Cinta

By iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
18
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
31
32
33
34
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
43
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Keputusan akhir
Akhir Dari Semuanya?
Akhir Cerita

Kebahagiaan VeNal

5.3K 480 143
By iiaMlk

Empat tahun kemudian

***

Suara tepuk tangan menggema ke seluruh penjuru aula Universitas ini ketika nama Jessica Veranda disebutkan sebagai maha siswi yang lulus dengan nilai terbaik. Veranda berdiri dan melenggang dengan anggunnya ke tempat yang sudah disediakan. Entah kenapa tiba-tiba saja ia merasa gugup melihat semua teman-temannya dan ratusan tamu yang hadir di sini.

Setelah mendapatkan piagam penghargaan, Veranda menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan sebelum akhirnya memberanikan diri untuk memberikan senyuman terbaiknya pada semua orang. Tanpa menunggu waktu lagi, Veranda berpidato mengucapkan terima kasih pada semua dosen yang sudah membantunya selama ini. Mata Veranda tampak berkaca-kaca karena terlalu bahagia, tak menyangka ia akan berdiri sebagai lulusan terbaik Universitas ini.

"Terakhir, saya mau mengucapkan banyak terima kasih untuk dua orang yang udah mau dateng ke sini." Veranda mengalihkan pandangan pada Kinal, satu-satunya orang yang sedari tadi ia perhatikan. "Mereka penyemangat saya, alasan kenapa berusaha untuk jadi yang terbaik dari orang-orang hebat lainnya."

"Bundaaaa!!" teriak Cindy tiba-tiba naik ke atas kursi lalu bertepuk tangan dengan keras. Aksinya itu mengundang perhatian semua orang yang berada di aula ini. Peri kecil yang baru saja masuk TK itu tentu tidak memperdulikan tatapan mereka dan malah meloncat-loncatkan kakinya tanpa takut jatuh. "Tepuk tangan buat Bunda aku!!!" teriaknya keras saat semua orang diam memperhatikannya.

Tanpa diduga, semua orang berdiri kemudian memberikan tepuk tangan yang lebih keras lagi untuk Veranda. Setetes air mata jatuh dari sudut mata Veranda melihat Cindy. Ia membungkukan punggungnya mengucapkan terima kasih pada semuanya lalu turun dari stage, berjalan menghampiri Cindy.

Cindy langsung meloncat ke dalam gendongan Veranda lalu memeluk lehernya dengan erat, "Bunda cantik, Cindy mau ke atas juga."

"Makasih, sayang. Kamu juga cantik." Veranda memberikan piagam itu pada Kinal lalu membalas pelukan Cindy. Beberapa kecupan mendarat di pipi Cindy.

"Kamu kalo mau naik ke atas harus pinter kaya Bunda ya?" ujar Kinal terkekeh pelan melihat tingkah Cindy yang selalu tampak menggemaskan. Matanya bergerak, menatap Veranda yang entah sejak kapan sudah mengunci pandangan ke arahnya. Kinal tersenyum manis lalu mengusap lembut air mata Veranda yang baru saja jatuh, "Selamat, Ve. Aku bangga sama kamu."

"Ini berkat kamu." Veranda menggapai tangan Kinal kemudian mencium telepak tangannya. "I Love You," ucapnya tanpa suara.

Kinal menarik tangannya kemudian memutar bola matanya ke sekeliling memberi tau bahwa beberapa orang masih memandang ke arahnya.

"Aku ke sana dulu, ya." Veranda menurunkan Cindy ke bawah lalu membungkukan punggungnya. "Cindy mau ikut Bunda gak ke sana?"

"Cindy sama aku aja, Ve. Kita tunggu di parkir ya." Kinal memberikan piagam itu kembali pada pemiliknya lalu menggenggam tangan Cindy dan mulai melangkah keluar aula.

"Mama," panggil Cindy mengangkat kepalanya menatap Kinal.

"Iya, dek? Ada apa?" tanya Kinal tanpa mengalihkan pandangan pada laju langkahnya.

"Mama cantik," puji Cindy tersenyum lebar kemudian mengambil langkah tepat di depan Kinal. Sepasang tangannya ia rentangkan lebar-lebar.

"Ah, ini mah pengen digendong makanya bilang cantik." Kinal tertawa kecil sambil menggendong tubuh Cindy yang kian memberat semakin harinya. "Males jalan ya?"

"Jauh." Cindy mencium pipi Kinal lalu memeluk lehernya. "Bunda cantik, Mama cantik, Cindy cantik."

"Iya, dek." Tawa Kinal yang sempat terhenti, kini terdengar lagi karena ucapan Cindy.

Setelah foto bersama dan berpamitan, Veranda langsung meninggalkan aula tanpa mengikuti acara selanjutnya karena sekarang ia harus segera hadir di acara yang tak kalah penting dari acara wisudanya. Mata mengitari parkiran khusus untuk motor, mencari Kinal dan Cindy yang mengatakan akan menunggu di parkiran. Tiba-tiba suara klakson mobil yang sangat bising terdengar diikuti oleh sebuah mobil Honda Brio berhenti tepat di depannya.

"Sialan!" pekik Veranda siap mengeluarkan uratnya. Namun amarahnya tiba-tiba saja lenyap saat melihat kaca mobil itu terbuka dan kepala kecil Cindy menyembul dari dalam sana.

"Bunda kata Mama jangan marah-marah," ucap Cindy tersenyum lebar. Sementara Kinal yang duduk di jok kemudi hanya tertawa melihat wajah bodoh Veranda.

"Cindy? Kinal?!" Veranda masih melongo melihat itu. "Sejak kapan kamu bisa nyetir? Terus ini mobil siapa? Rental di mana?"

"Ck, emak-emak bawel." Kinal membuka pintu samping kemudi dari dalam. "Masuk dulu."

Masih dengan kebingungan yang mengelilingi kepalanya, Veranda masuk ke dalam mobil lalu menoleh ke belakang melihat Cindy yang sudah duduk nyaman dengan ponsel di tangannya. "Kamu beliin Cindy hp?!" Veranda langsung menatap Kinal.

"Itu hp aku, Ve." Kinal malah tertawa melihat mata Veranda melotot, nyaris keluar dari tempatnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala seraya mulai melajukan mobilnya meninggalkan parkiran. "Matanya biasa aja, Bunda."

"Ini mobil siapa, Kinal?!" Veranda masih tidak menurunkan nada suaranya.

"Ini mobil buat kita bertiga. Maaf gak cerita dulu, aku mau ngasih kejutan." Kinal melirik ke arah Veranda yang sepertinya masih terkejut.

"Serius?" tanya Veranda memandangi mobil barunya.

"Iya, Ve. Aku beli yang murah aja gapapa ya? Seenggaknya kalo aku ajak kalian jalan-jalan, kalian gak kepanasan lagi."

"Aku menang, Mama!" Cindy tiba-tiba berdiri kemudian mencium pipi Kinal dari samping.

"Wih, jago yaa." Kinal menatap Cindy sebentar kemudian tersenyum lebar. "Waktu kamu main hp tinggal 20 menit lagi."

Seutas senyum terukir di sudut bibir Veranda. Ia membuka toga yang menutupi kepalanya kemudian ikut mencium pipi Kinal, "Makasih ya, Nal."

Kinal hanya mengusap puncak kepala Veranda tanpa mengucapkan apapun karena perhatiannya kembali dialihkan pada kemudi. Sudah dua bulan ia diam-diam ikut kursus menyetir karena ingin memberikan kejutan untuk Veranda. Bukan hanya mobil, Kinal menyiapkan sesuatu lain untuk Veranda. Semua ini sudah ia rencanakan dari beberapa tahun ke belakang, untung saja recananya sejalan dengan pengasilannya yang semakin bertambah setiap harinya. Bisnis foto boxnya berkembang pesat karena bertambahnya minat anak-anak muda. Kinal bukan hanya memiliki beberapa cabang di Garut, tetapi juga di Tasik, Bandung dan Cianjur. Belum lagi penghasilan dari kebun. Kinal bersyukur, cita-citanya untuk bisa sukses perlahan mulai tercapai.

Tidak menunggu waktu lama, mobil Kinal berhenti tepat di depan sebuah studio yang sepertinya akan menjadi studio foto terbesar di Garut. Kinal bekerja sama dengan beberapa fotografer baru yang keahliannya tidak bisa diragukan lagi.

"Rame banget, Nal," bisik Veranda mulai melangkah mendekati gedung itu. "Aku pake baju ginian lagi."

"Yaelah, gapapa. Lagian gak akan ada yang berani protes liat pakaian kamu," ucap Kinal cuek sambil menggenggam tangan Cindy yang sepertinya hendak berlari ke arah kerumunan orang. "Jangan lari, dek."

"Tau deeeh bosnyaa."

"Bukan cuma aku tau, punya aku cuma 50% kalo foto studio ini."

"Sisanya?"

"Anggara."

"Anggara?!" Lagi-lagi Veranda terpekik. "Anggara calon tunangan Viny itu?"

"Ya siapa lagi." Kinal menaiki tiga anak tangga sambil terus menuntun Cindy. Berjaga-jaga agar Cindy tak segera berlari ke dalam karena di sana banyak sekali orang yang sudah berkumpul ingin menyaksikan launching pertamanya. Kinal hanya takut Cindy hilang.

"Kok bisa sih?"

Kinal tidak menjawab pertanyaan yang ia yakin akan menjadi pembicaraan panjang jika diteruskan. Kinal menyunggingkan seulas senyumnya pada puluhan orang yang sudah duduk di kursi, setengah dari mereka adalah karyawannya di rumah foto box dan sisanya adalah beberapa pelanggan yang kagum pada bisnis Kinal. Lima orang fotografer berdiri di bawah stage, siap mengabadikan moment launching perdana ini lewat sebuah potret.

Kinal mengambil mic yang Cleo berikan kepadanya, "Maaf udah bikin kalian nunggu lama," ucapnya sedikit tak enak.

"Aku mau megang itu juga, Bunda." Cindy meloncat-loncatkan kakinya menunjuk pada mic yang Kinal pegang.

"Iya nanti, jangan berisik ya? Mama mau ngomong tuh." Veranda menggenggam tangan Cindy sambil memberikan senyuman kikuknya pada semua orang yang kini tengah menatap ke arahnya.

"Santai aja ya bahasanya. Pertama, aku mau ngucapin banyak terima kasih buat kalian yang mau hadir di launching ini. Buat Cleo dan teman-temannya juga yang ngebantu saya dari pertama kali Rumah Foto Box cabang satu dibangun sampe sekarang ada empat cabang di Garut dan beberapa cabang kota lain. Ini bukan cuma usaha saya tapi usaha kita semua." Kinal menghentikan ucapannya sebentar ketika mendengar suara tepuk tangan Cleo yang diikuti oleh semua orang di sini.

"Aku juga mau ngucapin banyak terima kasih buat sahabat aku, Veranda." Kinal merangkul pinggang Veranda.

Senyum yang mengembang di bibir Veranda perlahan pudar saat Kinal memperkenalkannya sebagai sahabat di depan semua orang. Ia menatap Kinal yang sedang tersenyum ke arahnya. Veranda menghela napas kasar lalu menunduk, ada kekecewaan yang tiba-tiba saja ia rasakan mendengar itu, meski Veranda memahami tak mudah memang memberitahu semua orang tentang hubungannya yang masih tabu ini.

"Veranda ini sahabat hidup aku." Kinal menggenggam tangan Veranda kemudian mencium lembut punggung tangannya, "Bukan cuma sahabat, tapi juga penyemangat dan sumber kebahagiaan aku."

Veranda mengangkat kepalanya menatap Kinal dengan mata berkaca-kaca. Kinal hanya tersenyum manis tanpa memperdulikan beberapa dari mereka yang menatapnya sedikit bingung. Kinal tidak malu sedikitpun mengakui hubungannya di depan semua orang, menurutnya Veranda adalah kebanggaannya yang harus ia perlihatkan pada semua orang.

"Oke." Kinal melepaskan genggaman pada Veranda dan kembali memusatkan perhatian pada semua orang. "Tujuan aku ngadain launching ini pengen ngasih info dan mungkin bisa dibagiin juga sama jurnalis yang hadir di sini. Jujur aja aku itu cuma lulusan SMP." Kinal menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan berusaha meredakan rasa gugupnya melihat beberapa dari mereka terlihat kaget mendengar ucapannya, kaget karena tak menyangka mungkin pengusaha muda seperti Kinal hanya lulusan SMP.

"Sebenernya gak lulusan SMP juga. Aku masuk SMA cuma karna ada hal jauh lebih penting yang harus aku kerjain, jadi aku mutusin buat berenti sekolah. Dulu aku di kampung jadi petani, terus pindah ke kota dan ternyata susah banget cari kerjaan dengan ijazah SMP meskipun ngelamar diposisi paling rendah di sebuah perusahaan, iya gak sih?" Kinal tertawa ketika mereka menjawab Iya dengan kompak, bahkan ada beberapa dari mereka yang berteriak. "Emang beberapa perusahaan menjadikan ijazah SMA atau Sarjana sebagai patokan dari kepintaran atau keterampilan seseorang."

Semua orang yang hadir di sini setuju dengan ucapan Kinal, terlihat dari jawaban mereka yang keras menanggapi pembicaraan Kinal.

"Sekarang aku butuhin banyak pekerja buat di studio foto ini sama beberapa di cabang Rumah Foto Box. Maka dari itu, aku dan teman-teman lainnya ngebuka lowongan pekerjaan buat teman kami di luar sana yang -maaf- kurang mampu dan gak sempet ngelanjutin sekolah. Jangan berkecil hati atau ngerasa minder dengan ijazah yang kalian punya karena kami cuma butuh keinginan kalian yang besar, apapun ijazahnya baik SD ataupun SMP, kami terima dengan syarat umurnya harus cukup. Selebihnya mungkin kalian akan belajar dulu beberapa bulan, selama proses pembelajaran, kalian tetap akan terima gaji."

Tiba-tiba suara tepuk tangan yang lebih keras lagi terdengar. Air mata yang sedari tadi menggenang di kelopak mata Veranda akhirnya jatuh membasahi pipinya, Veranda ikut bertepuk tangan dan tersenyum haru melihat Kinal yang saat ini dipandang oleh semua orang dengan tatapan kagum dan bangga. Veranda baru menyadari, semua orang yang sebelumnya duduk kini berdiri tanpa berhenti bertepuk tangan.

"Cindy, sini, dek." Kinal membungkukan punggungnya kemudian merentangkan kedua tangannya. Ia tertawa kecil saat Cindy berlari dari arah Veranda dan langsung berhambur ke dalam pelukannya. Kinal menggendong Cindy lalu memandang ke sekeliling. "Ini Cindy anak aku, peri kecil kesayangan aku yang selalu jadi penyemangat dan alasan atas kerja keras aku selama ini."

Kinal mencium pipi Cindy lalu berbisik, "Ayo, ngomong apa yang udah Mama ajarin tadi di mobil."

Cindy merebut mic dalam genggaman Kinal kemudian tersenyum dan menyimpan mic itu di depan bibirnya, "Rumah Foto Studio punya Mam-"

"-Foto Studio VNC," bisik Kinal.

"Rumah Foto Studio VNC resmi dibuka. Makasih yang udah dateng, Cindy sayang kalian," ucap Cindy tersenyum lebar.

Veranda bertepuk tangan sangat keras diiringi oleh semua orang yang merasa kagum dengan Kinal dan gemas melihat Cindy. "Aku bangga, Nal," gumam Veranda. Air mata kebahagiaan kembali luruh dari matanya.

"Mama tadi gak ngajarin kamu harus ngomong Cindy sayang kalian yaa." Kinal tertawa dan kembali mencium gemas pipi Cindy beberapa kali. Sementara Cindy hanya tertawa sambil memeluk mic yang berada dalam genggamannya.

***

"Ayo, masuk." Kinal turun dari mobil lalu membuka pintu mobil untuk Veranda. Ia tersenyum melihat wajah itu kembali bingung memandang ke sekeliling. "Ini hadiah terakhir buat kelulusan kamu, Ve."

"Kinal," seru Veranda menatap Kinal dan langsung memeluk erat tubuhnya. Toga yang ia kenakan sampai jatuh, untung saja Cindy segera mengambilnya.

"Hey, kok malah nangis sih?" Kinal terkekeh pelan merasakan tubuh Veranda bergetar dalam pelukannya. Ia mencium pundak Veranda berkali-kali kemudian mempererat pelukannya.

"Makasih buat semuanya, Nal. Aku sayang sama kamu, aku bangga sama jagoan aku!" Veranda menghentak-hentakan kakinya terlalu bahagia dan tak kuasa membendung tangisannya lagi karena terharu melihat kesuksesan yang sudah Kinal capai, itu semua hasil dari keringat Kinal sendiri bahkan kelulusan terbaiknya yang ia dapatkan itu berkat Kinal.

"Aku juga bangga sama kamu." Kinal melepaskan pelukannya lalu mencium dahi Veranda cukup lama. "Aku cinta kamu."

"Aku juga, Nal."

"Mama," panggil Cindy memeluk toga milik Veranda. Ia tersenyum-senyum sendiri, memandangi Kinal yang sedang menatap ke arahnya.

"Kenapa, dek?"

Cindy menepuk lembut dahinya sendiri. Kinal tertawa keras dan buru-buru memberikan satu kecupan di dahi peri kecil kesayangannya itu. "Mama sayang kamu."

"Aku juga, Mama." Cindy menjatuhkan toga itu dan meloncat ke dalam pelukan Kinal. "Aku mau masuk ke rumah baru."

"Ayo, masuk ke rumah baru Cindy sama Bunda." Kinal mulai berjalan masuk ke dalam rumah barunya. Rumah yang memang tidak mewah tetapi jauh lebih besar dari rumah kontrakannya dulu. Rumah ini ia beli dari hasil panen kebun tomatnya selama empat tahun yang sama sekali belum ia ambil dari tabungannya. Kinal sengaja mengumpulkan itu untuk membeli rumah, untung saja uang tabungannya masih tersisa dan Kinal bisa menggunakannya untuk membeli mobil.

"Di sini kamarnya ada empat. Kamar Cindy ada di sebelah kamar kita," ucap Kinal sambil terus berjalan menemani Veranda melihat-lihat rumah ini. "Ada Tamannya juga, kecil sih tapi lumayan buat nyegerin badan."

Cindy langsung turun dari gendongan Kinal kemudian berlari cepat ke arah taman.

"Ah, Cindy jangan lari sayang," ucap Veranda ikut berlari menghampiri Cindy.

Kinal memilih masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti dress yang menurutnya sangat tidak nyaman dipakai.

Semalam, Kinal mengajak Veranda dan Cindy menginap di hotel,alasannya agar dekat dengan kampus Veranda. Padahal sebenarnya ia ingin memindahkan semua barangnya ke rumah ini tanpa sepengetahuan mereka berdua. Kinal menyewa beberapa kuli untuk memindahkan semua barang dan menyusunnya dengan rapi.

"Bunda, Mama mana?" Cindy mengayun-ngayunkan tangan Veranda yang berada dalam genggamannya.

"Bunda gak tau," jawab Veranda tanpa melepaskan pandangan dari taman belakang rumahnya. Seutas senyuman terpatri wajahnya memandangi taman indah ini, banyak macam bunga yang tumbuh di sekeliling taman. Pasti Kinal sudah mempersiapkan semua ini untuknya.

"Bun, aku mau bungaaaaa." Cindy melepaskan genggaman Veranda kemudian berlari kencang ke arah taman.

Baru saja tangan Cindy terangkat hendak memetik bunga itu, Veranda sudah menggendong tubuhnya kemudian berjalan menjauhi tangan nakal Cindy dari bunga itu. "Jangan dipetik, sayang."

"Aku mau bungaaaa!!" Cindy berteriak, mengguncang-guncangkan kedua kakinya berusaha lepas dari gendongan Veranda. "Bunda kejaaam!"

"Kamu kebanyakan nonton Sinetron ih." Veranda duduk di kursi ayunan kemudian membalikan tubuh Cindy agar menghadap ke arahnya. Ia tersenyum melihat Cindy menunduk dengan bibir mengerucut ke depan, ekspresi yang selalu Cindy tunjukan jika sedang kesal. "Anak Bunda bukan perusak tanaman."

"Aku gak rusakin tanaman, aku mau bunga!" Cindy bersekap dada. Kedua pipinya ia kembungkan dengan posisi kepala menunduk, tidak ingin melihat Bundanya yang saat ini malah sedang tertawa kecil.

Veranda mengecup kedua pipi Cindy secara bergantian lalu menangkupkan sepasang tangannya di sana. "Liat Bunda."

Cindy mengangkat kepalanya menatap Veranda, "Aku udah liat Bunda."

"Kalo kamu sayang sama bunganya, harus dirawat baik-baik biar gak mati. Kalo gak dirawat nanti bunganya nangis, Mama marah loh ntar."

"Aku gak mau bunganya mati." Cindy kembali mengerucutkan bibir bawahnya lalu memeluk leher Veranda dan menyandarkan kepala di dadanya. "Maafin aku, Bunda."

"Iya, sayang." Veranda mengusap lembut kepala belakang Cindy yang tertutupi oleh kupluk seperti biasanya. Kinal yang selalu rajin membelikan berbagai macam kupluk lucu untuk Cindy. Menurut Kinal, Cindy jauh lebih cantik dan menggemaskan jika sudah memakai kupluk. "Tahun depan kamu SD looh."

"SD itu apa, Bunda?"

"Sekolah Dasar."

Veranda mengangkat kepalanya ketika mendengar suara itu. Senyuman mengembang di bibirnya melihat Kinal berdiri dengan celana jeans selutut, kaos polos berwarna hitam dan topi yang diputar kebelakang. Veranda sebenarnya lebih menyukai Kinal mengenakan pakaian feminim, tetapi ia juga tak bisa mengelak Kinal sangat tampan jika menggunakan pakaian seperti itu.

"Tuh Mama jaman now." Veranda menggedikan dagunya menunjuk pada Kinal.

"Mamaaa." Cindy turun dari pangkuan Veranda lalu berlari mendekati Kinal. Langkahnya terhenti saat melihat Kinal mundur menjauhinya. "Gendong." Cindy merentangkan kedua tangannya pada Kinal.

"Mama punya bunga cantik buat anak Mama yang paling cantik." Kinal berjongkok menyeimbangkan posisinya dengan Cindy lalu memperlihatkan sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang punggung. Itu buket bunga berukuran kecil.

"Kata Bunda bunganya gak boleh dipetik." Cindy mengambil bunga itu dan menghirup aromanya yang sangat wangi.

"Ah, Bunda sotoy." Kinal menatap Veranda kemudian meleletkan lidahnya meledek. Sementara Veranda langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. "Bibirnya jangan cemberut dong, kode banget."

"Kode apasi." Mata Veranda berputar malas.

"Cindy keponakan Mamaaang!!" Suara yang bisa dikatakan lembut untuk seorang pemuda tiba-tiba terdengar.

Cindy mencari arah suara kemudian tersenyum lebar dan langsung berlari kencang ke arah pemuda itu. "Mamaaang!!"

Pemuda yang dipanggil Mamang itu membungkukan sedikit punggungnya dan segera membawa tubuh Cindy ke dalam gendongannya.

"Dimas, sejak kapan di sini?" Veranda buru-buru berdiri melihat Dimas yang datang bersama kekasihnya, Cleo. Veranda tersenyum melihat Cindy yang langsung memeluk leher erat Dimas, ia yakin untuk beberapa jam ke depan peri kecilnya itu tidak ingin lepas dari Dimas. Selalu seperti ini jika Dimas mengunjunginya ke kota.

"Kak Ve, Cindy nginep di rumah aku yaa?" ucap Cleo membuat alis Veranda terangkat bingung karena tak biasanya Cleo meminta Cindy untuk menginap di rumah. Ini pertama kalinya.

"Iyaa, malem ini Cindy bobo sama Mamangnya," timpal Dimas mengusap lembut kepala belakang Cindy.

"Aku mau aku mau!!" teriak Cindy sangat bersemangat.

"Tapi jaga baik-baik ya Cindynya?" Veranda memperbaiki letak kupluk Cindy yang sedikit meluncur dari tempatnya. "Sebelum jam sembilan, harus udah bobo. Biasanya sebelum tidur Cindy minum susu dulu terus kalo bangun juga jangan dikasih sarapan yang an-"

"Muhun teteh muhun, abi ge terang atuh." Dimas malah mendelik pada Veranda kemudian mundur beberapa langkah menjauhi Veranda. "Bajunya udah disiapin sama Teh Kinal tadi jadi kita tinggal berangkat."

"Loh, udah? Kamu gak ngasih tau, Nal." Veranda menatap Kinal yang sedang tertawa kecil.

"Bawel kamu." Kinal berjalan menghampiri Cindy kemudian mencium lembut dahinya. "Jangan nakal ya, dek? Janji sama Mama."

Cindy mengangguk-anggukan kepalanya, "Iyaa, janjii."

***

Ini malam pertama Kinal dan Veranda tinggal di rumah barunya, ini juga malam pertama mereka tidur tanpa Cindy. Rumah yang biasanya dipenuhi oleh tawa dan tangisan Cindy kini terasa sangat sepi, apalagi rumah ini jauh lebih luas dari rumah sebelumnya.

"Kinaaal, aku takut ih!!" teriak Veranda dari ruang TV. Sudah setengah jam lebih ia menunggu Kinal mandi, tetapi gadis itu belum juga keluar dari kamar.

Veranda mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah lalu bergedik takut melihat beberapa ruangan yang sengaja Kinal matikan dengan alasan agar listrik tidak boros. Mungkin karena lima tahun terakhir ini Veranda tinggal di rumah sederhana, ia sedikit tak nyaman kembali ke rumah besar padahal rumahnya di Jakarta dulu jauh lebih besar dari ini.

"Apasih bawel." Kinal keluar dari kamar dengan tangan sibuk mengeringkan rambut pendeknya menggunakan handuk kecil.

Veranda langsung menoleh ketika merasakan sofa yang ia duduki bergoyang karena bertambahnya beban. Ia meneguk ludahnya melihat Kinal bersandar di sampingnya dengan menggunakan kaos tipis tanpa lengan, memperlihatkan lengan Kinal yang cukup kekar untuk ukuran seorang perempuan. Mata Veranda turun, melihat celana boxer Kinal yang pendek, satu jengkal di atas lutut. Untuk kedua kalinya, Veranda menelan ludah melihat paha Kinal yang sangat putih dan mulus. Ia menggigit bibir bawahnya kemudian membuang pandangan pada layar televisi di depannya.

Konsentrasi Veranda terpecah belah, ia tak lagi bisa fokus pada acara favoritenya karena sibuk membayangkan tubuh Kinal saat ini, apalagi harum tubuh Kinal menyengat masuk ke dalam rongga hidungnya. Pikiran Veranda jadi melayang pada kejadian empat tahun lalu saat Kinal memperkenalkannya pada kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan. Itu pertama dan terakhir kali Kinal melakukannya. Meski beberapa kali ia meminta, Kinal tak pernah mau menurutinya dengan alasan takut Cindy melihat itu.

Senyum Veranda mengembang ketika mengingat malam ini Cindy menginap di rumah Cleo, lagipula Kinal sudah berjanji akan memberikan apa yang ia mau setelah ia wisuda. Ekor mata Veranda melirik pada Kinal yang sedang tersenyum melihat acara televisi itu.

"Udah jam sepuluh ya? Gak kerasa." Veranda terkekeh pelan sambil menggeserkan posisi duduknya mendekati Kinal sampai pahanya yang juga mengenakan celana pendek, bersentuhan dengan paha Kinal.

"Iya," jawab Kinal tanpa sadar bahwa Veranda sedang berusaha mendekatinya. "Eh, peri kecil udah tidur belum ya? Aku mau telfon ah." Kinal bangkit tetapi tangan Veranda dengan cepat menariknya kembali untuk duduk.

"Cindy udah tidur, tadi Cleo chat aku," ungkap Veranda sambil melepaskan genggamannya.

"Iya deh." Kinal kembali fokus pada acara TV.

"Seru ya, Nal," ucap Veranda setelah diam selama beberapa detik. Tangannya tiba-tiba menepuk pelan paha Kinal dan diam di sana.

Kinal mengerutkan dahinya memandangi tangan nakal Veranda yang sedang memberikan usapan di pahanya. "Tangan kamu kenapa, Ve?" Kinal menangkupkan tangannya di punggung tangan Veranda.

Jantung Veranda berdebar kencang seperti seorang maling yang ketahuan mencuri. Ia menatap Kinal kemudian terkekeh pelan sambil menarik tangannya kembali, "Ah, gapapa kok."

"Oke," balas Kinal tidak terlalu mempersalahkan tangan Veranda.

Veranda menghela napas lega. Untuk beberapa detik ia diam, menetralkan detakan jantungnya yang tak beraturan. Meski tak lama, tangan itu kembali berulah dengan mengusap lengan Kinal. "Wih otot nih, beli di mana?"

"Ya dulu kan aku tukang nyangkul, ngangkat barang-barang berat juga di kebun lain. Mungkin kebentuk sendiri ya?" Kinal tertawa kecil tanpa mengalihkan perhatian dari TV.

"Kapan? Kok aku gak tau ya kamu ngangkat-ngangkat barang?" Veranda bertanya serius. Sementara tangannya masih mengusap lengan Kinal dan terus beranjak menyelusuri bahunya perlahan.

"Aku sering 'kan bawa sayuran dulu? Kadang buah juga. Nah sebenernya aku gak beli, tapi bantuin orang biar dikasih satu kantong." Kinal tertawa membayangkan kehidupannya dulu.

"Kok sampe segitunya sih?" Veranda tiba-tiba kehilangan gairah dan buru-buru menurunkan tangannya dari bahu Kinal.

"Ya aku 'kan dulu cuma dapet 35 ribu sehari," jawab Kinal menatap wajah Veranda yang berubah drastis. "Kamu dikasih 10 ngambek mulu, jadi yaaa kamu 25 aku 10. Makanya aku nyari makan pake tenaga aku, seru kok itu, aku gak capek."

"Jadi ini alasan kenapa kamu sering pegel?" tanya Veranda dengan mata berkaca membayangkan bagaimana susahnya perjuangan Kinal dulu untuk membiayainya, sementara ia masih belum bisa berpikir dewasa dan malah menuntut Kinal.

"Ah, gak juga."

"Maafin aku, Kinal. Aku gak dewasa, aku sering nuntut kamu, aku gak tau dir-"

"-Udah, itu masa lalu." Kinal menggenggam tangan Veranda kemudian di simpan di pipinya. "Makasih buat kesabaran kamu selama ini."

"Harusnya aku yang bilang gitu. Maafin aku."

"Udah, ah." Kinal mengecup lembut telepak tangan Veranda lalu menyimpan tangan itu di bahunya, "Masih mau berusaha godain aku gak? Atau berenti?" tanyanya dengan alis naik turun dan tatapan jahil.

Pipi Veranda langsung merona merah tak menyangka Kinal tau maksudnya. Ia tersenyum kikuk kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain, "Anu-kan kamu janjiin aku sesuatu yaa? Inget gak? Kalo ngga juga gapapa kok." Veranda menggigit bibir bawahnya menahan rasa malu dan merutuki kebodohannya sendiri.

Kinal hanya tersenyum kemudian menarik kaos tipis yang menutupi bahu Veranda. Ia mengecup lembut bahu itu dan terus naik menyelusuri leher jenjang Veranda. Desahan lembut lolos dari bibir Veranda saat Kinal menghisap lehernya.

"Kinal hhhh." Veranda mengangkat kepala Kinal dari lehernya dan segera menautkan bibirnya dengan bibir Kinal yang sudah jarang terjamah semenjak kehadiran Cindy. Dengan rakus, Veranda menghisap keras bibir bawah dan bibir atas Kinal secara bergantian lalu melesakan lidahnya ke dalam mulut Kinal yang masih terasa segar, mungkin pengaruh dari pasta gigi.

Kinal tiba-tiba melepaskan ciuman itu, "Tunggu."

Veranda berdecak, "Kalo gak mau bilang dari tadi, jangan nunggu aku on dulu."

"Marah mulu nih emak-emak. Ikut aku." Kinal menarik paksa tangan Veranda ke arah ruang belakang yang sudah ia siapkan sebelumnya. Ruangan yang belum ia perkenalkan pada Veranda dan Cindy.

Mata Veranda membulat ketika melihat ruangan yang Kinal tunjukan. Ternyata itu kamar, yang membedakan adalah seisi kamar ini dipenuhi oleh taburan bunga bahkan sampai kasurnya. "Kamu-"

BRAAAK

"Kin-hmmmt."

TBC

Aku hari ini update dua part, cuma part selanjutnya private yaa. Mungkin tar malem di publish, paling telat besok.

Part selanjutnya gak ngaruh apapun, kalo gak dibaca juga gak akan ketinggalan plot gitu wkwk itu full dewasa(?)

Oke, sampe ketemu nanti wkwkwk

Continue Reading

You'll Also Like

215K 17.6K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
234K 24.9K 27
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...
595K 28.4K 36
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...