Suka Duka Bersama

4.1K 453 97
                                    


Seperti biasa, jika hari minggu Veranda selalu menemani Kinal di kebun. Menurutnya, sesuatu yang sangat menyenangkan memandangi Kinal bekerja dari jauh. Meskipun terkadang ia merasa miris melihat Kinal berjuang begitu keras untuk membiayai kehidupannya di sini, tak jarang tangan Kinal lecet karena terlalu lama mencangkul. Bagaimanapun juga, meski dipaksakan tenaga Kinal tidak akan sama dengan tenaga laki-laki.

Matahari sudah berada di atas kepala, Kinal mendongak ke atas dan langsung menyipitkan matanya mendapati sinar yang begitu terang masuk ke retina matanya. Bodoh, itu yang ada dipikiran Veranda melihat Kinal. Ia segera bangkit dari tempat duduk dengan membawa satu botol air mineral dalam genggamannya.

"Jagoan," seru Veranda tersenyum lebar sambil menyodorkan botol minuman yang sudah ia buka tutupnya. "Istirahat dulu."

"Loh, Ve," Kinal melepaskan topi coboynya lalu dipakaikan pada Veranda, "Ini panas banget." Kinal menggenggam tangan Veranda kemudian menuntunnya untuk segera bertepi ke pinggir, ke tempat yang lebih teduh lagi. "Kamu lain kali jangan nyusul aku ke tengah ya, sayang," ujarnya mendudukan tubuh Veranda kembali di saung. Ia mengambil air itu dan meminumnya sampai setengahnya.

Tangan Veranda terayun, mengelap lembut keringat di dahi dan pelipis Kinal menggunakan sapu tangannya. Poni Kinal tampak sangat basah oleh keringatnya, pun dengan rambutnya yang lecek. Namun meski begitu Kinal masih terlihat keren dengan kemeja panjangnya yang digulung sampai lengan, celananya yang hanya sampai lutut dan sepatu bootsnya yang menutupi betis Kinal. Veranda yakin, jika ada penghargaan petani paling keren, Kinal pasti pemenangnya. Kinal selalu menjaga penampilannya agar terlihat rapi.

"Masak gak?" tanya Kinal berjalan satu langkah ke samping saung untuk mencuci kedua tangannya menggunakan sisa air itu.

"Aku masak," ucap Veranda setengah ragu seraya membuka kotak makannya, "tapi cuma ada mie sama telor."

"Wah enak tuh, Ve. Mana-mana?" Kinal tersenyum lebar lalu duduk bersila di saung itu. Ia terlihat sangat bersemangat karena perutnya memang sudah lapar.

"Kapan belanja lagi?" tanya Veranda memberikan kotak makan itu pada Kinal.

"Hah?" Kinal menatap Veranda, berharap Veranda tidak meminta apapun karena uangnya hanya tinggal sedikit, semua uangnya sudah ia belikan kebun, bibit dan pupuk bulan lalu.

"Buat makan, gak belanja yang macem-macem kok." Veranda mencubit gemas pipi Kinal. Urat wajah Kinal yang sebelumnya tegang mulai mengendur, Veranda terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya.

"Abis makan kita belanja ya." Kinal menaik turunkan kedua alisnya dan mulai memakan mie telor -yang sudah diracik menggunakan beberapa sayuran lainnya- dengan lahap. Masakan Veranda memang selalu enak.

"Loh, biasanya kamu di kebun sampe sore, Nal."

"Aku hari ini cuma meriksa aja siapa tau ada tomat yang buruk."

"Tomat kamu udah agak gede ya tapi gak semua."

"Iya, tomat kita dua bulan lagi bisa panen, paling telat tiga bulan." Sambil mengunyah, Kinal tersenyum memandangi kebun tomatnya sendiri yang memang lebih baik daripada kebun tomat sebelahnya. Meskipun Kinal tak tau harga tomat di Pasaran sekarang berapa, ia berharap harga tomat melonjak naik.

"Oh ya? Aku boleh ngambil sekarang gak?" tanya Veranda.
Kinal mengangguk, "Boleh dong, tapi masih ijo tuh."

"Enak kayanya ya kalo dibikin sambel buat makan malem nanti?"

"Ide bagus." Kinal tertawa memandangi Veranda yang mulai memetik tomat itu tanpa aturan, Kinal membiarkannya. Jika orang lain mungkin Kinal sudah mengeluarkan taringnya untuk memarahi orang itu.

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang