghela napas, lalu menyandarkan kepalanya lagi di dada Lucius. "Apakah kejadian itu ada hubungannya dengan si penyusup."
"Mungkin."
Jawaban singkat Lucius sama sekali tidak membuat rasa penasaran Alicia terpenuhi. Dia menatap dinding hitam di depan pandangannya sembari menimbang-nimbang pertanyaan di dalam benaknya.
Setelah ragu untuk beberapa saat, Alicia akhirnya bertanya, "Apa sebenarnya hubungan yang kau miliki dengan kedua orang tuaku?"
Lucius mendengar itu terkekeh kecil. "Apa yang membuatmu berpikir bahwa kami memiliki hubungan?"
"Awalnya kupikir, kau memiliki obsesi aneh dengan perempuan belia. Tapi semakin lama, entah kenapa aku semakin merasa bahwa semua ini ada hubungannya dengan orang tuaku."
"Hm..." Lucius bergumam panjang.
Alicia melepaskan diri dari pelukan Lucius dan lelaki itu membiarkannya. Tatapan Alicia yang biasanya, kembali, walau pelupuk matanya masih sedikit bengkak dengan bulu mata yang masih lembab, dia menatap Lucius dengan serius. Dan Lucius bisa melihat api itu kembali menyala-nyala.
"Apakah kau tidak mau menjelaskannya?" tanya Alicia.
Lucius terdiam lama. Alih-alih menjawab, dia justru meraih beberapa helai rambut Alicia di wajah gadis itu, dan menyampirkannya ke belakang telinga. "Sudah malam, sebaiknya kau kembali ke kamar."
"Aku tidak ingin kembali ke kamar," jawab Alicia cepat.
Lucius menatapnya, senyum tipis tersungging di ujung bibirnya. "Kau tidak ingin kembali ke kamar?" ulang Lucius.
Alicia mengangguk, kini tampak ragu-ragu. Yang mana hal itu membuat senyuman Lucius melebar.
"Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan? Karena aku tidak akan mengatakan apapun."
"Aku akan menunggu sampai kau berubah pikiran," kata Alicia masih tetap teguh pada pendiriannya.
"Kau hanya akan melakukan hal percuma," sahut Lucius tenang.
Benar, apa yang membuat Alicia berpikir bahwa dia bisa merubah pikiran sang iblis?
Tapi ini adalah waktu yang tepat untuk mendapat semua jawaban. Setelah kekacauan yang dirasakannya sebelumnya, Alicia pun terkejut dengan perasaannya yang sekarang. Hanya dengan sebuah pelukan hangat nan lembut, telah berhasil meruntuhkan semua dinding pertahanannya dan membuatnya luluh. Alicia tahu dirinya lemah, tapi tidak pernah berpikir bahwa dia selemah itu. Namun sekarang, sudah terlambat untuk membangun dinding-dinding itu lagi. Dia bisa menggunakan waktu ini untuk memenuhi rasa keingintahuannya dan mendapatkan kepastian. Dan Alicia memang berniat menunggu sampai Lucius mau menjelaskan semuanya.
"Apa hanya karena itu kau datang ke sini?" tanya Lucius sembari bangkit dan melangkah ke atas meja kerjanya untuk mengambil anggur dan menyalakan sebatang rokok. Dia melangkah ke sisi dinding dan membuka sebuah tirai berwarna hitam, yang selama ini telah menyembunyikan keberadaan sebuah jendela kaca.
"Ya," jawab Alicia singkat, tanpa sadar dia telah bangkit dan melangkah mendekati Lucius, berdiri di sampingnya untuk menatap butiran salju yang terus berjatuhan di luar sana.
Karena Lucius bungkam, Alicia pun menoleh padanya, dan melihat ujung batang rokok yang terbakar, Lucius menyesapnya sehingga warna merah pada ujung rokok itu semakin naik, kemudian kepulan asap keluar bersamaan dengan napas lelaki itu.
"Bagaimana rasanya?" tanya Alicia tiba-tiba, merujuk pada benda di antara dua jari Lucius, lagi-lagi rasa penasaran mengalahkan logikanya sendiri.
Lucius kemudian menoleh padanya dan menatapnya lama. "Kau mau coba?" ucapnya kemudian.
Alicia tidak menjawab, tapi Lucius tahu tatapan mendamba di kedua netra gadis itu. Maka Lucius pun mendekatkan rokok yang ia apit di antara jemarinya itu ke bibir Alicia. Alicia menatapnya sesaat seolah meminta persetujuan.
"Cobalah," ucap Lucius dengan suara serak.
Alicia pun mengapit ujung kapas rokok itu di bibirnya.
"Hisap."
Alicia menghisapnya pelan, rasa hangat menjalari tenggorokannya, dan ketika Lucius menarik benda itu dari bibir Alicia, Alicia langsung membuang napasnya dan terkejut mendapati asap tebal membubung tinggi. Awalnya Alicia berpikir hanya itu, tapi rasa setelahnya yang membuat Alicia mengernyit dengan tidak nyaman.
"Minum ini." Lucius menyodorkannya anggur merah dan tanpa pikir panjang Alicia pun langsung meneguknya habis hanya untuk setelahnya merasa semakin buruk karena rasa kuat yang anggur itu miliki.
Lucius terkekeh ketika Alicia batuk-batuk. Cairan anggur itu sedikit meleleh ke luar dan mengalir ke dagu Alicia, Lucius menggunakan jarinya untuk mengusap lelehan anggur itu dan tersenyum. "Apakah kau puas karena rasa penasaranmu terpenuhi?"
Alicia menggeleng. "Aku... tidak akan mencobanya lagi," ucapnya tercekat.
Tapi pada akhirnya saat malam semakin larut, Lucius yang sengaja terus menyalakan rokoknya sambil sesekali menyesap anggurnya, beberapa kali merecoki Alicia sampai gadis itu terlalu mabuk untuk sadar apa yang terjadi; dia tertidur di dalam pelukan sang iblis, lagi.
Lucius tersenyum, inilah kemenangan yang diinginkannya.
•●tbc●•
Asia keknya gagal ya menyampaikan bahwa Alicia tuh sebenernya punya mental health issue dan Lucius tau itu 😅
Menurut kalian?
ASIA ❤
[26/04/20]