Keputusan akhir

5.2K 618 234
                                    

Veranda membuka pintu kamar Shani dengan hati-hati karena takut mengganggu Shani yang mungkin saja tidur mengingat jam sudah menunjukan pukul dua pagi. Dugaannya salah, Shani ternyata sedang duduk di kasur dengan pandangan lurus pada layar televisi miliknya. Mata itu terlihat kosong, pipinya yang basah pertanda gadis itu belum berhenti menangis.

"Kamu belum tidur?" tanya Veranda seakan tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Shani. Veranda duduk di samping Shani lalu menangkupkan satu tangannya di atas punggung tangan Shani tetapi dengan cepat ditepis. Hati Veranda mencelos melihat sikap Shani. Setelah tidak bertemu selama bertahun-tahun, bukan ini sikap yang inginkan dari Shani.

"Aku pengen sendiri, kak. Maaf," ucap Shani menyadari sikapnya itu menyakiti Veranda.

"Liat aku." Veranda menarik dagu Shani agar menatap ke arahnya. Ibu jarinya dengan lembut mengusap pipi Shani diikuti oleh gerakan bibirnya yang mendarat lembut di dahi Shani. "Jangan bersikap kaya gini, aku gak mau kehilangan adik aku sendiri."

"Maaf." Hanya itu yang Shani ucapkan, matanya masih kosong meski tatapannya tertuju pada bola mata Veranda.

Sekali lagi, Veranda mencium dahi Shani kemudian menarik tubuh ringkih adiknya itu kedalam pelukannya. Tanpa sadar setetes airmata meluncur dari pipinya ketika menyadari tubuh ini sudah semakin kurus. "Maaf aku selama ini kurang merhatiin kamu, aku gak bisa jadi kakak yang baik buat kamu, aku gagal ngejaga kamu. Maafin aku."

Shani hanya diam tanpa membalas pelukan Veranda. Bukan tidak ingin, hanya saja tubuhnya terlalu lemas hingga membalas pelukanpun rasanya sulit.

"Aku udah pergi bertahun-tahun, ninggalin kamu sendiri dengan keadaan kamu yang jauh dari kata baik. Maaf." Veranda mengeratkan pelukannya dengan wajah yang tenggelam di caruk leher Shani. "Maaf."

"Aku gak punya kakak. Kamu bisa pergi lagi selama apapun yang kamu mau tanpa harus peduliin keadaan aku. Aku udah biasa sendiri." Shani mendorong pelan tubuh Veranda dari pelukannya kemudian membaringkan tubuh dengan posisi membelakangi Veranda.

"Aku mohon, jangan gini." Veranda berusaha menggenggam tangan Shani tetapi lagi-lagi ditepis.

"Pergi, kak!" Suara Shani sudah bergetar pertanda rasa sesak sudah menggumpal di dadanya. Matanya terasa sangat perih.

"Aku mau tidur sama kamu ya? Jangan nangis, aku sekarang ada sama kamu." Veranda menggenggam tangan Shani untuk kesekian kalinya.

"Aku mohon, kak Ve pergi." Shani menatap Veranda, membiarkan Veranda melihat air matanya yang baru saja turun. "Maaf, pergi."

Veranda memilih untuk mengalah dan turun dari kasur Shani. Sebelum melangkah, ia melirik punggung Shani yang bergetar hebat diiringi oleh isak tangisnya. Veranda menggeleng pelan kemudian berjalan cepat meninggalkan kamar itu. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain mendengar tangisan orang yang sangat ia sayangi.

***

Keadaan rumah dibuat tegang pagi hari ini karena Veranda yang tiba-tiba merububah keputusan Shani.

"Kamu yakin, Ve? Kamu tau 'kan kamu akan Papa jodohkan setelah pernikahan Shani dan Viny?" tanya Fauzi yang sedang duduk, menatap pada putri sulungnya itu.

Kinal memejamkan mata dengan tangan yang dikepalkan kuat berusaha menahan tangisannya yang timbul dari sesak di dadanya. Pertanyaan itu nyaris membuat nafasnya hilang.

"I-iya." Sama seperti Kinal, Veranda berusaha tegar di atas keputusannya sendiri. Setelah melihat kondisi Viny dan Shani semalam, sepertinya ini keputusan paling tepat. Menurutnya, mereka berhak bahagia.

"Oke, seminggu lagi kita berangkat buat pernikahan Viny dan Shani. Mereka menikah tanpa perayaan apapun dan setelah menikah, mereka harus tinggal di Jakarta."

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang