Cinta

By iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
18
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
31
32
33
34
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
43
Kebahagiaan VeNal
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Keputusan akhir
Akhir Dari Semuanya?

Akhir Cerita

8.2K 629 205
By iiaMlk

Selang beberapa detik, tubuh yang selalu tampak kuat di mata Veranda kini menunjukan kelemahannya. Kaki kuat itu tak mampu lagi menopang berat tubuhnya, tangan kekar itu tidak bisa bergerak. Kinal ambruk di tengah banyak tamu.

"KINAL!!!"

Tanpa memperdulikan tamu yang masih berdatangan, Veranda menarik gaun panjangnya ke atas kemudian berlari cepat menghampiri Kinal yang sedang berusaha digotong oleh seorang pemuda. Kepanikan dari Marissa tentu membuat suasana di Gedung mewah ini jadi semakin ricuh.

"Ve, kamu mau ke mana?" tanya Augusto sedikit berteriak.
Veranda sama sekali tidak menggubris pertanyaan itu. Ia terus berlari, membelah gedung mewah ini. Beberapa kali ia menubruk tamu karena terlalu panik. Tanpa ia sadari, Fauzi mengejarnya dari belakang.

"Kamu gak boleh ke mana-mana!" Dengan sigap, Fauzi menarik pergelangan tangan Veranda hingga langkahnya terhenti.

"Aku mau ke rumah sakit!" Veranda meloncat-loncatkan tubuhnya, berusaha melepaskan diri dari Fauzi yang malah semakin mengeratkan cengkramannya. "Papa! Aku mau liat Kinal!" bentaknya tanpa sadar. Para tamu tentu langsung memusatkan perhatian kepadanya, tetapi Veranda tidak peduli dan malah terus memberontak.

Augusto ikut berlari menghampiri Veranda karena khawatir akan pandangan semua orang pada istrinya itu. Augusto berhenti tepat di samping Veranda lalu menatap Fauzi. Ia mengedipkan kedua matanya secara bersamaan, memberi isyarat agar Fauzi melepaskan Veranda. Namun, ia juga tidak membiarkan Veranda keluar dari Gedung ini. Ia menghalangi langkah Veranda yang hendak kembali berlari.

"Kamu mau ke mana?" tanya Augusto pada Veranda yang sudah mulai menitikan airmatanya. "Kinal pasti baik-baik aja, kamu gak bisa ninggalin acara ini."

"Tau dari mana kamu kalo Kinal baik-baik aja?!" Veranda menatap Augusto tajam, nafasnya memburu karena emosi. "Aku mau liat!" Veranda mengambil langkah ke arah kanan, tetapi lagi-lagi terhalang oleh Augusto. Veranda mengerang kesal dan tanpa sadar memukul dada suaminya itu berkali-kali. "Jangan halangin aku!"

Augusto menangkap kedua pergelangan tangan Veranda dan menatapnya cukup tegas, "Aku suami kamu sekarang. Aku minta kamu kembali ke tempat kamu," ucapnya berbisik pelan tetapi penuh penekanan.

Veranda tidak bisa berbuat apapun lagi. Dengan langkah lemas dan air mata yang terus berderai, Veranda memutar langkahnya kembali ke tempat semula. Augusto mengembuskan napas berat lalu merangkul bahu Veranda, "Abis ini, kita cek Kinal ya? Jangan khawatir."

Veranda menepis tangan Augusto di bahunya dan mempercepat langkah, tidak ingin berjalan beriringan dengan pemuda itu. Veranda mengepalkan tangannya kuat-kuat. Jika bisa, ia ingin melampiaskan semua amarahnya pada Augusto. Namun, ia tidak mungkin melakukan itu mengingat status Augusto yang sudah sah menjadi suaminya, terlebih lagi ini di tempat umum. Bagaimanapun juga, Veranda tidak bisa mempermalukan Augusto di depan semua orang.


***


Setelah diperiksa oleh Dokter, ternyata Kinal hanya terlalu lelah. Daya tahan tubuh Kinal juga sangat lemah karena terlalu banyak pikiran yang membebaninya. Hanya tiga jam Kinal bisa tidur nyenyak siang ini, sekarang ia kembali terbangun dengan kondisi yang jauh dari kata baik.

"Pelan-pelan." Marissa membantu Kinal yang sepertinya ingin duduk.

"Aku gak bisa ikut ke Istanbul. Aku punya rumah di Garut yang harus aku tempatin." Kinal masih bersandar lemas di ranjang. Matanya yang memerah, menatap kosong ke depan. Tidak ada kebahagiaan atau sedikitnya cahaya yang terpancar dari tatapannya itu. Hanya kesedihan yang selalu ada di sana semenjak ia berpisah dengan Veranda.

"Tap-" Marissa menggantungkan kalimatnya ketika merasakan sentuhan Viny di tangannya. Ia langsung menatap Viny. Gelengan kepala Viny memberi isyarat agar ia tidak membantah keinginan Kinal. Akhirnya Marissa mengangguk pelan tanpa berani membantah sedikitpun. Sebisa mungkin ia akan memahami apa yang Kinal rasakan saat ini, Kinal sedang memikul kesedihan yang sangat besar.

"Jangan khawatir. Ve udah nikah sama orang lain, aku gak mungkin ganggu dia lagi." Sekali lagi, rasa sakit itu berdenyut dengan keras di dada Kinal ketika disadarkan oleh kenyataan bahwa Veranda sudah resmi menjadi milik orang lain.

Marissa mengusap lembut puncak kepala Kinal, "Dua minggu sekali Mama ke Garut buat cek keadaan kamu. Kamu jaga diri baik-baik ya."

Kinal mengangguk tanpa menatap Marissa. Perlahan, ia memejamkan mata sampai cairan yang sedari tadi menggenang di bola matanya jatuh perlahan membasahi pipi. Kinal menangkupkan sepasang tangan di wajah. Dadanya naik turun pertanda ia sedang berusaha menahan isak tangis itu. Rasanya ia ingin berteriak keras, mengungkapkan rasa sakit dan kesedihannya pada semua orang. Namun, ia tidak bisa. Kinal tak ingin membebani Veranda dengan air matanya. Jika ia tidak bisa bahagia, setidaknya ia bisa melihat orang yang ia cintai bahagia.

Viny berbalik, bersiap untuk melangkah, tetapi terhalang oleh Shani. Matanya bergetar menatap kekasihnya itu, ia menggeleng pelan seolah tengah mengatakan ia tak bisa melihat keadaan Kinal yang seperti ini.

Shani mengusap cairan yang baru saja jatuh dari sudut mata Viny. Setelah itu, ia mendekap erat tubuh Viny. Viny menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha menahan tangisannya agar tidak terdengar oleh Kinal.

"Jangan nangis." Shani berbisik pelan lalu mengecup pipi Viny.

"A-aku mau masuk." Veranda yang sebelumnya sedang memperhatikan Kinal dari luar, kini beralih pada Fauzi. "Boleh?"

Fauzi menatap Veranda selama beberapa detik. Wajah Veranda tampak memerah, pun dengan matanya. Gadis itu, tengah menatapnya penuh harap. Hati Fauzi nyeri melihat Veranda. Di saat semua orang berbahagia di hari pernikahannya, Veranda malah merasakan kesedihan yang teramat besar. Fauzi merasa sangat bersalah meski ia tau, ini keputusan yang terbaik untuk Veranda.

"Setelah ini, Papa gak akan izinin kamu ketemu Kinal."

Dengan berat hati Veranda mengangguk kemudian masuk ke dalam ruangan Kinal. Pandangannya langsung tertuju pada Kinal yang sedang menghapus air mata ketika melihat keberadaannya di sini. Percuma saja air mata itu dihapus, Veranda masih bisa melihat kesedihan itu dari tatapan mata Kinal. Kinal tidak bisa menyembunyikan apapun darinya.

"Aku pengen ngobrol berdua boleh gak?" tanya Veranda pada Marissa, Viny dan Shani. Mereka hanya mengangguk kemudian berjalan pergi meninggalkannya dengan Kinal.

"Aku baik-baik aja." Kinal memaksakan senyumannya pada Veranda.

"Bohong."

"Aku bahagia liat kamu bahagia."

"Bohong."

"A-aku sakit." Kinal tak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. Dalam satu kedipan saja, air mata itu turun membasahi pipinya.

"Aku lebih sakit!" Veranda memukul dadanya yang terasa sangat perih. Menikah dengan orang yang tidak ia cintai dan melihat orang yang paling ia cintai menderita, rasa sakit apalagi yang lebih besar dari ini?

Veranda maju satu langkah dan segera menarik tubuh Kinal ke dalam pelukannya. Isak tangis mereka langsung terdengar seakan tengah berlomba siapa yang paling keras. Mereka hanya diam, saling memeluk dan menikmati pelukan itu untuk yang terakhir kalinya karena mereka yakin, setelah ini tidak ada lagi pertemuan. Semua kebahagiaan mereka hanya tinggal kenangan, takdirnya untuk berduka telah tiba sekaligus menjadi akhir dari kebahagiaan itu.

Seperti langit yang berduka karena kehilangan cahaya senja. Kegelapan telah menjemput mereka berdua. Tidak ada lagi cahaya kebahagiaan sedikitpun yang akan menghampiri mereka karena takdir telah begitu teganya mencabut kebahagiaan itu dan melemparkan mereka pada gelapnya kepedihan. Kinal dan Veranda hanya harus mempersiapkan kematian dari hatinya. Tentu, hati yang tak tersentuh cinta sama saja dengan manusia yang kehilangan nafasnya.


***


Dua bulan berlalu. Kehidupan Veranda berubah drastis karena kehadiran Augusto. Setiap hari Veranda hanya diam di rumah, melayani suaminya dan mengantar jemput Cindy ke Sekolah. Hanya kesehariannya yang berubah, hatinya tidak. Hati Veranda tetap dipenuhi oleh kegelapan dan kehampaan. Tak jarang Veranda menangis sendiri, merindukan sosok Kinal yang dulu selalu menemani kesehariannya. Sampai sekarang ia masih berharap Kinal kembali kepadanya meski ia tau itu adalah hal yang sangat mustahil.

"Ayah." Cindy yang sedang berada dalam gendongan Augusto, berbisik pelan pada pemuda yang sudah menjadi Ayahnya itu.

"Kenapa, sayang?" tanya Augusto membelai lembut kepala belakang Cindy. Sementara pandangannya masih fokus pada layar TV yang sedang menayangkan Film kesukaannya.

"Bunda semalem nangis lagi. Ayah ajak Bunda main berdua ya? Aku mau ke rumah Mama." Cindy menegakan kepala yang sebelumnya bersandar di bahu Augusto.

"Mama Kinal di Turki, sayang. Jauh banget dari sini. Nanti kapan-kapan kita main ke sana ya." Augusto tersenyum, mengusap pipi Cindy. Siapapun bisa melihat sebesar apa kasih sayang Augusto pada Putrinya itu meski Cindy bukan darah dagingnya.

"Kamu udah pulang? Kenapa gak bangunin aku?" tanya Veranda yang baru saja keluar dari kamar. Rambutnya diikat satu dengan sembarang, matanya seperti biasa tampak sedikit memerah karena lagi-lagi semalam ia tidak bisa tidur karena merindukan Kinal. Kinal tak pernah lepas dari ingatannya hingga dalam pejampun, ia masih bisa menemukan Kinal.

"Sini duduk." Augusto tersenyum hangat menyambut istrinya yang baru saja bangun. Ia tau Veranda tidak tidur semalaman karena ia mendengar isak tangisnya. Namun, Augusto tidak berani sedikitpun untuk bertanya apa yang menjadi alasan dari jatuhnya air mata Veranda.

"Mau kopi? Biar aku bikinin ya?" Veranda duduk di samping Augusto. Ia membalas senyuman itu lalu beralih pada Cindy yang masih betah memeluk Augusto.

"Ngga perlu. Gak enak ngopi siang-siang gini." Augusto terkekeh pelan.

"Udah makan?"

"Udah kok tadi di luar. Aku mau nanya sesuatu."

"Soal apa?"

"Kinal."

Jantung Veranda nyaris saja melompat dari tempatnya ketika mendengar nama Kinal. Apakah Augusto tau hubungannya dulu dengan Kinal? Jika benar Augusto mengetahuinya, dari mana? Veranda tidak pernah bercerita sedikitpun soal Kinal. Fauzi dan Vina juga tidak mungkin menceritakan itu. Apa dari Cindy? Bahkan Cindy masih terlalu kecil untuk memahami hubungan mereka sebenarnya.

"Cindy pengen ketemu Kinal, kapan-kapan kita liburan ke Turki ya?"

Embusan nafas lega lolos dari bibir Veranda. Ia mengangguk pelan kemudian bersandar di sofa, "Iya, kita ke Turki nanti."

"Ayah, aku mau ke rumah kakek." Cindy kembali bersuara. "Ayah sama Bunda jalan-jalan yaa?"

"Kamu gak mau ikut emang? Kita beli boneka yang banyak." Augusto mencubit gemas kedua pipi Cindy.

Cindy menggeleng pelan, "Aku kangen kakek sama nenek. Di sana aku mau telfon muka sama tante Shani."

Augusto mengangguk pelan, "Siap sayang. Nanti Ayah beliin makanan ya buat kamu?"

"Iyaaa."

Veranda hanya mendesah pelan tanpa berani menolak itu. Sebenarnya ia malas keluar rumah apalagi menghabiskan waktunya dengan Augusto. Rasanya, rumah ini juga sudah seperti neraka untuknya. Seribu resah tak menemukan tenangnya. Sejuta rindu tak menemukan jedanya. Apa yang lebih menyiksa dari pada ini? Batin Veranda tertekan bahkan setiap kali nafasnya berembus.

Sementara waktu, tak mampu menyeka penderitaannya. Lagi dan lagi, Veranda tak percaya, waktu bisa menyembuhkan luka. Jarum jam yang berputar dalam setiap detiknya hanya untuk menyadarkan bahwa penderitaannya masih berputar dan mungkin tidak akan menemukan titik akhirnya. Veranda hanya bisa pasrah menerima semua kenyataan di hadapannya.

Kinal, adalah nama yang selalu ikut berdenyut dalam setiap detak jantungnya. Sayangnya sekarang, ia hanya bisa mengenang nama itu dalam air mata yang tidak ia inginkan.

***

Setelah mengantarkan Cindy, Augusto mengajak Veranda jalan-jalan mengelilingi kota ini. Berkali-kali mobilnya berhenti ketika pandangannya menemukan jajanan atau barang yang unik. Augusto berhasil membuat istrinya itu tertawa karena leluconnya. Meski Augusto sendiri tau, ia belum mampu membuat Veranda bahagia. Tidak selalu ada kesedihan yang disampaikan air mata dan tidak selalu ada kebahagiaan yang mengikuti tawa. Augusto memahami itu dengan jelas karena ia melihat sendiri bagaimana tawa itu hadir dari wajah Veranda sementara kebahagiaannya masih bersembunyi entah di mana.

"Ve, aku mau kamu jawab jujur. Aku mohon sama kamu." Tidak biasanya nada bicara Augusto seserius ini.

"Iya?" Veranda tampak malas menanggapinya.

"Kamu cinta aku?"

Veranda langsung menatap wajah samping Augusto. Ia mengantup matanya sejenak ketika sadar, Augusto pasti memperhatikan kesehariannya. Bagaimana ia melayani suaminya itu tanpa ketulusan, Augusto pasti sadar akan hal itu.

"Maaf, aku belum bisa cinta sama kamu." Tidak ada lagi yang harus Veranda sampaikan selain mengungkapkan kejujurannya.

Augusto tersenyum hambar kemudian menunduk ketika merasakan ada nyeri di dadanya mendengar kalimat Veranda. Berkali-kali ia mengembuskan napas berat, berusaha melepaskan rasa sesak itu. "Aku gak akan pernah berhenti berusaha bikin kamu cinta sama aku."

"Sampai kapan?"

"Sampai kamu lelah dengan semua usaha aku dan sampai waktu merengut nyawa aku."

Veranda memandangi Augusto yang masih menunduk. Ia langsung melempar pandangan pada jalan raya. Mata Veranda terbelalak ketika mengetahui Augusto melawan jalur karena tak konsen menyetir. "Kamu lawan jalur!"

Augusto mengangkat kepalanya kemudian berhenti di pinggir jalan sebentar, tepat di perempatan jalan. Ia berusaha memutar stirnya. Namun, dari arah kanan satu struk melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi. Augusto memencet klakson berkali-kali berharap supir truk itu menurunkan kecepatannya, tetapi sepertinya supir itu tidak mendengar karena telinganya dilesaki oleh headset.

"Cepet puter balik!" Veranda panik sendiri.

Augusto malah berhenti. Tangannya bergetar hebat. Veranda baru mengingat bahwa pemuda itu punya trauma dalam menyetir makanya selama ini Augusto tak pernah menyetir sendiri. Bodohnya, Veranda baru sadar kenapa Augusto mau menyetir sendiri hari ini. Veranda memutar stirnya ke arah samping kanan. Dalam waktu bersamaan, truk itu belok ke arah yang sama.

Kejadian itu terjadi begitu cepat, truk menabrak mobil mereka berdua dengan sangat keras hingga mobil itu menubruk beberapa mobil lainnya. Saking kerasnya, mobil mereka terpental ke belakang dan berakhir dengan menabrak pembatas jalan.

Veranda merasakan nyeri yang begitu luar biasa menyerang kepalanya. Meski begitu, dengan samar ia masih bisa melihat keadaan suaminya. Truk itu menabrak bagian kanan mobilnya hingga semua kaca yang pecah terhempas pada Augusto. Tangan Veranda berusaha terangkat untuk mengusap wajah Augusto yang sudah dipenuhi oleh darah. Tanpa sadar, setetes cairan jatuh dari matanya ketika menyadari ia sudah tidak mendengar nafas kasar Augusto yang akhir-akhir ini menghiasi indera pendengarannya.

Veranda berusaha untuk tetap bangkit kemudian menepuk punggung suaminya itu, "Hey!! Ba-bangun!!"

Tidak ada jawaban. Veranda menunduk, melihat kakinya terhimpit oleh bagian depan mobil yang menimpanya. Untuk kedua kalinya, air mata itu menetes bersamaan dengan pandangan Veranda yang mulai menggelap. Veranda masih bisa sadar selama beberapa detik, meski pandangannya tetap gelap. Hingga tak lama, rasa sakit di kepala, merengut semua kesadarannya.




***


Kinal langsung berangkat ke Jakarta setelah mendengar kabar dari Vina, satu-satunya orang yang mengetahui keberadaannya di Indonesia. Saat ini ia sudah sampai di Rumah Sakit, ia berlari cepat ke ruangan ICU yang Vina sebutkan. Peluh mengalir deras dari pelipisnya, lututnya bergetar tetapi langkah kakinya semakin cepat.

"Veranda mana?!" Kinal bertanya dengan nada yang cukup tinggi. Ia menatap satu persatu orang yang berdiri di depan ruang ICU ini. Namun, mereka semua diam. Hanya isak tangis yang terdengar memenuhi ruangan ini.

"Mama!" Cindy turun dari pangkuan Fauzi kemudian berlari menghampiri Kinal dengan kedua tangan yang direntangkan lebar.

Kinal langsung membawa Cindy ke dalam gendongannya, "Bunda mana, dek?"

"Bunda sama Om Dokter. Cindy takut." Cindy memeluk erat leher Kinal, menyembunyikan wajahnya di caruk leher Kinal.

"Mana yang kalian bilang bisa jaga Veranda?!" Kinal menatap mereka semua dengan tajam, matanya yang memerah kini mulai berkaca-kaca. Dadanya naik turun, tampak sedang berusaha menahan emosi. "Kalo kalian emang gak bisa jaga Veranda, biar aku yang jaga dia!"

Fauzi tidak menjawab apapun. Ia langsung menangkupkan sepasang tangan di depan wajah ketika sadar air matanya akan jatuh. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain melihat putrinya terbaring lemah di ruang ICU. Apalagi sudah lebih dari lima jam, dokter menangani Veranda. Namun, belum selesai sampai sekarang. Terakhir kali ia melihat kondisi Veranda sangat mengkhawatirkan karena kecelakaan itu.

Tiba-tiba dokter keluar. Wajahnya yang lesu membuat semua keluarga khawatir. Mereka dengan cepat menghampiri dokter itu.

"Maaf, pasien bernama Augusto tidak bisa diselamatkan."

Jerit tangis yang cukup keras langsung terdengar, terutama dari pihak keluarga Augusto. Sementara Kinal masih tegang menunggu kalimat yang selanjutnya akan dokter itu. Belum apa-apa, air matanya sudah menetes. Kinal tidak bisa membayangkan hal yang serupa terjadi pada Veranda, mungkin ia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

"Gimana kondisi anak saya Veranda?" tanya Fauzi mewakili yang lainnya. Wajah Fauzi terlihat sangat pucat. Untuk pertama kalinya ia merasakan ketakutan yang sangat besar.

"Veranda selamat tapi kakinya mengalami kelumpuhan sementara."

Helaan napas lega keluar. Fauzi memejamkan matanya, membiarkan cairan yang sedari tadi menggenang di kelopak matanya jatuh. Setidaknya ia bisa bersyukur, Veranda masih bisa diselamatkan meski kondisinya jauh dari kata baik. Sama seperti Fauzi, Kinalpun menghela napas leganya.

"Dan matanya mengalami kebutaan karena benturan keras itu."

"Ngga!" Vina menjerit histeris mendengar pernyataan dari dokter itu. Kepalanya tiba-tiba saja berdenyut hebat hingga tak lama, tubuhnya ambruk tak sadarkan diri karena terlalu syok.

"Bunda kenapa?" Cindy bertanya pada Kinal.

Kinal menggelengkan kepalanya kemudian memeluk erat tubuh Cindy. Dalam sekejap, tangisannya ikut pecah. Punggungnya bergetar hebat. Hatinya seakan diremas sangat kuat. Perih dan sakit. Kinal tidak sanggup melihat keadaan Veranda yang seperti ini. Untuk pertama kalinya, ia menyesal telah melepaskan Veranda dari genggamannya. Nyatanya, tidak ada yang bisa menjaga Veranda lebih baik darinya.

"Harusnya aku gak ngelepasin Veranda!! Kalian gak bisa jaga dia!!" Kinal semakin histeris membayangkan sebesar kesedihan yang Veranda ketika mengetahui kondisinya seperti itu, apalagi saat mengetahui bahwa suaminya telah meninggal dunia akibat kecelakaan itu. Veranda pasti sangat terpuruk meski Kinal tau, Veranda tidak mencintai pemuda itu.

"Tapi pasien cukup beruntung karena kondisi janinnya baik-baik saja." Setelah mengungkapkan hal itu, Dokter berjalan pergi meninggalkan mereka.

"Ve hamil?" gumam Kinal pelan. Sementara Fauzi tidak mendengar ucapan terakhir dokter karena disibukan oleh Vina yang sudah digotong ke salah satu ruangan.

"Bunda mana?!" Cindy menghentak-hentakan kakinya dalam gendongan Kinal, ingin melihat kondisi Veranda di dalam.

"Kamu tenang. Mama janji, mulai detik ini, Mama yang bakal jaga kalian ya." Kinal menegakan kepalanya untuk menatap Cindy kemudian mencium dahinya, "Mama gak akan ngelepasin kalian lagi."


***


Kinal hanya bisa membeku menyaksikan bagaimana Veranda menangis histeris karena pandangannya gelap dan kakinya tak bisa digerakan. Entah berapa kali Kinal menghapus air matanya yang tidak bisa berhenti mengalir. Hatinya terasa sangat perih melihat kondisi Veranda.

"Ve, tenang, sayang." Fauzi memeluk erat Veranda kemudian mengusap lembut rambutnya, berusaha untuk menenangkan tangisannya yang malah semakin keras.

"Kinaaaal!!!" Veranda berteriak keras sampai tenggorakannya perih. "Aku mau ke Istanbul!! Aku mau tinggal sama Kinal aaargh lepas!!!" Veranda terus meronta dalam pelukan Fauzi. Berkali-kali ia berusaha menggerakan kakinya, tetapi tidak bisa. Veranda kembali menjerit, sangat keras.

"A-aku di sini Ve." Dengan bergetar, akhirnya Kinal bisa mengeluarkan suaranya.

"Kinal," gumam Veranda pelan kemudian mengayunkan kedua tangannya saat pelukan Fauzi terlepas. "Kamu di mana?"

"Aku di sini." Kinal menangkap pergelangan tangan Veranda kemudian menyimpan tangan itu di pipinya yang masih basah. Berkali-kali, kecupannya mendarat di telepak tangan Veranda.

"Ka-kamu nangis?" Veranda menarik tangannya lalu menghapus kasar air mata di pipinya. Ia menarik napas dalam dan diembuskan perlahan berusaha untuk tetap tenang. "A-aku gapapa, jangan nangis."

Kinal tak bisa membendung air matanya lebih lama lagi saat melihat bagaimana gadis itu berusaha untuk tetap tegar di hadapannya. Ia langsung memeluk erat Veranda, "Maaf, aku harusnya gak pernah ninggalin kamu."

"J-jangan pergi lagi." Veranda memeluk Kinal dengan sangat erat hingga Kinal sedikit kesusahan untuk bernafas. Veranda tidak sanggup menahan tangisannya ketika menyadari serapuh apa ia sekarang. Tidak membutuhkan waktu lama, tangisnya kembali pecah.

"Aku gak akan pernah pergi, Ve. Aku janji." Tanpa memperdulikan keberadaan Fauzi, Kinal mencium pipi Veranda berkali-kali kemudian mempererat pelukannya.

"Boleh saya bicara?"

Fauzi mengangguk kemudian mengikuti langkah Dokter ke luar dari ruangan Veranda. Ia melirik sekilas ke belakang, melihat Veranda yang mulai tenang meski tangisnya belum reda. Fauzi mengusap sudut matanya yang basah lalu melanjutkan kembali langkahnya, diikuti oleh Vina.

"Melihat kondisi pasien yang masih syok, saya sarankan jangan biarkan dia stres. Saya hanya khawatir itu akan berpengaruh pada janinnya," ucap Dokter itu pada Fauzi dan Vina.

"Kapan anak saya bisa jalan lagi Dok?" Vina bertanya dengan mata yang mulai berkaca.

"Gak akan lama lagi." Dokter memberikan senyuman tipisnya sebelum akhirnya pergi dari sana.

Sementara perhatian Fauzi malah fokus pada Kinal yang sedang mengusap lembut pipi Veranda dan menenangkan tangisannya sampai Veranda benar-benar tenang. Fauzi tidak melihat air mata putrinya itu turun kembali, hanya dada Veranda saja yang masih naik turun.

"Kita harus jauhin Kinal dari Ve lagi," ucap Fauzi sangat tegas. Bagaimanapun juga ia masih tidak rela jika Veranda kembali ke pelukan Kinal. Cukup putri bungsunya yang dinikahi oleh seorang perempuan.

"Apa kamu bilang?!" Vina menatap Fauzi sedikit tajam. "Gak cukup kamu liat anak kamu menderita karna keputusan kamu?! Kalo Ve gak kamu jodohin sama dia, Ve gak akan kehilangan penglihatannya!" Nafas Vina terdengar tak beraturan, terdorong oleh emosinya yang menggebu-gebu.

"Itu kecelakaan. Aku gak akan pernah rela kalo Veranda kembali sama Kinal." Tatapan Fauzi tak kalah tegasnya.

"Kamu denger kata Dokter tadi? Ve gak boleh stres, dia ngandung cucu kita! Apa yang akan terjadi sama Ve kalo Kinal gak ada?" Vina membuka pintu ruangan Veranda dengan lebar, "Liat," ucapnya sambil menunjuk pada mereka berdua, "apa kamu bisa nenangin Veranda secepat itu?!"

"Vin, tolong nger-"

"Aku ngerti, Fauzi!" Vina menekankan kembali kalimatnya, "Siapa orang tua yang mau ngeliat kedua putrinya dinikahi oleh perempuan? Gak akan ada yang mau!" Vina menarik napas panjang, berusaha meredam emosinya sedikit demi sedikit. "Tapi siapa juga yang mau liat anaknya menderita? Kamu tau 'kan gimana kondisi Shani waktu kamu pisahin dia dari Viny? Kamu juga liat 'kan gimana keadaan Veranda waktu Kinal pergi ke Turki? Kamu pikir batin aku gak tersiksa ngeliat anak-anak aku menderita?!"

Fauzi hanya diam, menyaksikan bagaimana tangis istrinya itu mulai pecah.

"Aku gak mau liat mereka menderita lagi! Kalo kamu malu punya anak kaya mereka, ceraikan aku! Aku masih mampu urus mereka sendiri dan aku gak malu sama sekali!" Vina langsung pergi meninggalkan Fauzi yang masih membeku tanpa bisa mengucapkan satu katapun saat mendengar ancaman darinya.

Veranda bisa mendengar pertengkaran kedua orang tuanya itu dengan jelas. Tangannya yang bergetar, perlahan terangkat, mengusap setiap sudut wajah Kinal. Wajah yang tak pernah hilang dari bayangannya, bahkan dalam tidurnya, ia selalu melihat wajah itu. Kini, wajah Kinal ada dalam genggamannya. Veranda tersenyum senang diikuti oleh tetesan air mata berikutnya. Kali ini bukan air mata kesedihan yang jatuh, tetapi air mata kebahagiaan.

Kinal menggenggam erat tangan Veranda, "Kita pulang ke rumah kita ya?" tanyanya sangat lembut.

Dengan cepat Veranda mengangguk lalu kembali memeluk Kinal, lebih erat dari sebelumnya. Ini adalah hari paling membahagiakan untuk Veranda setelah jauh dari Kinal. Ia seakan tidak peduli dengan penglihatannya yang hilang, yang terpenting untuknya hanya Kinal. Kinal kembali, kembali pada pelukannya. Kinal tidak akan pernah pergi lagi meski untuk satu detik, gadis itu akan selalu bersamanya.

"Bunda." Cindy berjalan menghampiri mereka berdua. "Mama, aku mau duduk di kasur," ucapnya merentangkan kedua tangan, meminta untuk digendong.

Kinal melepaskan pelukannya lalu menuruti keinginan Cindy dengan mendudukan tubuh Cindy di samping ranjang.

Jantung Veranda berdetak cepat ketika merasakan tangan mungil Cindy mengusap pipinya. Kekhawatiran mulai menelusup ke dalam perasaannya. Bagaimana jika Cindy malu memiliki Ibu sepertinya? Bagaimana jika kasih sayang Cindy berkurang kepadanya karena ia sudah tidak bisa merawat Cindy sesempurna kemarin? Semuanya pasti berubah. Veranda merasa tidak akan mampu menjaga Cindy seperti dulu.

"Bunda liat aku gak?"

Kinal menahan nafasnya kemudian membuang wajah ketika melihat air mata Veranda kembali jatuh mendengar pertanyaan Cindy. Hatinya terasa sangat perih melihat kesedihan yang terpancar jelas dari tatapan Veranda.

"Maaf, Bunda udah gak bisa liat." Suara Veranda terdengar sangat bergetar, tumpang tindih dengan isakannya yang berusaha ia redam.

Air mata Kinal benar-benar jatuh. Kinal menadahkan wajahnya ke atas kemudian menutup kedua mata menggunakan telepak tangannya. Betapapun ia berusaha kuat di depan Veranda, ia tak akan sanggup melihat kesedihan itu.

Cindy tiba-tiba saja menegakan tubuhnya untuk mencium pipi Veranda, "Bunda jangan nangis. Mata Cindy buat Bunda aja ya? Cindy aja yang gak bisa liat, jangan Bunda. Cindy gak mau Bunda nangis." Tangan mungilnya mengusap air mata Veranda yang mengalir semakin deras lagi. Bibir Cindy bergetar tampak sedang berusaha menahan tangis, hati kecilnya seolah ikut menjerit melihat kesedihan Ibunya itu.

"Gak perlu, sayang." Veranda meraba-raba wajah Cindy sampai berhasil mengusap lembut puncak kepalanya.

"Bundaaa." Cindy merengek dan langsung memeluk Veranda. Ia ikut menangis, sangat keras. Tangisannya itu malah membuat tangis Veranda kembali pecah. Veranda membalas pelukan Cindy. Berkali-kali ia membisikan kata maaf di telinga Cindy.

Kinal langsung keluar dari ruangan itu lalu menutup pintu. Ia bersandar lemas di dinding dengan nafas terengah. Tiba-tiba tepukan lembut mendarat di bahunya. Kinal menoleh, mendapati Viny yang sedang menatapnya cemas. Kinal menggeleng pelan dan langsung memeluk adiknya itu, memasrahkan semua tangisannya dalam pelukan Viny. Kinal sama rapuhnya dengan Veranda.

"Kenapa?!" tanya Shani panik. Pandangannya kali ini tertuju pada Fauzi yang sedang duduk di kursi, air wajahnya menunjukan banyak kesedihan. "Kak Ve baik-baik aja 'kan?!" tanyanya sekali lagi. Shani memang belum mengetahui kondisi Veranda karena ia baru saja sampai di Indonesia.

"Augusto meninggal, Shan," jawab Fauzi dengan suara beratnya. "Kakak kamu lumpuh sementara dan kehilangan penglihatannya."

Tubuh Shani langsung membeku. Lututnya tiba-tiba saja bergetar, rasa perih dengan cepat menembus dadanya. Ia menggigit bibirnya dengan sangat kuat lalu mengerjap satu kali, berharap apa yang ia dengar salah. Namun, isak tangis Kinal yang semakin keras cukup menegaskan bahwa ini nyata. Penderitaan sebesar apalagi yang harus Veranda tanggung?

"Gimana kamu bisa nguatin kak Ve kalo kamu lemah kaya gini, Nal?" Viny memukul bahu Kinal cukup keras. Air matanya tiba-tiba saja meleleh.

"A-aku gak bisa liat air mata dia, aku gak bisa." Kinal menggeleng kuat dan semakin menenggelamkan wajahnya di bahu Viny.

"Jangan tunjukin air mata kalian di depan Ve," ucap Fauzi. Ia langsung menutupi kelopak mata dengan telepak tangannya ketika menyadari cairan itu kembali keluar. Seorang ayah akan menjadi begitu lemah saat melihat penderitaan putrinya.

Shani masuk ke dalam ruangan Veranda. Dadanya seakan dipukul berkali-kali melihat Veranda yang tengah berusaha menenangkan tangis Cindy sedang airmatanya sendiri terus mengalir. Dengan lutut bergetar, Shani terus memaksakan kakinya untuk melangkah.

"Kak Vee!!" seru Shani bersorak riang, berusaha terlihat baik-baik saja. Meski hampir saja ia kehilangan nafasnya ketika melihat mata Veranda yang memerah karena terlalu banyak menangis. "Aku kangen kak Ve. Cindy, Tante pinjem Bundanya yaa." Shani mengusap kepala belakang Cindy seraya mengecup pipi Veranda yang basah.

"Adek aku." Veranda mengangkat tangannya dan berhasil menyentuh pipi Shani. Ia tersenyum saat merasakan pipi itu kering tanpa basah sedikitpun. Itu artinya Shani tegar, Shani tidak mengasihaninya.

Kepala Shani terkulai lemas di bahu Veranda. Ia menarik napasnya, masih berusaha menahan tangisan agar tidak meledak di sini. Dengan lembut, ia kembali mencium pipi Veranda. "Kita tinggal serumah lagi ya kak? Aku gak akan pergi lagi. Udah cukup kita pisah bertahun-tahun."

Veranda mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat, "I-iyaa, Shan. Penglihatan aku diambil tapi kalian kembali. Gak ada kebahagiaan yang lebih besar dari ini." Veranda tersenyum bahagia di tengah tangisannya.

Selalu ada hikmah dibalik semua musibah. Veranda sangat percaya akan hal itu karena ia tengah merasakannya. Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari ini. Veranda tidak ingin penglihatannya kembali seperti dulu jika itu akan membuat semua orang yang ia sayangi jauh darinya. Veranda ingin hidup seperti ini, tanpa melihat tetapi dikelilingi oleh orang-orang yang ia sayangi dan sangat menyayanginya.


***


Setelah seminggu lebih dirawat, akhirnya Veranda diperbolehkan untuk pulang oleh Dokter. Kesedihan itu perlahan hilang, kini hanya ada tawa dan kebahagiaan yang terlihat dari wajah Veranda. Veranda lebih baik sekarang bahkan jauh lebih baik dibandingkan sebelum penglihatannya hilang. Vina tidak pernah melihat Veranda sebahagia itu. Penglihatannya yang hilang ternyata tidak melenyapkan kebahagiaan Veranda.

"Pelan-pelan ya," ucap Fauzi ketika Perawat berusaha mengangkat tubuh Veranda ke kursi roda.

"Gak perlu." Kinal membalikan topinya ke belakang. Ia menarik napas dalam lalu diembuskan keras sebelum akhirnya menggendong tubuh Veranda. Siapapun mungkin tak akan percaya jika kedua lengannya mampu mengangkat Veranda.

"Nanti jatuh, Nal." Fauzi mengingatkan Kinal. Setelah bertengkar hebat dengan Vina, Fauzi memutuskan untuk tidak berusaha menghalangi mereka lagi. Ia tidak bisa menolak kenyataan bahwa kebahagiaan Veranda ada pada Kinal.

Kinal tersenyum, "Kalian harus tau, Veranda gak kehilangan penglihatannya karna aku mata dia. Dia masih bisa berjalan karna aku kedua kakinya. Dia gak akan pernah jatuh karna aku penjaganya." Kinal mencium dahi Veranda dengan lembut, "Kebahagiaan gak akan pergi lagi dari hidup dia karna aku kebahagiaannya." Setelah mengatakan itu, Kinal mulai berjalan keluar dari ruangan.

"Ambil semua yang ada dalam tubuh aku, aku akan selalu baik-baik aja selama kamu ada di samping aku." Veranda tersenyum, mengeratkan pelukannya pada leher Kinal.

"Jangan drama."

"Nyebelin banget sih." Veranda menampar pelan pipi Kinal dengan sembarang. Tawa Kinal pecah saat itu juga.

"Bunda, kita balik lagi ke rumah kita yang di Garut ya? Kehidupan kita kembali dan gak akan lama lagi, Cindy punya adik." Kinal tersenyum bahagia. Matanya berkaca haru, membayangkan bagaimana besarnya kebahagiaannya nanti ketika anak itu lahir.

"Dia anak kamu."

"Iyaa, dia anak aku." Sekali lagi, Kinal mencium dahi Veranda.
Sekarang, siapapun tidak akan ada yang berani memisahkan mereka berdua.


***



Viny terbangun di pagi hari saat merasakan cahaya matahari sedikit menyilaukan pandangannya. Sekilas, ia hanya melihat Kinal yang sedang dengan lancangnya membuka gorden kamar. Selebihnya, ia hanya melihat punggung Kinal yang semakin menghilang ditelan jarak. Viny menggeliat pelan lalu menunduk. Nafasnya berembus kasar, pantas saja ia sulit tidur nyenyak, Shani tengah tertidur pulas di atas tubuhnya.

"Kamu tuh kalo tidur mikir kek, aku engap, tau!" Viny memukul pelan pipi Shani berkali-kali sampai kedua mata istrinya itu terbuka. Senyuman manis di wajah Shani menjadi pembuka indah untuk Viny di pagi hari ini. Kekesalannya perlahan lenyap, ia selalu lemah setiap kali melihat senyuman itu. Kekesalan sebesar apapun pasti langsung hilang.

"Pagi-pagi udah marah. Huuu." Shani menempelkan hidungnya di hidung Viny kemudian mencium gemas bibirnya dan segera bangkit. Ia meregangkan punggungnya ke sembarang arah, "Yeay!! Selamat pagi, Garut!" teriaknya cukup keras. "Udah dua bulan aku tinggal di sini dan dia belum pernah ngasih aku nafkah!"

"Lebay! Aku boke, jangan minta duit." Viny melemparkan bantal pada Shani kemudian duduk. Ia masih menguap beberapa kali, tidurnya benar-benar tidak nyenyak. Belum lagi semalam Shani ke dinginan dan butuh kehangatan tubuhnya. Viny benar-benar lelah.

"Apa keinginan kamu pagi ini?" tanya Shani sambil memperhatikan bayangannya sendiri yang terpantul dari cermin datar di hadapannya. Meski akan tampak sombong, tetapi ia mengakui bahwa wajahnya tetap terlihat cantik meski tidak tersentuh make up. Pantas saja gadis berambut pendek itu menggilainya selama bertahun-tahun.

"Apa lagi yang diharapkan oleh manusia selain kebahagiaan?" Viny berdiri dengan malas, memandangi punggung Shani. Tanpa sadar ia tersenyum melihat Shani yang terlihat sangat centil di depan cermin.

"Harapan aku sih semoga kamu bisa gendong aku kaya kak Kinal gendong kak Ve." Shani berbalik menghadap Viny kemudian tersenyum dengan kepala sedikit miring. Ia mengedipkan satu matanya genit seraya mengibaskan semua rambutnya ke samping kanan.

"Ah, jangan macem-macem." Viny mendelik malas sambil berjalan menuju kamar mandi. Namun, baru dua langkah, tiba-tiba beban di punggungnya bertambah. Viny menoleh, mendapati Shani yang sudah merangkul lehernya dari belakang. Dengan malas Viny mengangguk dan membungkukan sedikit punggungnya, membiarkan Shani memasrahkan berat tubuh kepadanya.

Setelah dirasa pas, Viny mulai menegakan kembali punggungnya lalu melanjutkan langkah. Ia bisa merasakan pipi Shani bersandar di bahunya, "Aku kerja apa ya di sini?"

"Kerja sama kak Kinal ajalah, Perusahaan Foto Studionya makin maju. Lagian kita tinggal gratis, makan gratis. Mikir apalagi coba?"

"Awas kalo minta duit pengen belanja."

"Ish gitu! Aku mau belanja pokoknya!" Shani menggigit telinga Viny cukup keras. Viny yang sudah terbiasa dengan itu hanya bisa menguap tanpa berniat menjawab.

"Aku bisa tau kamu ada di mana."

Kinal tersenyum manis kemudian berbalik, melipat kedua tangannya di dada, "Coba, peluk aku."

Veranda menarik napas, menghirup aroma tubuh Kinal dan menjadikan itu sebagai petunjuk arah agar bisa menemukan Kinal. Senyuman di bibir Kinal semakin lebar ketika merasakan kedua  tangan Veranda memeluknya dari belakang. Dengan cepat ia menggapai tangan itu lalu menciumnya lembut.

"Aku pernah tinggal sama kamu lebih dari lima tahun. Aku gak perlu penglihatan buat tau di mana kamu berdiri." Veranda menenggelamkan wajahnya di caruk leher Kinal lalu kembali menghirup aroma tubuhnya. Sangat menenangkan.

"Gak kapok 'kan tinggal sama aku?" Kinal menggenggam erat lengan Veranda yang masih melingkar di perutnya.

"Ngga, Nal. Makasih masih mau nerima aku meskipun sekarang, aku udah gak bisa liat kamu lagi, aku udah gak bisa ngurus kamu, bikinin kamu makanan dan nyuc-" Kinal tiba-tiba saja berbalik, mengunci bibir Veranda dengan bibirnya.

"Aku gak peduli sama semua kekurangan kamu karna buat aku, kamu adalah kebahagiaan aku yang paling sempurna." Kinal mencium dahi Veranda lalu turun pada dua kelopak mata Veranda. Sedangkan kedua tangannya, menggenggam erat tangan Veranda. "Kamu sempurna, sayang."

Veranda tersenyum haru dan langsung memeluk Kinal. Kebahagiaannya benar-benar kembali sekarang, ia tidak akan lagi mengecap sakitnya penderitaan dan memukul beban rindu yang begitu berat. Sekarang kebahagiaan itu tidak akan pernah berani menjauh darinya sedikitpun.

"Aku pasti nafkahin kamu, Shan. Sekarang aku gak punya uang. Kalo baju yang kamu mau bisa dibeli pake daun, aku beliin setruk." Suara Viny tiba-tiba saja terdengar.

"Aku tuh kurang sabar apa coba, gak dinafkahin tapi masih mau ngasih kenikmatan." Shani menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian duduk di kursi makan. Dari sini ia bisa melihat kedua kakaknya masih saling berpelukan.

Viny mengecup puncak kepala Shani lalu ikut duduk, "Ntar aku cari kerja dulu. Sabar ya? Yang penting makan kita sehari-hari ada yang nanggung."

"Tiap hari mereka ngomongin nafkah tapi Viny masih belum berusaha cari kerja. Anehnya, Shani cuma ngomel, gak bener-bener nyuruh dia kerja." Kinal berbisik di telinga Veranda. Tentu itu mengundang tawa Veranda. "Dari SMA mereka emang pasangan aneh."

"Aku punya kakak, kerjaannya tuh gosipin aku bukan ngasih aku kerja. Padahal tau ya aku udah dua bulan nganggur." Viny sedikit memperkeras suaranya kemudian melahap roti yang tersedia di meja makan. "Dia tuh gak mikir kalo aku punya istri bawel yang tiap hari minta duit. Pengertian dikit kek, kasih satu cabang Foto Box kek, sukur-sukur mau ngasih cabang Foto Studionya." Sambil terus mengunyah, Viny tak berhenti menyindir Kinal.

Tawa Kinal, Shani dan Veranda terdengar. Kinal menggenggam tangan Veranda dan menuntunnya untuk berjalan mendekati meja makan. "Ijazah S1 kamu gak guna, Vin. Aku dong lulusan SMP tapi sukses. Ijazah tuh nomor sekian, yang penting penyemangatnya. Aku sukses karna penyemangat aku terlalu sempurna, Jessica Veranda."

"Sukses tapi sombong mah gak guna." Viny berdecih samar sambil kembali melahap potongan roti miliknya.

"Itu bukan kesombongan tapi sebuah kebanggaan." Kinal merangkul bahu Veranda dan segera mengecup pipinya.

"Shani tuh cuma pengen aku, Nal. Kamu harus tau itu," balas Viny tanpa menatap Kinal. Ia masih sibuk menyantap rotinya.

"Maksudnya?"

"Dia tuh gak mau ditinggalin meskipun cuma satu jam. Kamu tau berbulan-bulan tinggal di Turki tapi dia gak biarin aku kerja. Kenapa coba? Karna dia gak mau jauh dari aku. Pencitraan doang dia minta-minta nafkan, padahal yang dia butuhin cuma aku." Viny menepuk dadanya sambil menaik turunkan kedua alisnya. Ia tidak berbohong sedikitpun, Shani memang tidak pernah membiarkannya kerja.

Shani menopangkan dagu pada tangannya, menatap wajah samping Viny dengan mata memicing, "Kenapa kamu jadi bawel kaya gini?"

"Ketularan kamulah." Viny tertawa kecil.

"Kalo gitu aku kasih salah satu cabang Foto Box aku. Kalian bisa urus itu bareng-bareng biar kalian bisa sama-sama terus," ucap Kinal sambil duduk di kursi setelah mempersilahkan Veranda untik duduk.

"Ide bagus!" Shani menjentikan jarinya. "Cindy mana, kak?"

"Aku di sini Tante Shani!!" Cindy berteriak dari arah kamar. Ia baru saja mengambil kupluknya. Dengan santai ia berjalan menghampiri mereka kemudian duduk di samping Veranda. "Tante Shani tadi marah? Gak dikasih uang lagi sama tante Viny? Tante Viny gak punya uang, jangan marah terus ya."

Kinal yang sedang minum susu jadi tersedak mendengar pertanyaan putrinya itu. Ia langsung menatap Viny yang tiba-tiba cemberut. Dalam sekejap, tawa di rumah ini pecah. Kinal sampai terpingkal-pingkal melihat bagaimana kusutnya wajah Viny saat ini. Tawa Shani dan Veranda juga tak kalah kerasnya.

***

Hari minggu selalu menjadi hari paling menyenangkan bagi semua orang, karena hari ini hari yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga dan sahabat. Tak terkecuali dengan keluarga Kinal. Kinal mengajak mereka pergi ke Bukit, tempat yang sudah lama tak ia kunjungi. Tempat ini pernah menjadi saksi awal dari cintanya tumbuh dan di tempat ini juga ia menghabiskan waktu dengan Veranda sebelum perpisahan itu.

Kinal mengajak Cindy bermain mengelilingi bukit ini. Cindy begitu bersemangat karena ini pertama kalinya ia pergi ke tempat ini. Sementara Kinal sedang asik dengan keluarganya, Viny malah tegang memandangi dompetnya sendiri. Berkali-kali ia berdecak karena tak menemukan uang sedikitpun, semua tabungannyapun habis karena dipakai biaya selama di Turki. Setelah menikah dengan Shani, ia memang tidak bekerja sekalipun. Minta pada Marissa pun malu.

"Kakak!" Shani menepuk bahu Viny.

Viny terperanjat kaget dan buru-buru berbalik untuk menatap Shani, "I-iyaa?"

"Kamu ngapain sih? Kak, aku mau bel-"

"Ayo main." Viny tersenyum lebar sambil menarik tangan Shani kemudian berlari cepat menghampiri Kinal yang sepertinya sedang istirahat. Dalam hati ia berharap, Shani tidak meneruskan kalimatnya itu. Ia benar-benar tidak punya uang sedikitpun. Sepertinya besok ia harus mulai kerja keras.

"Kamu duduk di sini, aku ada perlu sama Kinal." Tanpa sopan santun, Viny menarik tangan Kinal yang tengah duduk di atas karpet kemudian berjalan beberapa langkah menjauhi mereka.

"Apasi?" tanya Kinal sedikit kesal.

"Aku besok kerja kan ya? Kasbon dong." Viny menunjukan cengirannya.

"Kamu kerja aja belum, enak aja kas bon." Kinal memutar malas bola matanya kemudian menyiapkan langkah untuk pergi. Namun, pergelangan tangannya di tahan dengan cepat.

"Lima ratus ribu aja. Shani pengen jajan, aku gak punya uang. Minta Mama terus malu, Nal. Pelit banget sih." Viny menghentakan tangan Kinal dengan kesal. Pandangannya langsung tertuju pada dompet yang Kinal selipkan di saku belakangnya. Viny berdehem pelan sambil merampas dompet itu dan segera berlari menjauhi Kinal.

"Sial, Viny!!"

"Kinal kenapa?" tanya Veranda berusaha menghadap ke arah suara teriakan itu.

"Abis dicopet," jawab Shani berbisik pelan.

"Serius?! Mana pencopetnya?!" Veranda hendak bangkit tetapi langsung ditahan oleh Shani.

"Pencopetnya yang udah berbulan-bulan nganggur itu loh." Shani terkekeh pelan memandangi Viny yang sedang berjalan santai dengan wajah angkuh tanpa memperdulikan teriakan kakaknya itu.

Veranda menghela napas lega kemudian tertawa kecil. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana kehidupan mereka berdua selama di Turki, Viny tak bekerja dan Shani tidak membiarkan Viny bekerja. Memang pasangan yang sangat aneh. Untung saja mereka dikelilingi oleh orang berada hingga tidak kesusahan hanya untuk sekadar makan.

"Shan, pulang dari sini kita beli baju yang kamu mau ya?" Viny tersenyum seraya duduk di samping Cindy yang sedang asik makan. "Tenang, uang aku banyak." Viny mengakhiri kalimatnya dengan kedipan mata yang sangat genit.

"Wah hebat ya." Shani bertepuk tangan.

"Vin-"

"Kinaal." Suara Veranda menghentikan kalimat Kinal.
Kinal yang sudah tau Veranda akan melarangnya untuk membantah Viny, hanya bisa cemberut dengan bibir bawah mengerucut ke depan. Ia terduduk lemas. Sesekali ia menatap Viny yang tampak sangat bahagia mendapat pembelaan dari Veranda. Viny malah meleletkan lidahnya, terlihat sangat menyebalkan di mata Kinal.

"Veee, Viny nyebelin banget," rengek Kinal menarik lengan Veranda lalu bersandar dengan manja di bahunya. "Awas lo kalo udah kerja minta duit lagi."

"Gimana ntar yaa aku kerja atau ngga. Kayanya mulai bulan depan deh, bukan besok." Viny terkekeh pelan. Tentu saja ia akan mengambil keputusan itu karena sekarang ia sudah memegang uang.

"Uh pinter banget siih." Shani mencium pipi Viny, "Gak usah kerja dulu ya? Biar kita santai aja di rumah."

"Siap, sayang."

Kinal menggedikan bahunya, "Pemales banget sih kalian berdua. Aku sekarang tau ya kenapa Mama ngerelain gitu aja waktu kamu milih ikut tinggal sama aku."

"Bagus kalo tau. Mama pusing liat anak sama mantunya pemalas. Sip, Shan!" Viny tertawa keras kemudian mengangkat telepak tangannya. Dengan cepat Shani menabrakan telepak tangannya pada Shani. Mereka berduapun tertawa bersama.

Veranda ikut tertawa, ia bisa membayangkan saat ini wajah Kinal cemberut karena kesal melihat tingkah kedua adiknya. Padahal seingat Veranda, Viny sangat rajin waktu SMA dulu, bahkan Viny berhasil mengalahkannya dalam juara umum. Namun, sepertinya sekarang Shani menularkan penyakit malasnya itu pada Viny. Mereka memang pasangan yang sangat kompak.

"Kalian tuh disuruh kerja males padahal aku kasih kerjaan yang enak, tapi pas naena aja semangat padahal capek. Suaranya aja kedenger sampe kam-hhhmmppt!!"

Veranda menutup bibir Kinal menggunakan telepak tangannya lalu berbisik tegas, "Ada Cindy, kamu tuh kalo ngomong ya jaga." Tidak berhenti sampai situ, Veranda menghadiahkan satu cubitan di perut Kinal. Viny dan Shani langsung tertawa melihat Kinal menjerit kesakitan.

"Kita tuh pasangan serasi. Gak ada uang, gak masalah. Gak dapet gituan, masalah besar," ucap Viny tertawa lebih keras lagi bersama Shani. Kali ini bukan hanya mereka, Kinal dan Verandapun ikut tertawa.

Senja perlahan menghilang ditelan kegelapan, sekaligus menjadi pertanda bahwa siang sudah berakhir. Bintang yang berpendar dan bulan yang bersinar terang menjadi bukti bahwa kegelapan tidak selalu menakutkan karena langit tampak begitu indah malam ini.

Senja menutup hari dengan keindahan. Sama indahnya seperti kebahagiaan yang menjadi penutup terbaik dari kisah mereka. Setelah melewati banyak rasa sakit dan penderitaan, akhirnya mereka bisa sampai pada puncak kebahagiaan. Tak peduli berapa banyak air mata yang sudah turun, berapa kali hati mereka hancur, yang terpenting mereka mendapatkan apa yang mereka cita-citakan.

Manusia akan selalu berjalan menuju kebahagiaannya. Teruslah berjalan untuk menggapai kebahagiaan itu. Jika lelah, maka berhentilah sejenak kemudian teruskan perjalanan itu. Percaya, manusia akan bertemu dengan kebahagiaannya masing-masing.

SELESAI

Akhirnya kita sampai dipenghujung acara(?) Makasih yang udah sabar nunggu FF ini. Gimana nih kesannya selama baca FF ini? Ngebosenin atau membosankan?

Akhir kata aku sampaikan... Akan ada yang datang setelah kepergian. FF ini tamat, ada yang baru hahahha bilang aja promosi

Baca yaa FF baru aku judulnya Cinta II tapi bukan lanjutan FF ini, beda lagi ceritanya. Biasalah orang yang gak kreatif suka males mikirin judul. Pairnya tetep VinShan sama VeNal.

Oke, sampai ketemu di cerita aku selanjutnya. Jangan kangen iia yaa (???????????)

Continue Reading

You'll Also Like

705K 51.6K 37
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
54.9K 5K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinship‼️ ❥Sequel Dream House ❥NOT BXB ⚠️ ❥Baca Dream House terlebih dahulu🐾 Satu atap yang mempe...
156K 25K 46
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
65.7K 7.2K 38
Sebuah rahasia yang tidak akan pernah meninggalkanmu...