49

5.4K 551 168
                                    

Marissa dan Vina berdiri memandangi semua putrinya yang saat ini sedang berkumpul di ruang keluarga, berniat untuk mengambil keputusan yang sebelumnya sudah Fauzi minta. Ini keputusan yang sangat berat karena salah satu dari mereka harus berpisah. Marissa dan Vina sebenarnya tidak setuju, mereka tidak ingin ada satupun dari putrinya yang menikah dengan sejenisnya. Namun mereka tidak bisa berbuat apapun, melihat berontakan keempat putrinya kemarin, mereka memilih untuk diam dan dengan sangat terpaksa, setuju pada keputusan yang Fauzi ambil.

Sudah satu jam, tidak ada yang bersuara sedikitpun, Viny, Kinal, Veranda dan Shani sama-sama sibuk berpikir. Sedari tadi hanya helaan napas kasar yang terdengar, semuanya tampak bingung mengambil keputusan besar ini. Apapun keputusan yang diambil, tetap saja ada kesedihan di atas kebahagiaan yang akan tercipta nanti.

Viny menarik napas dalam kemudian diembuskan perlahan sebelum akhirnya memiringkan posisi tubuh menghadap Shani yang masih berpikir. Ia menggapai lembut tangan Shani lalu digenggam sangat erat sampai wajah cantik itu menatap ke arahnya. Viny tersenyum menatap Shani dari jarak sedekat ini. Ia membelai lembut pipi Shani yang sangat mulus kemudian turun ke dagunya. Mata Viny tiba-tiba saja berkaca, siap meneteskan air matanya.

Shani menyimpan telunjuknya saat bibir Viny terbuka hendak mengatakan sesuatu. Ia menggeleng pelan memberi isyarat agar Viny tidak mengatakan apapun. Dari tatapan itu, Shani sudah bisa menebak apa yang akan Viny ucapkan.

"Ngga, kak. Mereka yang harus pisah, bukan kita."

Veranda mengangkat kepalanya ketika mendengar keputusan Shani yang menurutnya sangat egois. Tentu saja, Veranda tidak akan pernah mau jika harus berpisah dengan orang yang selama ini sudah berjuang keras untuknya. Veranda langsung berdiri dari tempat duduknya, "Kamu jangan bikin keputusan seenaknya gini dong," ucapnya sedikit tegas.

Shani menatap Veranda kemudian berdiri, "Apalagi kak? Bukannya kalian berdua yang udah janji bakal satuin aku sama kak Viny? Ini keputusan yang baik 'kan?"

"Tapi bersatunya kalian akan jadi alasan dari perpisahan aku sama Kinal." Nafas Veranda terengah-engah, ia mencoba menahan emosinya sekuat tenaga agar tidak menciptakan masalah baru. Masalah ini saja sudah membuat kepalanya hampir pecah. Satu sisi ia tidak ingin melihat Shani menderita, tetapi di sisi lain ia juga tidak mau berpisah dengan Kinal. Sampai kapanpun, ia tidak akan pernah melepaskan Kinal.

"Aku gak peduli," balas Shani dengan nada yang mulai bergetar. "Kalian udah janji!"

"Aku kakak kamu! Tolong turunin nada bicara kamu!"

"Kakak yang tega ninggalin adeknya selama bertahun-tahun?" Shani tersenyum miring kemudian menggeleng pelan. "Di mana kamu saat aku ngerasa tertekan sama semua masalah yang aku alamin? Di mana kamu saat aku butuh pelukan seorang kakak yang bisa nguatin aku? Udah berapa kali aku minta kamu buat ngunjungin aku ? Meskipun cuma satu jam, kamu gak pernah mau ngabulin permintaan aku." Shani dengan terpaksa mengeluarkan semua keresahan yang selama ini ia simpan pada kakaknya itu.

"Aku selalu hubungin kamu, Shan." Veranda menghapus kasar air mata yang baru saja jatuh dari kelopak matanya. "Aku gak bener-bener ninggalin kamu."

"Tapi yang aku butuhin gak cuma itu!" jerit Shani keras. Untuk pertama kalinya, ia menatap Veranda setajam itu.

"Hey, udah." Viny berdiri, menarik tangan Shani agar menghadap ke arahnya. Ia menyimpan kedua tangannya di bahu Shani. "Kita di sini bukan buat berantem, kita harus ngambil keputusan."

"Itu udah keputusan akhir, kita yang nikah dan mereka pisah." Shani tetap mempertahankan keputusannya. Sudah cukup ia menderita selama ini karena berpisah dengan Viny, ia tidak ingin mengecap kesedihan yang sama meskipun jalan yang ia ambil tampak sangat egois.

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang