Cinta

By iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
18
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
31
32
33
34
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
43
Kebahagiaan VeNal
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Akhir Dari Semuanya?
Akhir Cerita

Keputusan akhir

5.2K 618 234
By iiaMlk

Veranda membuka pintu kamar Shani dengan hati-hati karena takut mengganggu Shani yang mungkin saja tidur mengingat jam sudah menunjukan pukul dua pagi. Dugaannya salah, Shani ternyata sedang duduk di kasur dengan pandangan lurus pada layar televisi miliknya. Mata itu terlihat kosong, pipinya yang basah pertanda gadis itu belum berhenti menangis.

"Kamu belum tidur?" tanya Veranda seakan tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Shani. Veranda duduk di samping Shani lalu menangkupkan satu tangannya di atas punggung tangan Shani tetapi dengan cepat ditepis. Hati Veranda mencelos melihat sikap Shani. Setelah tidak bertemu selama bertahun-tahun, bukan ini sikap yang inginkan dari Shani.

"Aku pengen sendiri, kak. Maaf," ucap Shani menyadari sikapnya itu menyakiti Veranda.

"Liat aku." Veranda menarik dagu Shani agar menatap ke arahnya. Ibu jarinya dengan lembut mengusap pipi Shani diikuti oleh gerakan bibirnya yang mendarat lembut di dahi Shani. "Jangan bersikap kaya gini, aku gak mau kehilangan adik aku sendiri."

"Maaf." Hanya itu yang Shani ucapkan, matanya masih kosong meski tatapannya tertuju pada bola mata Veranda.

Sekali lagi, Veranda mencium dahi Shani kemudian menarik tubuh ringkih adiknya itu kedalam pelukannya. Tanpa sadar setetes airmata meluncur dari pipinya ketika menyadari tubuh ini sudah semakin kurus. "Maaf aku selama ini kurang merhatiin kamu, aku gak bisa jadi kakak yang baik buat kamu, aku gagal ngejaga kamu. Maafin aku."

Shani hanya diam tanpa membalas pelukan Veranda. Bukan tidak ingin, hanya saja tubuhnya terlalu lemas hingga membalas pelukanpun rasanya sulit.

"Aku udah pergi bertahun-tahun, ninggalin kamu sendiri dengan keadaan kamu yang jauh dari kata baik. Maaf." Veranda mengeratkan pelukannya dengan wajah yang tenggelam di caruk leher Shani. "Maaf."

"Aku gak punya kakak. Kamu bisa pergi lagi selama apapun yang kamu mau tanpa harus peduliin keadaan aku. Aku udah biasa sendiri." Shani mendorong pelan tubuh Veranda dari pelukannya kemudian membaringkan tubuh dengan posisi membelakangi Veranda.

"Aku mohon, jangan gini." Veranda berusaha menggenggam tangan Shani tetapi lagi-lagi ditepis.

"Pergi, kak!" Suara Shani sudah bergetar pertanda rasa sesak sudah menggumpal di dadanya. Matanya terasa sangat perih.

"Aku mau tidur sama kamu ya? Jangan nangis, aku sekarang ada sama kamu." Veranda menggenggam tangan Shani untuk kesekian kalinya.

"Aku mohon, kak Ve pergi." Shani menatap Veranda, membiarkan Veranda melihat air matanya yang baru saja turun. "Maaf, pergi."

Veranda memilih untuk mengalah dan turun dari kasur Shani. Sebelum melangkah, ia melirik punggung Shani yang bergetar hebat diiringi oleh isak tangisnya. Veranda menggeleng pelan kemudian berjalan cepat meninggalkan kamar itu. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain mendengar tangisan orang yang sangat ia sayangi.

***

Keadaan rumah dibuat tegang pagi hari ini karena Veranda yang tiba-tiba merububah keputusan Shani.

"Kamu yakin, Ve? Kamu tau 'kan kamu akan Papa jodohkan setelah pernikahan Shani dan Viny?" tanya Fauzi yang sedang duduk, menatap pada putri sulungnya itu.

Kinal memejamkan mata dengan tangan yang dikepalkan kuat berusaha menahan tangisannya yang timbul dari sesak di dadanya. Pertanyaan itu nyaris membuat nafasnya hilang.

"I-iya." Sama seperti Kinal, Veranda berusaha tegar di atas keputusannya sendiri. Setelah melihat kondisi Viny dan Shani semalam, sepertinya ini keputusan paling tepat. Menurutnya, mereka berhak bahagia.

"Oke, seminggu lagi kita berangkat buat pernikahan Viny dan Shani. Mereka menikah tanpa perayaan apapun dan setelah menikah, mereka harus tinggal di Jakarta."

"Keputusan gak semua ada di tangan kamu, Fauzi," timpal Marissa yang sedikit tidak setuju dengan keputusan Fauzi. "Viny dan Shani tinggal di Istanbul sama aku."

"Kalau begitu, Veranda dan Cindy di sini."

Kinal langsung membuka matanya mendengar keputusan itu kemudian berdiri, "Mungkin Om punya hak buat misahin Veranda sama aku tapi om sama sekali gak punya hak sedikitpun buat misahin aku sama anak aku sendiri!" ucapnya tegas dengan nafas terengah-engah, dadanya naik turun sementara matanya memerah. "Cindy ikut aku ke Istanbul!"

"Sebaiknya ini ditentukan setelah pernikahan Viny dan Shani. Keputusan ada di Cindy, dia mau ikut Bunda atau Mamanya," balas Fauzi santai karena tidak ingin memancing emosi Kinal.

Kinal tidak menjawab dan langsung berjalan ke arah taman belakang karena tau Cindy sedang bermain bersama pamannya di sana.

"Mama!! Cindy bisa main bola!" Dengan wajah angkuh, Cindy menendang bola yang ada dihadapannya ke arah Gio.
Gio bersorak, "Yeay! Pinter keponakan Om!!" Gio merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan dengan cepat Cindy berlari ke arahnya lalu memeluknya erat. Gio memutar tubuhnya hingga tubuh Cindypun ikut berputar, tawa Cindy langsung pecah.

Tawa Gio perlahan pudar ketika menangkap kekosongan dari mata Kinal. Dari tatapan itu, ia bisa menangkap apa yang sudah terjadi dan bagaimana perasaan Kinal sekarang. Dengan santai Gio berjalan mendekati Kinal.

"Mama!!" Cindy tersenyum lebar dan buru-buru merentangkan kedua tangannya meminta untuk digendong.

"Peri kecil Mama." Kinal menarik lembut tubuh Cindy kemudian memeluknya erat. Wajahnya ia tenggelamkan di bahu mungil Cindy, ia tidak ingin membayangkan jika pelukan ini pergi juga dari kehidupannya.

Gio mengusap puncak kepala Kinal lalu menciumnya lembut, "Masih ada aku, kita tinggal di Istanbul ya?"

"Cindy anak aku, Gio. Dia peri kecil aku." Kinal mengeratkan pelukannya kemudian memejamkan mata ketika merasakan pipinya mulai basah. "Dia harus terus sama aku."

"Iya, Cindy ikut kita ke Istanbul. Udah, jangan nangis ya." Gio terus mengusap puncak kepala Kinal. Miris memang, saat bahagia melihat Viny bisa menggenggam kebahagiaannya, hatinya juga sakit melihat Kinal yang harus melepas kebahagiaannya. Gio ingin kedua adiknya itu bisa bahagia dalam waktu yang bersamaan, tetapi ia juga sadar itu tidak mungkin karena kerasnya Fauzi tidak akan pernah bisa dipecahkan lagi untuk kedua kalinya.

"Istan apa, Om?" tanya Cindy menegakan kepala yang sebelumnya bersandar di bahu Kinal untuk menatap Gio. Namun perhatiannya teralihkan oleh Veranda yang baru saja datang. "Aku mau digendong Bundaa."

"Sini, sayang." Veranda mengayunkan kedua tangannya berniat untuk menggendong putrinya. Namun dengan cepat Kinal menjauhkan Cindy darinya. "Kinal?"

"Beli es krim sama Mama ya?" Kinal menghapus air matanya lalu menatap Cindy.

Cindy terdiam melihat pipi Kinal basah. Secara spontan tangan mungilnya terayun, mengusap lembut pipi Kinal. "Mama jangan nangis, ayo beli es krim sama aku," ucapnya seraya kembali memeluk leher Kinal.
Kinal mengangguk, mencium lembut pipi Cindy lalu mengayunkan langkahnya.

"Kinal," panggil Veranda bingung melihat sikap Kinal.

"Aku cuma mau beli es krim, Ve. Kamu siap-siap ya? Aku mau ngajak kamu jalan jam dua." Kinal menjawab tanpa menghentikan langkahnya yang kian menjauh dari jangkauan Veranda.

****

"Sehari ini, waktu kamu buat aku ya?" Kinal menggenggam erat tangan Veranda sambil berjalan menyelusuri bukit, tempat pertama kali ia mengajak Veranda pergi dan di sini juga awal mula rasa itu muncul.

"Iya." Veranda tersenyum meski dadanya sudah mulai sesak mengingat ini terakhir kalinya ia menghabiskan waktu bersama Kinal.

"Dulu kita ke sini ngumpet-ngumpet dari Viny sama Shani ya?" Kinal tertawa kecil, memutar memorinya pada kejadian beberapa tahun lalu. "Dulu aku gugup banget pegang tangan kamu."

"Sekarang udah berani megang segalanya ya?" Veranda melemparkan candaan diiringi oleh tawanya.

"Iyaa." Tawa Kinal semakin keras sampai tak sadar langkahnya sudah sampai di puncak bukit.

Kinal melepaskan genggamannya kemudian menggelar tikar, untung saja sore ini udara tidak terlalu panas. Setelah itu, tugas diambil alih oleh Veranda yang tengah merapikan beberapa makanan dan minuman di sana.

"Wuih makanan apa nih Bunda?" tanya Kinal sambil menggosok-gosokan kedua telepak tangannya.

"Tadi pagi Mama sama Mama Marissa bikin ini buat Cindy. Kayanya enak." Veranda mengambil satu potong kue itu kemudian diberikan pada Kinal. Dengan lahap Kinal memakan kue itu lalu mengangguk-anggukan kepalanya.

"Selalu enak kalo disuapin sama kamu," komentarnya sambil mengambil satu potong lagi dan dimasukan ke dalam mulutnya. "Tuh 'kan, dari tangan aku biasa aja rasanya."

Veranda tertawa kecil lalu mengacak gemas poni Kinal yang sudah mulai panjang, "Lucu banget sih."

"Aku ikut Mama sama Viny ke Istanbul. Perusahaan aku sama kebun di kampung, kamu yang urus ya. Jangan lupa uang bulanan buat Pantinya Ibu." Kinal kembali melahap satu kue tanpa sadar air muka Veranda berubah dalam sekejap karena pembahasannya.

"Kenapa? Itu punya kamu," jawab Veranda. Wajahnya ia palingkan sebentar ke arah lain untuk menarik napas dalam dan diembuskan perlahan. Untuk detik ini saja ia berharap air matanya tak turun meski ke depannya ia harus mulai terbiasa melihat tangisannya sendiri.

Kinal meneguk air mineral untuk melegakan tenggorokannya lalu menatap wajah samping Veranda. Ia tersenyum, "Siapa yang tanda tangan surat kepemilikan semua aset aku waktu itu?"

"Aku," jawab Veranda dengan nafas yang mulai berat kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Kinal, "tapi itu bukan berarti semua harta kamu jadi milik aku. Itu hasil keringat kamu, Kinal. Aku gak berhak."

"Itu punya kamu. Aku mau berusaha selama ini karena kamu. Aku kerja keras dapetin itu semua buat kamu." Kinal menggenggam tangan Veranda erat, "Kalo alasan dari semua usaha aku selama ini lepas dari genggaman aku, terus apa alasan aku masih pegang hasil dari usaha itu? Kamu tau itu keringat aku, jadi aku mohon terima. Seenggaknya masih tersisa sesuatu dari aku yang bisa kamu genggam, meskipun hanya keringat."

"Ma-makasih." Veranda menggigit bibir bawahnya berusaha menahan air mata itu tanpa bisa berkata-kata lagi.

Kinal menarik tangan Veranda untuk berdiri, "Ayo, kita jalan-jalan."

Meski hari sudah sore, di sini masih ada beberapa orang yang berlalu lalang menikmati pemandangan indah di sekeliling, mereka sepertinya tak ingin melewatkan kesempatan untuk melihat senja di tempat itu.

"Loh, sejak kapan ada ayunan?" Kinal berlari kecil menghampiri ayunan yang tergantung di pohon berukuran cukup besar itu. "Kamu mau naik?" tanyanya pada Veranda.

"Boleh." Veranda duduk di ayunan itu. Sementara Kinal mulai menggoyangkan ayunannya dari belakang. Veranda tertawa kecil saat Kinal mempercepat gerakannya hingga tubuhnya ikut terayun seakan tengah menantang angin yang berembus keras sore ini. "Aaaak Kinal!!" teriaknya.

Kinal tertawa dan buru-buru menghentikan ayunan itu karena khawatir Veranda akan jatuh. Ia mulai melajukan ayunannya dengan pelan. "Gini ya?"

Veranda mengangguk, "Iyaaa."

"Sebelum sama aku, dulu kamu pernah pacaran gak?" tanya Kinal membuka pembicaraan agar waktu yang semakin terkikis ini tidak berlalu dengan sia-sia.

Tanpa berpikir, Veranda langsung menjawab, "Ngga. Aku sama Shani itu emang susah buka hati buat cowok, seganteng apapun itu. Dulu aku gak tau apa alasannya, tapi sekarang aku tau."

"Apa?" Kinal menghentikan gerakannya.

"Karna aku tau akan dateng satu orang perempuan yang bisa mencintai aku dengan sangat hebat." Veranda tersenyum lalu menggenggam tangan Kinal yang baru saja melingkar di lehernya diikuti satu kecupan lembut di puncak kepalanya. "Kayanya gak akan ada lagi orang seberuntung aku yang bisa dicintai dengan hebat oleh orang sehebat kamu."

"Ada dong."

"Siapa?"

"Aku." Kinal tertawa sambil mengeratkan pelukannya di leher Veranda, dagunya masih bersandar nyaman di puncak kepala Veranda. "Aku juga dicintai oleh orang hebat."

"Kamu bahagia?"

"Aku bahagia sejak pertama kali aku kenal kamu."

"Akan selalu bahagia?"

Kinal menggenggam tangan Veranda dari belakang, "Kamu pegang hati dan kebahagiaan aku dalam genggaman kamu. Saat kamu melangkah pergi, kamu jauh lebih tau apa yang akan aku rasakan setelah itu."

***

Setelah berkeliling seharian, menikmati pemandangan dan melemparkan canda tawa, akhirnya mereka berdua kembali beristirahat di atas tikarnya.
Hari sudah malam, untung saja ada lampu taman di sekeliling yang sedikitnya mampu mengusir kegelapan. Kinal dari tadi tak bicara, ia sibuk memandangi langit dengan posisi terbaring, kedua tangannya ia jadikan bandal. Entah kenapa hari ini waktu berjalan sangat cepat, padahal ia tidak ingin hari ini cepat berakhir.

"Udah sepi." Veranda membuka jaketnya lalu diselimutkan pada Kinal. Ia mengusap lembut dahi Kinal kemudian menciumnya singkat. "Kapan pulang?"

"Kenapa cepet banget hari ini?" Kinal menghela napas kasar lalu menatap Veranda yang duduk di sampingnya.

"Kita terlalu betah makanya ngerasa waktu berjalan cepat. Kapan-kapan kita ke sini lagi ya?" Veranda tersenyum hangat, tangannya masih membelai lembut dahi Kinal.

"Kapan?" Kinal tertawa miris, menyadari setelah ini tidak akan ada lagi kebersamaan yang bisa ia ciptakan karena perpisahan sudah ada di depan matanya. Jangankan untuk bersama, ia tak yakin bisa diberi kesempatan untuk kembali melihat Veranda dan merasakan hangat tubuhnya.

Kinal bangkit untuk duduk dan menyimpan jaket yang baru saja menyelimutinya di atas pundak Veranda. Ia meremas wajah lelahnya sedikit kasar diikuti oleh embusan nafas panjangnya.

"Kamu ngerasa perjuangan kamu selama ini sia-sia gak?" tanya Veranda menunduk dalam, bibir bawahnya ia gigit cukup keras. Lagi, ia harus menahan airmatanya.

"Kenapa harus sia-sia, Ve?" Kinal menarik lembut tubuh Veranda agar bersandar di bahunya, ia mencium puncak kepala Veranda cukup lama dengan mata terpejam. Akhirnya cairan yang sudah sekuat tenaga ia tahan itu jatuh membelai rambut Veranda. Kinal menghapus air matanya lalu menarik napas dalam dan diembuskan perlahan berusaha untuk tetap tenang.

"Kamu udah berjuang banyak buat aku, kamu sekolahin aku sampai aku dapet gelar sarjana. Bahkan dulu kamu sering nahan laper karna uang kamu cuma cukup buat beli makan satu bungkus."

Kinal malah tertawa lalu menggeleng pelan, "Itu tanggung jawab aku bukan sebuah perjuangan. Kamu terlalu berlebihan menanggapi semua yang aku lakuin."

"Makasih, Nal." Veranda memeluk erat tubuh Kinal dari samping. Ia bisa mendengar deru nafas Kinal mulai tersenggal dan kasar pertanda Kinal sedang berusaha menahan sesuatu dalam dadanya.

"Aku selama ini terlalu angkuh. Aku pikir kamu yang selama ini aku genggam erat akan jadi milik aku selamanya tapi ternyata kamu akan berakhir dalam genggaman orang lain." Kinal tersenyum getir meratapi nasibnya setelah ini.

"Kinal, jangan." Veranda mempererat pelukannya lalu menggeleng pelan tidak ingin Kinal membahas hal itu karena ia tau hati Kinal akan hancur, pun dengan hatinya.

"Ngga, Ve." Kinal melepaskan pelukannya kemudian merubah posisi menghadap Veranda. Ia menggengam erat tangan Veranda lalu mencium punggung tangannya satu persatu. "Kamu harus selalu bahagia."

Veranda menggeleng pelan dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca, "Kasih tau aku gimana caranya bahagia tanpa kamu?"

Kinal tersenyum lalu mengusap lembut pipi Veranda, "Kita udah ngelewatin banyak hal selama ini. Kamu bisa muter memori itu dalam ingatan kamu dan aku yakin sedikitnya itu bisa ngasih kamu kebahagiaan."

Air mata itu benar-benar menetes dari mata Veranda ketika melihat bagaimana Kinal berusaha membuatnya yakin bahwa ia bisa bahagia ke depannya. "Aku-"

"-Kita bakal sering ketemu dalam mimpi, kamu harus banyak tidur biar bisa ketemu sama aku." Kinal tertawa kecil meski air matanya sudah turun, menyusul air mata Veranda. Ia kembali mencium punggung tangan Veranda kemudian bertahan dalam posisi itu selama beberapa detik. Kinal terdiam, disadarkan oleh kenyataan bahwa sebentar lagi tangan ini bukan lagi jadi miliknya, mata indah itu bukan lagi jadi pandangannya, tubuh itu bukan lagi jadi peluknya.

Tangan Veranda bergetar saat melihat punggung Kinal bergetar pertanda gadis itu sudah mulai menangis. Ia mengangkat lembut kepala Kinal yang menunduk kemudian menarik tubuh itu ke dalam pelukannya. "Jangan bikin aku lemah dengan air mata kamu."

Kinal mengangguk pelan kemudian menghapus air matanya, "A-aku gak nangis."

"Aku akan selalu cinta kamu, Nal." Keadaan berbalik, Veranda terisak keras dalam pelukan Kinal. Dadanya terasa sangat sesak, ia bahkan sampai membuka mulut untuk mengirup oksigen ke dalam paru-parunya.

"Aku tau, sayang." Kinal mengusap lembut rambut Veranda kemudian mencium pipinya. "Aku minta satu sama kamu."

"Apa?"

"Aku rela sujud buat ini." Kinal berniat melepaskan pelukannya tetapi Veranda malah semakin mengeratkan sampai ia tidak bisa berkutik.

"Ngga." Hanya itu yang Veranda ucapkan, ia masih terisak.

"Aku minta Cindy, aku bisa mati kalo kehilangan kalian berdua dalam waktu yang bersamaan." Kinal tidak bisa lagi menahan air mata saat nama putrinya itu ia sebut. Sampai kapanpun, ia tidak akan pernah bisa rela melepas peri kecil kesayangannya itu. "Semua aset aku bahkan kebun di kampung itu udah atas nama kamu 'kan? Aku mohon, aku cuma minta Cindy."

Veranda langsung melepaskan pelukannya, "Terus aku sama siapa?!" tanyanya sedikit histeris mendengar permintaan Kinal. Tatapannya tiba-tiba saja tajam, tidak terima jika ia harus berpisah juga dengan Cindy.

Kinal menunduk tidak ingin melihat tatapan tajam Veranda. Tiba-tiba saja air matanya jatuh dan menderas dalam hitungan detik. Sepasang tangannya ia rapatkan berusaha memohon pada Veranda. "Aku mohon, aku gak akan bisa bertahan lebih lama lagi tanpa kalian. Seenggaknya Cindy ada sama aku meskipun kamu udah gak bisa aku miliki. Aku bisa mati, Veranda. Aku mati." Pertahanan Kinal roboh, ia menangis cukup keras.

"Aku gak butuh semua harta kamu. Ambil itu tapi jangan ambil Cindy dari aku." Veranda memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak ingin sakitnya bertambah karena melihat tangisan Kinal.

"Itu semua hasil jerih payah aku sendiri dan itu buat kamu. Tapi Cindy anak aku, Veranda. Aku mohon, aku gak bisa kehilangan kalian dalam waktu bersamaan. Kalo kamu ambil Cindy, kamu ambil nafas aku."

"Cindy juga anak aku, Kinal." Veranda kembali menatap Kinal kemudian menangkupkan sepasang tangan di pipinya, "Keputusan ada di tangan dia. Itu lebih adil."

***

Tak terasa seminggu berlalu setelah pernikahan Shani dan Viny yang digelar di Negara asing. Awalnya mereka menolak untuk menikah dengan alasan tidak ingin membuat kedua kakaknya menderita karena perpisahan. Namun setelah mendapat keyakinan dari Veranda dan Kinal, akhirnya mereka bersedia untuk menikah, karena ini juga salah satu impian mereka berdua.

"Aku masih gak nyangka," ucap Viny dengan tatapan lurus ke depan. Di sana, ia bisa melihat laut yang indah. Ombak yang menghantam pinggiran pantai, juga embusan angin yang membelai tubuhnya benar-benar memberikannya ketenangan. Apalagi di sampingnya saat ini, berdiri seorang gadis yang sangat ia cintai.

"Aku juga gak nyangka bisa nikah sama kamu." Berbeda dengan Viny, Shani lebih memilih memandangi wajah samping Viny. Menurutnya, tidak ada yang lebih menenangkan selain melihat wajah itu.

"Apa kita siap?" Nada suara Viny tiba-tiba saja berubah menjadi sendu ketika mengingat apa yang nanti akan terjadi pada kedua kakaknya.

"Kita udah coba ngalah, kita udah berusaha dan kalo akhirnya mereka yang harus pisah, kita bisa apa?"

Viny memiringkan posisi tubuhnya menghadap Shani, "Kita gak bisa apa-apa sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik.

Shani maju satu langkah, menarik Viny ke dalam pelukannya. Mata Shani terpejam, menikmati ketenangan yang meresap ke dalam dadanya karena pelukan ini. Shani juga yakin, Viny merasakan hal yang sama.

"Kak Ve bakal dapet pengganti kak Kinal, Papa gak mungkin pilih suami yang buruk buat kak Ve. Kak Kinal masih punya kita berdua dan nanti kak Kinal juga pasti ketemu sama orang yang bisa bikin dia bahagia." Shani mengusap lembut punggung Viny yang sedikit bergetar. Mau bagaimanapun, ia tidak bisa menampik kesedihan dalam hatinya melihat kondisi kedua kakaknya yang tak baik semenjak pernikahannya berlangsung.

"Iya." Viny menyeka setetes air mata yang tiba-tiba saja meluncur melewati pipinya. Ia melepaskan pelukan itu kemudian menggenggam erat tangan Shani, "Sekarang, udah gak ada lagi yang bisa pisahin kita."

Shani tersenyum lalu mengangguk pelan, "Iya, kak. Aku pengen ngangkat anak juga, jadi nanti kalo kamu kerja, aku gak sendiri."

"Dua ya?" Viny terkekeh pelan.

"Tiga." Shani mengacungkan tiga jarinya kemudian tertawa. Kali ini, harapannya bukan hanya angan-angan yang tak tau kapan akan terwujud, Viny ada dihadapannya bahkan akan selalu ada dalam pelukannya. Gadis yang sangat ia cintai melebihi apapun, tidak akan pernah lagi melangkah pergi meninggalkannya.

"Makasih buat kesabaran kamu selama ini nunggu aku. Aku beruntung dicintai sama orang sekuat kamu. Aku cinta kamu." Viny memberikan senyuman manisnya dengan mata berkaca karena haru dan tak menyangka statusnya kini sudah berubah.

"Aku juga cinta kamu." Shani mencium lembut bibir Viny dan kembali menarik tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya. Entah kenapa, tak ada rasa bosan sedikitpun untuk memeluk Viny meski sudah seminggu penuh, ia berada dalam dekapan Viny.

"Kita harus siap-siap sekarang, Shan," ucap Viny seraya melingkarkan kedua tangannya di pinggang Shani. "Kita akan tinggal di rumah baru."

"Serumah sama Mama, Oma dan kak Kinal?"

"Keberatan ya? Aku bisa beli rumah baru."

"Gapapa tapi kalo kita punya anak, aku pengen punya rumah sendiri ya kak?"

"Iya, aku cari uang yang banyak biar bisa beli rumah buat kamu." Satu kecupan, Viny daratkan di pipi Shani.

Shani mengangguk pelan dan semakin mengeratkan pelukannya, "Cindy ikut kita atau kak Ve?"
"Aku harap ikut kita, aku gak bisa ngebayangin gimana Kinal tanpa Cindy."

***

"Kita pisah di sini aja ya? Aku, Viny, Shani, Kinal sama Cindy langsung ke Istanbul," ucap Marissa pada Fauzi.

Fauzi hanya mengangguk pelan tanpa menjawab apapun. Tangan kirinya menarik koper, sedangkan tangan kanannya digenggam erat oleh cucu kesayangannya, Cindy.

"Kamu nanti kakek beliin boneka yang banyak ya?" Fauzi menunduk sejenak, ingin melihat respon Cindy. Seutas senyum mengembang di sudut bibirnya ketika melihat Cindy mengangguk semangat dengan kedua kaki yang diloncatkan karena antusias. "Kakek bakal beliin kamu sepeda juga, terus beli coklat dan apapun yang kamu mau."

Kinal bisa mendengar ucapan Fauzi dengan sangat jelas. Ia segera berjalan untuk menghalangi langkah Cimdy lalu duduk berlutut, menyeimbangkan tubuhnya dengan Cindy. "Mama gendong ya?"

Cindy menggeleng pelan, "Ngga, aku mau sama kakek aja."

Jantung Kinal nyaris kehilangan detakannya mendengar jawaban Cindy. Ia mengangkat kepalanya menatap Veranda seolah bertanya kenapa Cindy tidak ingin digendong, sebelumnya Cindy selalu senang jika ia gendong. Namun Veranda hanya menggeleng pelan menjawabnya.

"Mama gendong. Bentar lagi kita naik pesawat." Kinal tersenyum lebar kemudian memaksakan kehendaknya dengan menggendong Cindy. Tentu saja Cindy langsung memberontak, menendang-nendangkan kakinya.

"Bunda!!" Cindy menangis keras.

"Nal, jangan kasar gitu," ujar Veranda sambil mengayunkan kedua tangannya untuk menggendong Cindy. "Sini Cindynya."

Kinal menggeleng pelan dan malah mempererat pelukannya, "Cindy sama aku, Ve." Kinal membalikan tubuhnya, berjalan terlebih dahulu meninggalkan keluarganya. "Jangan nangis, dek. Mama sama kamu," ucapnya sedikit bergetar karena tiba-tiba saja dadanya terasa sangat sesak.

"Aku mau sama Bunda, sama kakek!!" Cindy menjerit histeris, terus berusaha melepaskan diri dari Kinal.

"Kamu ikut Mama ke rumah Oma, ya? Ikut Mama, dek." Kinal mencium pipi Cindy berkali-kali, pelukannya terus ia eratkan.

"Bunda!!!"

Veranda melepaskan kopernya lalu berlari cepat menyusul Kinal yang sepertinya malah berusaha menjauh darinya. "Kinal, aku mohon." Setelah berhasil menyusul langkah Kinal, Veranda langsung menghalangi jalan Kinal dengan berdiri di hadapannya. "Cindy pengen sama aku."

"A-aku sama siapa?" Kinal menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tangisannya agar tidak pecah meski dadanya sudah terasa sangat sesak, ia sulit untuk bernafas. "Cindy anak aku, Ve."

"Dia juga anak aku." Batin Veranda tertekan melihat wajah pucat, juga mata Kinal yang sangat merah. Namun mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa berpisah dengan Cindy, apalagi Cindy ingin tinggal bersamanya.

"Aku mohon, jangan pisahin aku sama Cindy." Kinal mencium pipi Cindy lalu menenggelamkan wajah di bahu mungilnya. Tak lama, punggungnya bergetar pertanda semua tangisannya mulai pecah. "A-aku mohon."

"Bunda!! Aku mau sama Bunda!!" Tenaga Kinal yang semakin lemah, membuat Cindy berhasil terlepas dari pelukannya. Cindy langsung meloncat ke dalam pelukan Veranda.

Tanpa sadar, pipi Veranda sudah sangat basah melihat tangisan Kinal. Hatinya terasa sangat ngilu, bahkan sakit. Tangisan itu seakan melumpuhkan seluruh sendi yang ada di tubuhnya hingga tubuhnya tiba-tiba saja lemas, seluruh tenaganya terserap keluar.

Kinal mengangkat wajahnya kembali lalu menghapus kasar air matanya, meski cairan itu tak bisa berhenti mengalir. Ia mengusap lembut kepala belakang Cindy yang tenggelam di caruk leher Veranda, "Dek, ayo pesawat kita bentar lagi berangkat. Pesawat Bunda masih satu jam lagi."

Cindy menggeleng kuat dan malah menepis tangan Kinal, "Aku gak mau! Mama jahat! Aku mau sama Bunda!!"

"Nanti Mama sama siapa?"

"Kinal," seru Veranda pelan karena tak sanggup melihat air mata yang mengalir semakin deras dari mata Kinal. Ia bisa melihat, tangan yang selama ini menjaganya kini bergetar hebat. "Cukup, ya? Kasian Cindy."

Kinal menatap Veranda dan Cindy secara bergantian. Dua orang yang sangat ia cintai itu kini akan pergi dari kehidupannya, dua bidadari yang menjadi alasan di balik kerja kerasnya selama ini. Kinal mengepalkan tangannya kuat sampai buku-buku jarinya menegang, ia ingin melepaskan rasa sakit yang menusuk kuat ke dalam hatinya. Namun ia tidak mampu, rasa sakit itu kian bertambah.

"Ja-jaga Cindy baik-baik ya?" Kinal mencium kepala belakang Cindy lalu beralih, dengan mencium dahi Veranda. Kali ini ia menyerah, tidak mungkin lagi ia memaksakan kehendaknya pada Cindy. Jika dipaksakan, itu hanya akan membuat Cindy menderita. Kinal kalah, kalah dari segalanya. Kinal berusaha untuk tersenyum, dahinya berkerut, sementara cairan itu masih belum berhenti mengalir.

"Aku cinta kamu." Sama seperti Kinal, air mata Veranda tidak bisa terbendung lagi.

"Kinal, pesawat kita udah mau terbang." Marissa mengusap punggung putri sulungnya yang masih bergetar. "Ve, jaga Cindy ya?"

"Iya, Ma." Veranda memaksakan senyumannya pada Marissa.

"Kak Ve," panggil Shani. "Nanti jenguk aku di Istanbul ya?"

"Pasti, Shan." Veranda tersenyum pada Shani dan Viny yang berdiri sebelahan. Pandangannya kembali ia gusur pada Kinal yang belum berhenti menangis, pandangan Kinal terfokus pada Cindy, dari mata itu Veranda bisa melihat bahwa Kinal masih berharap Cindy mau ikut dengannya. Pikiran Veranda tiba-tiba saja jatuh pada kejadian beberapa tahun lalu, ia masih mengingat bagaimana besarnya kebahagiaan Kinal ketika pertama kali Cindy tinggal bersamanya.

"Dek, liat Mama bentar aja." Kinal menghapus air matanya lalu menarik napas dalam, berharap tangisannya bisa sedikit mereda.

Cindy menurut, mengangkat kepalanya dari leher Veranda untuk melihat Kinal. Kinal tersenyum hangat, bola matanya bergetar siap kembali meneteskan airmatanya.

"Kamu jangan nakal ya?" Kinal membelai pipi Cindy kemudian mengecup lembut dahinya, "Mama sayang kamu."

"Cindy juga sayang Mama."

Air mata Kinal tidak bisa dibendung lagi ketika mendengar jawaban Cindy. "Peluk Mama ya? Abis itu kamu ikut Bunda."

Cindy mengangguk, merentangkan kedua tangannya. Dengan cepat Kinal menarik tubuh Cindy ke dalam pelukannya, ia peluk putrinya itu dengan erat. Tangisannya kembali pecah.

Viny memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak sanggup melihat kakaknya itu. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Meski ia bisa menggenggam kebahagiaan itu sekarang, tetap saja ia memikul kesedihan besar karena rasa sakit yang Kinal terima.

"Mama sayang kamu, de." Suara Kinal semakin bergetar karena tumpang tindih dengan tangisannya, "Mama sayang kamu," ucapnya sekali lagi.

"Kinal? Kita bisa ketinggalan pesawat." Marissa kembali mengingatkan.

"Jangan lupain Mama ya, de? Mama tetep jadi Ibu kamu meskipun nanti, Mama udah gak bisa jaga kamu." Kinal memejamkan matanya, berharap air matanya bisa berhenti mengalir. Namun lagi-lagi ia tidak bisa, sesak di dadanya malah semakin terasa, seakan memukulnya berkali-kali. "Mama sayang sama Cindy, kamu peri kecil kesayangan Mama."

"Mama kenapa nangis lagi?" Cindy memeluk leher Kinal, ikut menangis dalam dekapannya. "Mama jangan nangis, maafin Cindy udah bikin Mama nangis."

"Ngga, Cindy baik, gak bikin Mama nangis." Kinal membuka matanya, menatap Veranda yang baru saja mengusap pipinya. "Aku pergi ya, Ve."

Veranda menggeleng pelan dan langsung memeluk mereka berdua, tangisannya ikut pecah. "Jangan nangis, Kinal! Aku gak bisa liat kamu nangis gini."

Kinal mencium kepala samping Veranda yang terkulai lemas di bahunya, "Aku harap kamu bisa selalu bahagia. Semoga Cindy bisa dapetin Ayah yang baik, yang bisa jaga kalian berdua. Sekarang, tangan aku udah gak mampu jaga kalian, aku cuma bisa berharap yang terbaik. Aku sayang kalian."

TBC

Udah bisa dibaca, vote sama komen gak? Atau masih ilang?

Continue Reading

You'll Also Like

213K 17.6K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
54.5K 5K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinship‼️ ❥Sequel Dream House ❥NOT BXB ⚠️ ❥Baca Dream House terlebih dahulu🐾 Satu atap yang mempe...
590K 28.3K 36
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...