18

4.5K 479 16
                                    

Veranda duduk sendirian, bertengger pada bulan yang kian memudar diterpa awan hitam. Lalu, dingin mengelilinginya hingga secara otomatis kedua tangannya menarik resleting untuk mempererat jaket yang ia kenakan. Nafasnya berembus ke udara dan langsung tersapu oleh angin yang membelai lembut wajahnya. Pandangan Veranda masih mengitari pemandangan depan rumahnya yang tampak sepi. Saat semua orang dipeluk kantuk dan tertidur dengan lelap, ia lebih memilih untuk berdiri di balkon kamar.

Kejadian tadi sore menyapa pikirannya yang sedari tadi ia biarkan kosong. Masih sedikit syok melihat Shani mengetahui segalanya tentang ia dan Kinal, meski perasaan lega lebih dominan ia rasakan karena pada akhirnya Shani menyetujui hubungannya dengan Kinal. Tentu dengan satu syarat, ia dipaksa untuk menyetujui kedekatan Shani dengan Viny. Itu bukan masalah bagi Veranda, ia hanya takut Viny tidak bisa menjaga adiknya itu dengan baik.

Tiba-tiba suara tepuk tangan melayang ke udara dan mendarat dengan mulus di indera pendengaran Veranda. Veranda langsung mengangkat kepalanya dan tersenyum hangat melihat Kinal berdiri di balkon kamarnya tengah melambai-lambaikan tangan dengan senyuman khas yang selalu terlihat manis itu. Veranda mengangkat dagunya menanyakan ada apa.

Kinal menggeleng pelan tanpa suara karena tau suaranya tidak akan sampai pada Veranda. Ia terdiam sejenak memikirkan sesuatu kemudian mengangkat satu tangannya memberi isyarat agar Veranda tidak beranjak kemana-mana. Veranda hanya mengangguk-anggukan kepalanya paham.

Setelah menunggu lima menit, Veranda memicingkan matanya memandangi Kinal yang berjalan keluar dari rumah dengan langkah hati-hati, pun saat Kinal membuka gerbang rumahnya seolah tidak membiarkan suara yang timbul dari gesekan besi terdengar oleh siapapun. Veranda menggeleng-gelengkan kepala, pasti gadis konyol itu sedang berusaha kabur dari rumah untuk bisa menghampirinya ke sini.

Setelah berhasil masuk ke dalam rumah Veranda, Kinal meloncat-loncatkan tubuhnya. Veranda menangkupkan satu tangannya di depan mulut untuk menahan tawanya yang hampir saja meledak. Sebenarnya bukan sesuatu yang lucu tapi semua hal tentang Kinal terlihat sangat menggemaskan di mata Veranda. Selalu ada tingkah laku Kinal yang mengundang senyum dan mendatangkan tawa di wajah Veranda.

"Aku mau nginep!" Bagus sekali, setelah mengendap-ngendap dan tidak membiarkan suara apapun terdengar termasuk derap langkah kakinya, gadis manis ini malah berteriak keras. Benar-benar sangat jenius di mata Veranda.

"Tunggu!" Veranda meleletkan lidah pada Kinal kemudian berlalu masuk ke dalam rumah untuk membukakan pintu. Sebenarnya tidak harus bersembunyi seperti itu jika Kinal ingin menginap, kedua orang tuanya pasti memperbolehkan. Namun entahlah, kadang Veranda tidak memahami jalan pikiran Kinal.

"Yuhuuu!" sorak Kinal setelah langkahnya sampai di kamar Veranda. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur kemudian berguling-guling dengan selimut yang melilit tubuhnya.

"Kamu kaya lontong deh," ucap Veranda duduk di samping Kinal, menyandarkan punggungnya di ranjang.

"Enak aja."

"Ck." Veranda memperbaiki kacamata yang sedikit merosot dari hidungnya lalu meraih novel di meja. Perlahan tangannya bergerak mengimbangi kerja otaknya untuk membuka selembar demi selembar kertas, mencari bab terakhir yang ia baca.

Mata Kinal fokus memandangi wajah Veranda dari samping. Sesekali ia terkekeh pelan melihat Veranda yang terus menerus menyampirkan rambut ke belakang agar tidak menghalanginya membaca. Namun rambut Veranda yang tergerai indah itu tampak nakal tidak berhenti mengganggu pemiliknya yang sedang sibuk membaca.

"Sini deh." Kinal yang sudah geram akhirnya bangkit lalu memiringkan sedikit posisi tubuh Veranda agar membelakanginya. Ia meraih ikat rambut yang tergeletak di atas meja kemudian meraup seluruh rambut Veranda dan mengikatnya satu. "Gini kan enak," ucapnya menepuk-nepukan tangan seakan ia baru menyelesaikan pekerjaan berat, padahal hanya mengikat rambut.

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang