SEQUEL HAIFA ON PROCESS

By ariskakhurnia

5.1M 350K 15.4K

ADA SEQUEL HAIFA BACA YUK! [TELAH TERSEDIA DI GRAMEDIA DAN TOKO BUKU LAINNYA] BLURB VERSI WATTPAD Di balik bu... More

Prolog
Haifa Saqeenarava
Akbar Arvinio Rajendra
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Chatting
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Preview | Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Tiga
GIVEAWAY ARESHA
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Sumber Rujukan
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima (A)
Empat Puluh Lima (B) - END
Epilog
HAIFA Versi Cetak
Extra Chapter
Novel HAIFA Awal Maret
HAIFA Segera Terbit
VOTE COVER
PRE ORDER HAIFA
PRE ORDER Halal Bersama Arselia
SEQUEL HAIFA HADIR!
01. Delapan Tahun Denganmu
02. Dinner Impian
03. Cerita Hafshah

Dua Puluh Satu

86.6K 7.1K 639
By ariskakhurnia

Narasinya dibaca juga ya jangan diskip biar ngena. Alurnya juga maju mundur, semoga nggak pada bingung.

⚠ BAPER

🌸🌸🌸


Kami tidak melihat ada solusi bagi sepasang insan yang saling jatuh cinta selain menikah.

(HR. Ibnu Majah)

***

Tidak seperti hari biasanya, hari ini Haifa berangkat ke kampus dengan hati yang berdebar kencang, lebih kencang ketika ia harus memberikan proposal CV ta'arufnya pada Arvin. Haifa tiba-tiba merasa gugup memikirkan kemungkinan akan bertemu dengan laki-laki itu meskipun secara tidak sengaja.

Arvin berhasil membuat Haifa tidak bisa tidur semalaman. Curang sekali, pikirnya.

"Arvin datang sendirian. Waktu itu ayah sama ibu baru pulang dari luar, lihat ada laki-laki di depan gerbang. Terus Arvin ngenalin diri sebelum ayah ajak masuk, nggak tahu kenapa ayah ikut deg-degan hahaha."

Haifa berusaha mengontrol ekspresi wajahnya meskipun tidak akan terlihat orang lain. Tetapi tetap saja pipinya terasa linu karena terus menahan senyum. Ia tidak akan bertanya bagaimana Arvin bisa tahu alamat rumahnya karena memang sebelumnya sudah Haifa cantumkan di CVnya.

"Gimana Arvin menurut Ayah?" Haifa bertanya malu-malu melanjutkan pembicaraannya di telepon dengan Dhamin, ayahnya.

"Anaknya baik, ramah, meskipun kelihatan gugup tapi dia memang paham ilmu agama dari cara menjawab setiap pertanyaan ayah, malahan lebihnya banyak banget."

"Oh ya? Emm.. Memang Ayah tanya apa?"

"Rahasia dong. Kepo kamu."

"Ayah yang bener ih."

"Hahaha. Rahasia ayah sama Arvin, kalau kamu jadi sama dia nanti tanya aja kalau sudah menikah."

Haifa merasakan pipinya memanas. "Ayaah."

"Hahaha, Arvin ganteng ya anaknya, pantesan kamu kecantol begitu."

Haifa meringis malu. "Siapa yang bilang? Kak Ulfa ya?"

"Siapa aja boleh hahaha. Tapi ganteng aja nggak cukup loh ya? Ayah cari menantu yang memikirkan akhirat, bukan yang hanya terlarut dengan kesenangan dunia."

Tidak ingin terlambat, Haifa lebih memilih melanjutkan perjalanannya ke kampus daripada memikirkan sesuatu yang membuat hatinya semakin dalam pengharapan. Sebelum ada ikatan yang SAH, lebih baik ia tetap menjaga hatinya dari yang tidak halal.

Mendekati fakultasnya, Haifa menolehkan kepalanya ke kanan sedikit. Ia menemukan Farzan tengah mengikutinya. Haifa tidak bisa mengelak jika benar-benar merasa risih. Apa yang sebenarnya laki-laki itu mau darinya?

Tau deh.

Haifa lebih memilih berpura-pura tidak menyadari keberadaan Farzan, tidak ingin membuat dirinya sendiri atau laki-laki itu terjebak dalam ketidaknyamanan. Ia justru mengingat perlakuan Arvin beberapa hari lalu ketika masih dalam suasana MTQ yang juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Farzan saat ini.

Arvin lagi 'kan?

Lebih dekat lagi dengan fakultas, Haifa masih menyadari Farzan mengikutinya. Padahal fakultas laki-laki itu harusnya belok kanan, bukan justru berjalan lurus seperti dirinya. Kemana pula motor Farzan?

Ah, mungkin mau ada urusan lain.

Sepertinya Haifa terlalu percaya diri, tidak memirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang akan Farzan lakukan. Misalnya seperti pergi ke perpustakan pusat atau gedung rektorat yang memang dekat dengan dengan fakultasnya.

Mendekati pintu samping fakultas, kegugupan Haifa semakin menjadi ketika tidak sengaja melihat sosok Arvin yang berjalan dari arah parkiran. Ia saling melemparkan tatapan hanya beberapa detik dengan Arvin kemudian langsung mengalihkan pandangannya ke segala arah.

Haifa baru menyadari Farzan yang masih ada di belakangnya ketika melihat kening Arvin sedikit mengernyit melihat arah belakangnya. Kenapa ia merasa sedang ketahuan berselingkuh?

"Hai."

Haifa memilin jari tangannya ketika menyadari Arvin menyapanya. Ia hanya menampilkan mata yang menyipit sebagai balasan, Haifa juga tidak menatap laki-laki itu sama sekali.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Mau kelas?"

Haifa mengangguk. "Iya."

"Ohh."

"Emm.. iya. Aku masuk dulu ya?" Haifa mendongakkan kepalanya sedikit melihat Arvin yang tersenyum padanya.

"Iya."

Haifa segera mengalihkan pandangannya. Ia berlalu pergi dengan berjalan perlahan ketika mendengar suara Arvin menyapa Farzan.

"Hoi."

"Yo?"

"Demen banget lo berkeliaran di sekitaran fakultas gue?"

Haifa membalikkan badannya sebentar, ingin melihat apa yang dilakukan Arvin dan Farzan. Keduanya mengobrol ringan, Farzan hanya membalas dengan tawa pertanyaan Arvin.

Untuk dua detik Haifa kembali melempar tatapan dengan Arvin yang tengah tersenyum kecil menatapnya. Buru-buru ia membalikkan badannya kembali, lebih memilih untuk segera masuk gedung fakultasnya

Haifa merasa jantungnya terus berdegup kencang. Semoga keputusan tadi pagi yang sudah ia sampaikan kepada Dhamin, ayahnya, menjadi jalan terbaik untuknya.

"Haifa, dengar ayah ya. Meskipun ayah kelihatan mendukung sekali anak-anak ayah untuk segera menikah, tapi ayah tetap memiliki rasa tidak rela melepaskan putri ayah untuk dijaga oleh laki-laki lain selain ayah."

Mata Haifa berkaca-kaca, "Ayaah."

"Tapi ayah turut bahagia kalau kamu juga bahagia bersama dengan laki-laki pilihan kamu, yang bisa membimbing kamu, menuntun kamu sampai Surga."

Air mata Haifa sudah berjatuhan. Ia mengangguk meskipun Dhamin tidak dapat melihatnya di seberang sana.

"Sebenarnya ayah nggak memaksa nanti kamu harus pilih laki-laki yang hafidz tiga puluh juz misalnya, tapi ayah tetap berdoa semoga jodoh kamu kelak orang yang mengerti agama. Jadi ayah bisa tenang karena tahu kalau suami kamu nanti akan memperlakukan anak ayah dengan baik."

Dalam hadis riwayat Tirmidzi (11/315, No. 1172) mengatakan, "Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya."

Haifa membekap suara tangisannya dengan bantal. "Ayaahh.."

"Kok jadi nangis?"

"Ayah sih ngomongnya bikin Haifa baper," rajuk Haifa.

"Hahaha. Yaudah kamu shalat istikharah dulu. Sebenarnya ayah sudah menebak jawaban kamu sih, tapi mantapkan hati kamu dulu lagi."

"Ihh.. Ayah."

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan shalat istikharah dalam setiap perkara atau urusan yang dihadapi, "Jika salah seorang di antara kalian berniat dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka'at yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah...". (HR. Al-Bukhari)

Yang menjadi penekanannya ialah, Nabi mengajarkan shalat istikharah dalam setiap perkara atau urusan, bukan hanya dilakukan terbatas untuk urusan yang meragukannya. Selain itu, sebagian orang menganggap shalat istikharah dilakukan ketika dihadapkan pada pilihan yang sulit dan meragukannya, padahal sebenarnya yang lebih tepat ialah ketika seseorang telah memantapkan hatinya dengan keputusan yang akan ia ambil.

"Jangan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan!"

Haifa terdiam, tidak langsung menjawab. "Iya, kalau udah ada jawaban Haifa kabari lagi ya?"

"Iya, ayah tunggu."

Berlanjut tadi pagi—tepatnya setelah shalat subuh tadi—Haifa kembali menghubungi Dhamin untuk memberikan jawaban. Ia tidak berniat terburu-buru, meskipun tidak mendapatkan sesuatu yang terang sebagai jawaban, tetapi hatinya sudah condong pada sesuatu hal.

"Yah, Haifa mau jawab yang kemarin itu."

"Iya, gimana?"

"Emm.. Haifa mau," cicit Haifa malu-malu.

"Mau apa?"

"Mau sama Arvin."

***

Arvin menyisir rambutnya dengan tangan begitu keluar dari kamar. Ia tersenyum lebar, sesekali berdecak sendiri menggambarkan suasana hatinya. Arvin sudah tiba di rumahnya sedari kemarin.

Begitu selesai membayar taksi yang mengantarnya dari bandara sampai rumah, ia langsung diburu pertanyaan oleh Ayu mengenai perjuangannya itu. "Gimana, Kak?"

"Assalamualaikum." Arvin mengecup punggung tangan Ayu, kemudian meletakkan tangannya di bahu uminya itu. Mengajak masuk ke dalam rumah sembari merangkulkan tangannya seolah keduanya berteman atau sedang menjalin hubungan.

"Wa'alaikumsalam. Gimana, Kak? Ditolak ya?"

"Ya Allah, Mi. Doanya jelek banget."

"Yah, enggak gitu. Jadi, gimana?"

Ayu menghidangkan enam gelas jus jerak ketika semua penghuni rumah berkumpul di ruang keluarga. Ia sudah menampakkan raut penasaran menatap Arvin yang sekarang tengah berbaring di sofa panjang sembari menjadikan salah satu bantalan sofa sebagai guling.

"Belum dijawab sih."

"Belum dijawab?"

Arvin bangun dari tidurnya, menyempatkan menghabiskan segelas jus jeruk dalam sekali tegukan sebelum menjawab. "Iya, 'kan Haifa nggak di rumah. Nanti disampaikan ke Haifa dulu gitu."

"Iya sih, padahal Kak Arvin sama Haifa lagi sama-sama di Jakarta."

Arvin hanya mengangguk.

"Tanggapan orangtuanya sama kamu gimana?" tanya Abram.

"Baik, tapi yah gitu Arvin gugup, takut juga. Kan sebelumnya Arvin udah selesai di tengah jalan sama Haifa, Bi."

Arvin berlari kecil menuruni tangga sembari memainkan kunci mobilnya. Kabar dari Dhamin, ayah Haifa, yang baru diterimanya barusan, membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum sampai membuat gigi depannya kering.

Arvin ada kuliah pagi, tetapi ia ingin membagi kabar membahagiakan itu pada Ayu yang saat ini tengah duduk di ruang tengah sembari memainkan ponsel.

"Umi." Arvin memberikan kecupan di pipi Ayu begitu duduk di samping uminya itu. Berbeda dengan Arvan dan Arsen yang malu-malu ketika mencium Ayu, ia justru lebih ekspresif dan tidak ingin ambil pusing jika ada yang menganggapnya anak mama atau sejenisanya.

Iyalah anak mama, yakali anak tetangga.

"Mau ngampus?"

Arvin mengangguk dengan cengiran yang semakin lebar.

"Kenapa Kak Arvin senyum-senyum begitu?"

Arvin tidak menjawab. Ia mengambil ponsel di saku celananya masih dengan cengiran yang lebar, kemudian mengotak-atik layarnya untuk beberapa detik.

"Umi cek group!"

Ayu memberikan tatapan heran pada Arvin, tetapi tidak urung tetap mengikuti ucapan anaknya itu.

RAJENDRA's Family

Akbar Arvinio Rajendra

Alhamdulillah sebentar lagi melepas masa jomblo.


"Udah Arvin kirimin nomor ayah Haifa di group," ungkap Arvin.

Ayu mengernyitkan keningnya bingung. "Sebentar! Maksud Kak Arvin gimana?"

"Haifa udah bilang iya." Arvin menjawab dengan malu-malu.

"Haifa menerima lamaran Kak Arvin? Alhamdulillah. Masya Allah, yang bener?" pekik Ayu heboh.

Arvin mengangguk masih dengan memasang wajah malu-malu.

"Kapan bilangnya?"

"Barusan." Arvin menunjukkan ponselnya yang menunjukkan pesan dari Dhamin.

Calon Ayah Mertua 😳

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Arvin, om mau memberikan jawaban atas niat baik kamu pada Haifa. Insya Allah Haifa menerima lamaran kamu, om tunggu lamaran resminya bersama orangtua kamu yaa.


"Ya Allah, aduh gimana ini?" Ayu bangkit dari duduknya, tangannya terangkat ke udara, kemudian melihat sekeliling dengan bingung. "Umi harus segera ke hotel bilang abi, Kak Arvin buruan berangkat ke kampus nanti terlambat. Bahagia boleh, tapi sampai melupakan pendidikan jangan. Aduh, nanti Kak Arvin ketemu Haifa nggak? Atau umi perlu buat janji ketemu sama Haifa dulu nggak? Penasaran belum pernah ketemu langsung."

Arvin mengerjapkan matanya beberapa kali. Bibirnya membuka dan menutup, merasa menjadi gagu tidak tahu harus membalas dengan kalimat seperti apa.

"Udah buruan sana!"

Arvin menggaruk pahanya yang dilapisi celana jeans. "Umi, Arvin belum salim."

"Yaudah, ke sini." Ayu menghentikan larinya yang berniat masuk kamar untuk mengganti baju dan merealisasikan perkataanya. Padahal cukup dengan menelepon atau menunggu Abram sebenarnya bisa.

Setelah kejadian yang menurutnya sedikit membingungkan untuk dicerna, kini Arvin sudah mengendarai mobilnya menembus kemacetan. Ia hanya bisa memaklumi tingkah Ayu, maklum saja pertama kalinya akan punya menantu, begitu seingatnya yang dijawab uminya itu ketika Arvin menyuarakan keheranannya.

Sedetik kemudian Arvin kembali tersenyum lebar hingga merasa pipinya sudah menggelinding karena terlalu lama tertarik ke samping, pengandaian yang konyol menurutnya.

"Duh, kawin." Arvin berdecak geli dengan dirinya sendiri sembari memukul kemudi.

Ingatan Arvin melayang pada hari ketika ia memberanikan diri menemui langsung orangtua Haifa. Sebelum Arvin mengatakan ingin kembali ta'aruf dengan Haifa, ia memang sudah membuat rencana untuk mendatangi langsung kediaman perempuan itu.

Begitu tiba di depan rumah Haifa, kesabaran Arvin diuji selama satu setengah jam menunggu kedatangan Dhamin dan Rumaisa, orangtua Haifa—salah satu tetangga di sana memberi tahunya bahwa Dhamin dan Rumaisa tidak ada di rumah.

Hanya satu setengah jam, tidak lama menurutnya untuk bisa menyurutkan tekadnya. Tetapi sepertinya Arvin terlalu percaya diri, karena begitu Dhamin dan Rumaisa datang, ia bisa merasakan tubuhnya tiba-tiba bergetar.

"Oh, jadi kamu yang namanya Arvin ya?"

Arvin menelan ludahnya kasar. Pasti Dhamin ingin menginterogasi karena merasa Haifa dimainkan olehnya? Ia benar-benar ingin menyalahkan keraguan-raguannya.

"Iya, Om."

Arvin tidak mengingat semua pertanyaan yang diajukan oleh Dhamin, sesekali juga oleh Rumaisa, karena terlalu gugup.

"Kamu kerja sambil kuliah?"

Arvin mengangguk. "Iya, Om."

"Kerja apa? Haifa pernah bilang kamu buka usaha, tapi nggak tahu lebih jelasnya."

"Iya, Om. Saya mempunyai rumah makan di dekat kampus, dan baru-baru ini juga membuka cabang di tempat lain. Emm.. saya juga menanam saham di hotel abi saya sendiri sedari awal masuk kuliah dari penghasilan rumah makan. Insya Allah semuanya halal." Arvin mengakhirinya dengan senyum canggung.

"Rumah makan dekat kampus?" Rumaisa ikut bergabung dalam pembicaraan.

"Iya, Tante."

"Yang mana? Kemarin tante diajak Haifa jalan-jalan di sekitar kampus, sempat makan juga di rumah makan dekat kampus."

Arvin menegakkan sedikit tubuhnya yang tegang. "Sepertinya memang yang Tante maksud itu rumah makan saya."

Rumaisa memicingkan matanya. Ia langsung menangkap perkataan Arvin. "Kamu lihat saya ya?"

Arvin mengangguk ragu-ragu. "Iya, sama Haifa.

"Kenapa nggak menyapa?"

Arvin hanya bisa meringis malu.

Tiba-tiba Rumaisa tertawa. "Ah, tante sudah paham sekarang. Jadi, yang kasih gratisan itu kamu ya?"

"Iya, hehehe." Arvin mengangguk sekali lagi.

"Rumah makannya Arvin gede banget, Yah. Waktu itu sampai penuh tempatnya, malahan ada yang harus nunggu di luar dulu." Rumaisa mengadu pada Dhamin.

"Oh ya?"

Diam-diam Arvin membanggakan dirinya sendiri. Meskipun bukan pejabat tinggi seperti pegawai kantoran, atau lainnya, tetapi ia sudah mempunyai kartu yang menjanjikan untuk tidak membuat Haifa hidup susah.

"Misalkan nanti kalau kamu jadi sama Haifa, setelah menikah mau tinggal di mana?"

"Saya memang belum mempunyai rumah sendiri, tetapi saya sudah ada tabungan untuk membeli rumah jika menikah nanti."

Dhamin mengangguk-anggukan kepalanya. "Sebenarnya waktu Haifa bilang sedang ta'aruf dengan kamu, om sudah mencari tahu tentang kamu sih. Secara materi baik dari orangtua kamu atau kamu sendiri, om tahu kalau kamu sudah mapan meskipun baru kuliah. Tapi om melihat dari agamanya, bukan hanya karena kemapamannya."

"Saya selalu belajar istiqomah untuk shalat berjama'ah lima waktu di masjid, baik itu ketika di rumah atau kampus. Dan..." Arvin berdehem pelan sebelum melanjutkan ucapannya, "Sebenarnya saya lupa belum menuliskan di CV saya kemarin, tapi insya Allah saya sudah hafidz tiga puluh juz sejak SMP."

Setelahnya Dhamin, Rumaisa, dan Arvin hanya saling melempar pandangan.

Arvin tidak berhenti tersenyum bahkan ketika keluar dari mobilnya. Barulah ia benar-benar menghilangkan cengirannya ketika melihat sosok Farzan di belakang Haifa.

Ngapain lagi tuh orang ngintilin calon gue?

Arvin tidak berniat menyebarkan khitbah—padahal ia juga belum resmi mengkhitbah Haifa—karena memang lebih baik dirahasikan, barulah nanti mempublikasi akad sekalian menyebarkan undangan. Kecuali jika Farzan—atau laki-laki lainnya—sudah melewati batas, barulah Arvin akan bertindak.

Para ulama menganjurkan untuk merahasiakan lamaran. Bukan karena ada sunnahnya, tetapi dalam rangka menghindari setiap peluang hasad yang bisa menjadi pemicu keinginan untuk menggagalkan pernikahan.

Dalam Syarhnya, al-Kharsyi—ulama Malikiyah—menyatakan, "Untuk lamaran, dianjurkan agar dirahasiakan, seperti khitan. Lamaran dianjurkan dirahasiakan, menghindari adanya orang yang hasad, sehingga berusaha untuk merusak hubungan antara pihak lelaki dengan keluarga wanita yang dipinang." (Syarh Mukhtashar Khalil, al-Kharsyi, 3/167)

Hal ini sejalan dengan hadis dari Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu—bersifat umum untuk semua kasus, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Gunakan cara rahasia ketika ingin mewujudkan rencana. Karena setiap pemilik nikmat, ada peluang hasadnya." (HR. Thabrani dalam al-Ausath 2455 dan dishahihkan al-Albani)

Ah, Arvin ingin segera memberikan cincin untuk mengisi jari manis Haifa.


-HAIFA-

Pasuruan, 16 Agustus 2018





Penasaran reaksi kalian setelah baca part ini hihohiho

Kalau ada typo, tandai di bagiannya yaa...

Jangan lupa Al-Kahfi.

Jangan lupa juga vote cover ARESHA di lapak sebelah bagi yang belum hehe


konsultansisyariah.com/27725-merahasiakan-lamaran-hadisnya-dhaif.html

Continue Reading

You'll Also Like

68.5K 7.8K 30
[Spin off Hakim, bisa dibaca terpisah] Bahagia seperti apa yang diinginkan semua orang? Apa bahagia mereka sama seperti definisi bahagia yang Husna...
23.2K 2.6K 46
Follow dulu sebelum baca! Azima Faza. Nama yang melekat pada dirinya di usia 16 tahun. Identitas baru yang tak seorang pun tahu, bahkan kedua orang t...
4.2M 214K 67
(Dalam Tahap REVISI) Hati berkata tidak, namun fikiranku berkata iya. Ya Allah hamba hanya ingin kau dekatkan hati hamba dengan seseorang yang melabu...
Hakim By ul

Spiritual

1.2M 72.7K 53
[Revisi] Kalian percaya cinta pada pandangan pertama? Hakim tidak, awalnya tidak. Bahkan saat hatinya berdesir melihat gadis berisik yang duduk satu...