Ketika terbangun dari pingsannya, Alicia menemukan dirinya sendiri bersandar di dada Lucius di atas pangkuannya di ruang makan. Para pelayan hilir mudik menyajikan sarapan mereka ke meja makan. Alicia terkesiap oleh rasa malu dan berjuang untuk lepas dari kungkungan pria itu.
Walau tidak menatap padanya, senyum Lucius dan eratnya pelukan lelaki itu pada tubuhnya menandakan bahwa dia menyadari kesadaran Alicia, tapi memutuskan untuk tidak menghiraukannya.
Apa aku boleh pergi?! Batin Alicia mengerang frustasi. "A-apakah aku boleh turun?" adalah tanya yang berhasil dia keluarkan walau dengan suara mencicit kecil, karena Alicia khawatir para pelayan akan mendengarnya. Namun sepertinya mereka sudah terlatih dengan sangat profesional sehingga mereka serempak tampak tidak terganggu oleh adegan tidak senonoh yang tuan mereka suguhkan, atau mungkin mereka sudah terbiasa? Alicia tidak ingin memikirkannya, terlebih ketika dia ingat bisik-bisik yang para pelayan lakukan di dapur semalam. Alicia sekarang tidak tahu itu hanya mimpi atau kejadian nyata.
"Tidak boleh," jawab Lucius dengan wajah datar.
Alicia kemudian menyerah.
Lucius mengubah posisi Alicia dalam pangkuannya sehingga Alicia duduk seolah Lucius adalah kursinya. Saat ini, Alicia merasa tidak berdaya dan kecil sekali dibanding tubuh Lucius yang tinggi dan kekar. Kedua tangan Lucius di sisi tubuh Alicia, memegang sendok dan garpu untuk sepiring makanan di hadapannya. Apakah mereka akan makan di piring yang sama?
Alicia melirik dua figur yang terbentuk pada mozaik jendela. Seorang gadis dan iblis yang memeluknya. Darah Alicia langsung berdesir deras, jantungnya berdetak semakin kencang, sekujur tubuhnya meremang. Sosok gadis dalam pelukan iblis itu terlihat semakin jelas dan jelas seperti dirinya.
Sentuhan lembut tangan Lucius pada rambutnya menyadarkan Alicia. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Little Girl?"
Alicia memeluk lututnya semakin erat ke dada. Pada panggilan Lucius itu, Alicia merasa semakin kecil saja. Perasaannya sungguh kacau sekarang, Alicia tidak tahu harus bagaimana.
Pria di belakangnya tidak lagi mengelus kepalanya. Dan entah kenapa Alicia merasa kehilangan pada kenyamanan yang diakibatkan oleh sentuhan itu. Lucius kemudian mulai menyuapinya dengan makanan yang ada piring. Alicia ingin mengelak, namun cacing-cacing di perutnya berbunyi dengan cara yang sangat memalukan sehingga Alicia menerima saja suapan Lucius dengan wajah memerah seperti tomat. Lucius terkekeh di belakangnya.
"Sekarang aku baru menyadarinya, kau lebih ringan dari terakhir kali saat kau berada di pangkuanku."
Malam saat dia berada di pangkuan lelaki itu adalah ingatan terakhir yang ingin Alicia punya. Sekarang dia memikirkannya lagi dan merasa lebih buruk dari sebelumnya.
"Apakah kau tidak makan dengan baik saat aku tidak ada?" tanya Lucius.
Alicia tidak menjawabnya. Dia mustahil memberitahu Lucius bahwa ketika lelaki itu pergi, Alicia tidak pernah bisa berhenti memikirkannya. Seperti gadis bodoh! Alicia merutuki dirinya sendiri.
"Aku makan lebih banyak saat Tuan tidak ada," jawab Alicia berbohong. Dia terkesiap ketika tiba-tiba saja Lucius mendaratkan ciuman di tengkuknya dan mengendus sekitar belakang telinganya.
"Hm... aku mencium kebohongan dengan sangat jelas," gumam lelaki itu. sebelah tangannya menekan perut Alicia sehingga dia lebih leluasa mencium tengkuk gadis itu, yang kemudian berlanjut ke punggungnya.
Alicia menggigit bibirnya kuat-kuat ketika dia berpegangan pada lengan kekar Lucius. "Bu-bukankah kita... akan sarapan?" tanya Alicia terbata.
Lucius terkekeh kemudian menjauh. Dia menyesap anggur merahnya dan tersenyum lebar melihat punggung rapuh di hadapannya.
"Aku sudah kenyang," kata Alicia, ingin cepat-cepat kembali ke kamarnya.
"Tidak, kau belum," sahut Lucius dan kembali menyuapi Alicia, sedangkan dirinya tidak sedikitpun menyentuh makanan itu. Dia terbiasa meminum anggur kapanpun dia mau, bahkan di pagi hari sekalipun.
Melihat jemari Lucius melingkar di kaki gelas anggurnya yang mewah, Alicia meneguk ludahnya pelan. Apakah mereka juga akan berbagi dari gelas yang sama? Alicia tentu tahu minuman itu, dan sejak awal dia benar-benar penasaran dengan rasanya karena hampir setiap hari Lucius meminumnya. Ibu jari pria itu, yang dilingkari oleh cincin hitam mengilap, mengusap permukaan gelasnya dengan pelan. Tangan Alicia tanpa sadar terangkat dan langsung memegang gelas anggur itu tepat di atas tangan Lucius.
Lucius terkejut oleh gerakan tiba-tiba itu, begitupun juga Alicia yang langsung menyadari kelakuannya dan menurunkan tangannya.
"Ma-maaf! Aku... itu... aku tidak sengaja!" ucap Alicia dengan panik. Dia sekali lagi mencoba untuk turun dari pangkuan Lucius.
Lucius menekan perutnya lagi sehingga punggung Alicia menempel pada dadanya. "Kau mau mencoba ini?" bisik Lucius, terdengar sangat dekat di telinga.
Alicia terdiam. Dia memang penasaran dan ingin mencoba, tapi mendengar Lucius mengatakannya, sekarang Alicia menjadi ragu-ragu.
"Tidak," jawab Alicia tegas. "Aku akan kembali ke kamar saja."
"Berbaliklah!" kata Lucius, tidak menghiraukan permintaan Alicia.
Dan Alicia pun tidak menghiraukan perintahnya. Mustahil rasanya berbalik dan menatap pria itu ketika yang ingin dilakukannya adalah pergi sejauh mungkin dari sana.
"Alicia." Suara Lucius terdengar penuh peringatan.
Alicia bergidik, namun tubuhnya tidak juga bergerak.
Lucius tersenyum, lelaki itu membungkuk, mengendus leher Alicia lagi. Kemudian tiba-tiba saja kepalan tangannya memukul meja dan menyapu piring-piring di atasnya yang langsung berjatuhan ke lantai dengan suara yang memekakkan telinga.
Alicia memekik ketakutan. Tubuhnya langsung bergetar hebat.
Lucius terkekeh di belakangnya. Dan entah kenapa, kekehannya itu seolah memiliki kesan yang berbahaya. Alicia tahu lebih baik untuk diam atau sang iblis akan melakukan yang lebih buruk. Alicia membayangkan api bermain-main di mata merah menyala itu, menatapnya dengan tajam. Jika saja tatapan dapat membunuh, Alicia mungkin sudah tidak lagi menjadi makhluk bernyawa sekarang.
Lucius menggeram kemudian membalik tubuh Alicia dengan kasar. Pekikan terkejut gadis itu tidak dihiraukannya.
"Sakit!" rintih Alicia pada tangannya yang dicengkeram Lucius dengan erat.
"Kau harus belajar untuk tidak membantah perkataan tuanmu!" desis Lucius.
Ketika Alicia mendongak menatapnya, dia tidak mendapatkan api bermain di sana. Merah itu tampak seperti bara yang redup. Alicia bingung. Dia sudah membayangkan yang terburuk, namun Lucius justru menatapnya dengan... lembut?
Alicia terkesiap. Dia sepenuhnya melupakan rasa takutnya. Dan ketika dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Lucius telah lebih dulu membungkam bibirnya dalam ciuman yang dalam. Alicia menggeram untuk lepas dari cengkeraman lelaki itu, namun kemudian dia tersadar ketika ciuman itu terasa berbeda. Lucius menciumnya dengan sangat lembut, tidak tergesa-gesa dan intens. Lelaki itu menyecap bibirnya seolah baru pertama kali, seolah dia hendak mengenal setiap lekuk dan kelembutannya.
Tidak lama kemudian, Alicia mendapati dirinya tenggelam dalam ciuman yang memabukkan itu.
Ketika Lucius menjauh, napasnya terdengar terengah-engah dan begitu seksi di telinga Alicia. Alicia baru pertama kali mendapatinya seperti ini, atau bahkan baru pertama kali mendapati dirinya sendiri merasa seperti ini.
"Kau penyihir kecil, berhenti menguasai pikiranku seperti ini!"
Alicia terlalu tenggelam dalam sensasi yang dirasakannya sehingga perkataan Lucius hanya terdengar seperti gumaman tidak jelas di telinganya.
"Tu-tuan...?"
Lucius hanya terdiam. Tersadar oleh seberapa dekat mereka. Tubuh Alicia menempel sempurna pada tubuhnya. Dada gadis itu menekan dadanya. Dan bagian dari dirinya di bawah sana semakin mengeras oleh tatapan yang Alicia berikan.
Lucius sepenuhnya tersadar. Tatapan lembutnya berubah tajam. Dia mengangkat tubuh Alicia dan mendudukkannya di atas meja. Dan tanpa melihat gadis itu lagi, Lucius berlalu pergi.
~•●•~
Besok update lagi aaahhh hihihihi~
❤, Asia.
[03/03/20]