48

4K 521 212
                                    

Tanpa sengaja Anggara menjatuhkan cincin itu karena terkejut mendengar suara anak kecil yang memecah keheningan gedung mewah ini. Sementara Viny tak memperdulikan cincin itu dan segera menoleh ke arah suara. Matanya menyipit melihat seorang gadis kecil yang tampak sangat cantik dengan balutan dress panjangnya.

"Kamu-" Viny menggantungkan ucapannya masih berusaha menebak siapa gadis kecil itu. "Cindy?!" pekik Viny terkejut. Viny baru mengingat siapa gadis itu, Cindy, keponakannya yang hampir seminggu sekali menghubunginya lewat vidio call. Ini pertama kalinya Viny melihat Cindy secara langsung dan ia tidak menyangka Cindy bisa mengingatnya.

"Tante Viny!" Cindy meloncat-loncatkan kakinya dengan kedua tangan direntangkan ingin segera Viny gendong. Namun baru selangkah ia berjalan, dari arah belakang Shani langsung menarik tubuhnya kemudian digendong.

"Shani?! Kamu di sini?!" tanya Fauzi menatap kedua bola mata Shani yang terlihat sangat merah. "Kamu ngapain ke sini?"

"Dia tamu spesial yang udah aku undang, Om." Melihat Shani yang membeku, Gio mewakili Shani untuk menjawab pertanyaan Fauzi.

"Aku mau sama Tante Viny." Cindy terus meronta dalam pelukan Shani. Namun Shani malah mempererat pelukannya tidak membiarkan Cindy lolos. Dalam sekejap, tangis Cindy pecah. "Bundaaaaa!!"

Veranda menangkap tangan Kinal saat Kinal hendak melangkah ke depan.

"Cindy nangis, Ve!" Kinal menepis tangan Veranda lalu bersiap mengayunkan langkahnya. Namun gerak ekor matanya ke arah Veranda jauh lebih cepat dari langkah kakinya. Kinal mengurungkan niatnya ketika melihat mata teduh itu kini mulai meneteskan air matanya.

"Ng-ngga." Veranda menggelengkan kepalanya kemudian merangkul lengan Kinal lebih erat lagi, ia sama sekali tidak mengizinkan Kinal untuk mendekati mereka. Veranda langsung menarik tubuh Kinal untuk bersembunyi di tengah-tengah puluhan orang. "Ada Shani, Nal."

Kinal mengangguk kemudian menatap lurus ke depan. Di sana, Cindy terus meronta dalam pelukan Shani. Kinal merutuki kebodohannya sendiri yang tak sadar Cindy hilang dari pengawasannya karena sedari tadi ia sibuk menenangkan ketakutan Veranda.

Viny berjalan menghampiri Shani kemudian tersenyum, "Sini, Shan." Viny langsung memeluk erat Cindy yang meloncat ke dalam dekapannya. Sama seperti yang dirasakan Shani, kesedihan Viny beristirahat sejenak ketika tangan mungil Cindy memeluk lehernya.

"Tante Shani kejam." Cindy masih menangis sesegukan tanpa mengangkat kepalanya yang tenggelam di leher Viny.

Viny tertawa lalu mencium pipi Cindy beberapa kali. Bertemu dengan Cindy adalah salah satu keinginan besarnya, selama ini Viny hanya bisa menahan kegemasannya melihat tingkah Cindy lewat layar ponsel. Sekarang, akhirnya ia bisa memeluk keponakan satu-satunya itu. "Kamu cantik banget, Cindy. Tante pangling."

"Tante Viny juga cantik." Cindy mengangkat kepalanya menatap Viny lalu mencium pipinya. "Tante mau nikah? Mama sama Bunda gak nikah."

Viny tak menjawab. Ia malah mengeratkan pelukannya pada Cindy tanpa memperdulikan semua orang yang tengah memusatkan perhatian kepadanya. Matanya kini beralih menatap Shani yang juga sedang menatapnya dengan mata berkaca, siap meneteskan kembali airmatanya.

"Ikut aku," lirih Shani mengalah pada egonya. Saat ini yang ia butuhkan hanya Viny, ia ingin bahagia dalam pelukan orang yang ia cintai. "Aku mohon, kak."

Alis Viny bertautan menahan sesak di dadanya mendengar permohonan Shani. Tanpa berpikir lagi, Viny mengangguk lalu menggenggam tangan Shani.

"Viny," seru Marissa membulatkan matanya melihat Viny menggenggam tangan Shani begitu erat. Akhirnya Marissa bisa melihat cinta lewat tatapan Viny, tapi cinta itu sudah jelas bukan untuk pemuda yang sudah ia jodohkan dengan Viny.

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang