16

4.4K 480 21
                                    

"Ini udah malem, kamu mau ngajak aku ke mana?" tanya Kinal mengikuti langkah Veranda menyelusuri jalan setapak yang tak tersentuh oleh aspal ini. Tumbuhan liar sesekali menghalangi jalannya.

Veranda tidak menjawab. Ia masih terus berjalan dengan nafas yang memburu terlihat sedang menahan emosi, tatapannya berapi-api entah apa sebabnya. Kinal sendiri masih tidak berhenti memandang takut ke sekeliling. Angin kencang berembus keras, menyisir setiap ujung daun hingga menciptakan suara yang sangat riuh.

Malam ini entah mengapa seakan tak ada makhluk hidup di sekeliling. Kinal memandang takut pohon beringin tua di ujung yang terlihat mengerikan ditimpa cahaya redup sang bulan. Dahan dahannya yang rimbun nampak seperti sarang makhluk gaib. Bulukuduk Kinal tiba-tiba saja meremang dibuatnya.

"A-aku takut, Ve. Aku mau pulang." Getaran terdengar jelas di nada suara yang Kinal keluarkan. Ia memeluk erat tubuh Veranda dari belakang, menyembunyikan wajahnya di leher Veranda yang tertutup oleh helaian rambutnya.

"Kita gak akan pernah pulang!" Veranda berbalik hingga pelukan Kinal terlepas begitu saja. Tatapannya meruncing menatap Kinal. "Kita bakal pergi jauh dari keluarga kita!"

"Ngga." Kinal menggeleng pelan dan perlahan mundur, "Mamaaaa!!!" teriakannya lepas, memecah keheningan malam.

"Viny sama Shani tau hubungan kita, Nal! Mereka bakal ngaduin kita ke orangtua. Kita bakal diusir!" teriak Veranda terdengar sangat frustasi. Ia mengusap wajahnya bersama dengan embusan nafas kasar yang lolos dari bibirnya.

"Apa?" Kinal mengernyitkan dahinya menatap Veranda tidak percaya, "Mana bisa?!"

"Kita ciuman di ruang TV, mereka liat kita."

"Terus gimana?!" tanya Kinal panik menggigit bibir bawahnya sendiri karena takut saat membayangkan amarah besar Marissa.

"Kita tinggalin mereka, hidup sama aku." Veranda menggenggam kedua tangan Kinal, menatapnya dengan penuh harap.

Kinal menggeleng mantap, "Aku gak bisa," ucapnya menarik tangan Veranda untuk berjalan ke arah Villa, "Kita pulang."

"Ngga!" Veranda menepis kasar tangan Kinal, "Aku cinta sama kamu. Aku gak mau pisah!"

"Cinta itu menyatukan bukan memisahkan. Kalo kita pergi, itu artinya kita misahin orang tua dari anaknya dan adik dari kakaknya," Kinal menghela napas berusaha untuk tenang kemudian menggenggam erat tangan Veranda, "kita ke sana dan kita omongin baik-baik sama mereka kalo kita emang saling mencintai."

"Gimana kalo kita dipisahin?" Veranda menunduk menyembunyikan genangan air di pelupuk matanya.

Kinal meraih tengkuk Veranda lalu mencium lembut dahinya selama beberapa detik seakan menunjukan bahwa ia tidak akan meninggalkan Veranda sedikitpun. Veranda hanya memejamkan matanya menikmati ketenangan yang Kinal berikan saat ini.

Setelah menenangkan Veranda, Kinal memutar langkahnya kembali ke Villa. Sepanjang perjalanan, kini giliran Veranda menenangkan Kinal yang masih ketakutan ketika melewati tempat-tempat gelap atau tempat yang terdapat pohon besar menjulang tinggi. Kinal selalu tersugesti oleh ketakutannya sendiri dan membayangkan bahwa di pohon itu banyak kuntilanak atau genderewo yang berkeliaran.

Ternyata suasana menegangkan selama diperjalanan tidak seberapa. Kinal lebih ketakutan lagi saat melihat Fauzi berdiri di depan pintu dengan tatapan yang sangat tajam. Semua nyali Kinal yang ingin menunjukan rasa cintanya pada Veranda di depan semua keluarga perlahan lenyap begitu saja. Ia malah bersembunyi dibalik punggung Veranda.

"Dari mana kalian?!" tanya Fauzi membentak keras.

"Kinal mau ngomong sesuatu sama Papa."

Tubuh Kinal menegang. Keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya. Kaki dan tangannya bergetar hebat tidak punya keberanian sedikitpun untuk menatap mata Fauzi. Ini lebih sulit dari apa yang ia bayangkan sebelumnya.

CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang