Cinta

By iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
18
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
31
32
33
34
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
Kebahagiaan VeNal
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Keputusan akhir
Akhir Dari Semuanya?
Akhir Cerita

43

3.9K 487 85
By iiaMlk

"Gio, aku pul-" Viny menggantungkan kalimatnya saat melihat Marissa duduk di ruang keluarga dengan pandangan lurus pada layar televisi.

Viny menelan ludahnya sambil berjalan mendekati Marissa yang perlahan menggusur pandangan ke arahnya. Sudah dua hari ini ia memang tidak pulang ke rumah Gio karena terlalu betah menginap di rumah Shani. Sialnya, ia lupa mengabari Marissa yang tentu saja akan cemas dengan keberadaannya.

"Ma-"

"-Beresin semua baju kamu, Mama udah pilihin Universitas buat kamu di London."

"London?!" pekik Viny sangat terkejut dengan keputusan mendadak ini. "Aku gak mau, aku mau di sini sama Gio."

"Sama Shani maksud kamu?!" Untuk pertama kalinya Marissa membentak Viny. Ia melemparkan beberapa foto yang ia ambil dari kamera CCTV di rumahnya saat Viny berciuman dengan Shani. "Kamu udah berani bohong sama Ibu kamu sendiri?! Kamu mau jadi anak pembangkang kaya kakak kamu?!" Teriakan Marissa menggema ke setiap sudut rumah megah ini. Matanya nyalang, menatap tajam putri bungsunya yang saat ini sedang menunduk melihat foto itu.

Viny menghela napas berat lalu menggenggam erat foto itu, "Maafin aku," ucapnya pelan. Mata Viny langsung terpejam ketika merasakan satu tamparan keras dari Marissa.

"Kamu mau nyiksa batin Mama?!" Marissa benar-benar tidak bisa menahan emosinya lagi melihat ini. "Apa didikan Mama salah sampe dua putri Mama kaya gini?!"

"Ada apa, Mam?" Tiba-tiba Gio datang mendengar teriakan Marissa. Ia langsung menarik tubuh Viny ke dalam dekapannya ketika Marissa hendak memberikan tamparan kedua untuk adiknya ini. Gio menggeleng pelan, "Ngga, bukan kaya gini cara nyelesein masalah."

"Anak pembangkang kaya dia gak bisa dikasih peringatan lembut!!"

"Kamu bikin salah apa?" tanya Gio menunduk, menatap Viny yang masih berada dalam dekapannya. Namun Viny hanya diam, memeluk erat pinggangnya karena takut pada amarah Marissa. Gio kembali menatap Marissa lalu memicingkan matanya melihat Tante yang sudah ia anggap Ibu itu kini menangis. "Sebenernya ada masalah apa?"

Tidak ada jawaban. Pandangan Gio tak sengaja menangkap beberapa foto yang tergeletak di lantai. Matanya terbelalak melihat Viny berciuman dengan seorang perempuan yang sangat cantik di sana. Pemandangan itu seakan menjawab semua pertanyaan yang selama ini tertata rapi dalam pikirannya; tentang perpindahan Marissa dan Viny secara tiba-tiba serta hilangnya Kinal.

"Apa Kinal jug-"

"-Iya!" sela Marissa di tengah tangisannya. "Dia pergi ninggalin Mama dengan perempuan yang dia cintai! Mama pikir Viny bisa berubah dan ngikutin jejak kakaknya, tapi Mama salah! Mama gagal didik mereka berdua!" Marissa terduduk di sofa karena tenaganya yang perlahan terkikis oleh amarahnya sendiri. Deru nafasnya tak beraturan, cairan mengalir deras dari matanya.

Gio melepaskan pelukannya kemudian menangkupkan sepasang tangan di pipi Viny. Ibu jarinya bergerak, mengusap lembut air mata yang sudah menganak sungai di kedua pipi Viny. "Tinggalin dia."

Viny menggeleng kuat kemudian menepis tangan Gio di pipinya seraya mundur dua langkah, "Aku gak bisa."

"Tinggalin dia." Gio menatap Viny tegas.

"Aku gak mau!!" Viny menjerit keras. "Aku gak bisa ninggalin dia!!"

"Tinggalin dia kalo kamu masih sayang sama Mama!!!" Gio berteriak lebih keras lagi dengan tatapan yang sangat tajam.

"Argh! Aku benci kamu!" Viny mendorong keras dada Gio kemudian berlari cepat keluar rumah.

Sayap malam menepis cahaya jingga yang belum lama terbentang di cakrawala. Angin kencang memetik nada pada daun-daun hingga menghasilkan bunyi riuh yang cukup keras meski tak memekakan telinga. Sementara itu, Viny melangkah lemas, disiluetkan tempias pendar lampu jalan yang menemaninya malam ini.

Berkali-kali pandangannya disamarkan oleh cairan yang menggenang di kelopak matanya. Viny mencoba menahan cairan itu meski tak kunjung berhasil, rintik hujan terus berjatuhan dari matanya seiring dengan mendung yang kian terlihat dari netra pekat miliknya. Viny menekan dadanya berusaha menetralisir rasa sakit itu tetapi masih tak berhasil. Bayangan masalah yang baru saja terjadi terus mengepungnya, memberikan resah tanpa batas di atas kepalanya.

Untuk kedua kalinya Viny dihadapkan pada pilihan yang sulit, yaitu menuruti keinginan Ibunya atau mempertahankan cintanya. Namun pilihannya tetap jatuh ke arah yang sama, ia tidak akan pernah bisa membantah keinginan Marissa. Meski untuk itu, ia harus rela menyakiti hatinya sendiri dan juga hati Shani.

Viny mempercepat langkah kakinya ke arah jalan raya untuk mencari kendaraan yang bisa membawanya ke rumah Shani.

****

"Temen kamu yang nginep di sini mana?" tanya Shania seraya duduk di samping Shani yang sedang fokus menonton televisi.

"Udah pulang, Tan. Tadi mau pamit tapi Tante gak ada," jawab Shani tanpa mengalihkan pandangan dari TV.

"Hari pertama dia pake kemeja manis banget deh, tapi hari kedua dia pake kupluk sama jaket kulit kok malah jadi ganteng ya, Shan?" Shania menatap wajah samping Shani yang terlihat kaget. Ia tersenyum penuh arti menangkap sesuatu yang sebenarnya sudah ia ketahui.

"Di-dia emang gitu." Shani buru-buru menyesap coklat panasnya untuk menutupi rasa gugup itu karena pertanyaan Shania.

"Boleh buat Tante gak? Gapapa kok pacaran sama cewek kalo ganteng gitu."

Shani menyimpan gelas itu kemudian menatap Shania dengan alis terangkat sebelah, "Ngga, enak aja."

"Kok?" Shania memiringkan posisi kepalanya.

"Ya dia gak boleh pacaran sama cewek, harus sam-"

"- Sama kamu?" sela Shania tertawa keras menatap wajah Shani yang menurutnya sangat menggemaskan. "Ah, kamu jangan boongin Tante. Dia pacar kamu 'kan? Gak ada temenan sampe ninggalin bekas lipstik di leher, Tante tadi liat leher Viny loh."

Shani terkekeh pelan lalu menggenggam tangan Shania, "Jangan bilang Mama sama Papa ya? Mereka kirim aku ke sini biar jauh dari dia. Aku mohon, Tante."

"Oke. Tante dukung kamu." Tanpa Shani duga, Shania malah tersenyum lebar. "Itu juga yang jadi alasan kenapa Tante mutusin buat tinggal jauh-jauh di Wina."

"Tante ehm-"

"-Iya, Beby." Shania tersenyum manis, "Tante bahagia di sini."

"Jadi kak Beby itu pacar Tante?!" tanya Shani membelalakan matanya. Selama ini ia tau bahwa Beby hanyalah teman Shania, ia tidak menyangka Shania juga sama sepertinya.

"Iyaa. Lebay banget deh ekspresinya." Mata Shania berputar malas.

"Kok gak cer-"

"-Shani."

Shani menoleh ke arah suara lalu tersenyum lebar melihat Viny yang entah sejak kapan berdiri di samping sofa. "Kakak? Kok tiba-tiba di sini sih?"

"Aku tadi disuruh masuk sama Bibi."

"Kok balik lagi? Belum juga satu jam kamu pamit." Shani berdiri kemudian menghampiri Viny.

"Aku kangen kamu," jawab Viny mencium singkat pipi Shani. "Kita ke kamar bisa gak?"

Shania berdehem, "Ngapain ke kamar segala?"

"Hah?!" Viny baru sadar di ruangan ini ada Shania. Ia tersenyum kikuk, "Maaf, Tante. Aku mau izin istirahat sebentar di kamar Shani gapapa?"

"Istirahat atau istirahat nih?"

"Hah? Maksudnya?"

"Ah, Tante mah. Ayo kak." Shani buru-buru menarik tangan Viny ke arah kamarnya. Sementara Shania malah tertawa puas meledeknya.

"Aku mau tiduran ya?" Viny melepas jaket kemudian membaringkan tubuh lelahnya di kasur. Ekor matanya bergerak, menatap Shani yang sedang tersenyum-senyum sendiri memandanginya, Shani pasti sangat bahagia melihat kedatangannya kembali.

Viny mengalihkan pandangannya, menatap langit-langit kamar Shani yang tersentuh cahaya terang lampu. Sekilas ia melirik Shani yang masih tersenyum, apa ia tega membiarkan senyuman itu pudar dari bibir Shani karena kepergiannya? Viny menarik napas berusaha melepaskan sesak di dadanya yang mulai terasa.

Shani membaringkan tubuh di samping Viny dengan posisi tengkurap menatap wajahnya. Ia meniup lembut poni Viny lalu terkekeh pelan saat poni itu terhempas ke atas dan memperlihatkan keningnya yang entah kenapa selalu ditutupi padahal itu menambah kecantikannya, menurut Shani. Mata Shani memicing melihat tatapan Viny kosong, bola matanya tampak sedikit memerah.

"Kamu kenapa?" tanya Shani menyangga dagunya menggunakan kedua tangan yang ia tumpukan di kasur. Matanya masih tak beralih, berusaha menelisik isi pikiran Viny lewat garis wajahnya yang terlihat sendu. Satu hal yang bisa Shani simpulkan; Viny tidak sedang baik-baik saja.

"Gapapa kok, aku cuma pengen istirahat sebentar." Viny menatap Shani kemudian tersenyum manis berusaha menipu apa yang tengah ia rasakan saat ini. Entah kenapa rasa sakit itu kian bertambah ketika melihat wajah Shani dari jarak sedekat ini, Viny tak sanggup jika wajah itu hilang dari pandangannya suatu saat nanti.

"Beneran?" Shani berusaha meyakinkan, berharap kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir Viny bukan lagi kebohongan.

"Aku beneran gapapa." Viny menarik pandangan pada langit-langit kamar.

"Mama Marissa gimana kabarnya?" tanya Shani mengalihkan pembicaraan karena tau, Viny tidak akan bicara jujur kepadanya. Jika dipaksakan, itu hanya akan menciptakan benih-benih pertengkaran.

"Baik kok, dia di Wina sekarang." Viny tersenyum getir tanpa sadar ekspresi Shani berubah drastis mendengar jawabannya.

Shani mengembuskan napas lelah lalu tersenyum tipis bersamaan dengan tubuhnya yang berpindah tepat di atas Viny. Senyumannya semakin lebar bahkan berubah menjadi tawa kecil saat pandangannya menangkap wajah kaget Viny yang terlihat sangat menggemaskan.

"Mukanya kaget gituu, lucu deh kaya ditimpa apa aja," komentar Shani sambil menyanggakan kedua lengan di kasur agar berat badannya tidak terlalu menindih Viny. "Ditimpa bidadari aja kaget."

"Bidadari dari mana?" Viny mendorong pelan pipi kanan Shani menggunakan telunjuknya. "Kenapa kamu blokir penglihatan aku?"

"Selama ada aku, kamu gak boleh liat apapun lagi selain aku." Shani tersenyum tipis lalu mendekatkan wajahnya pada Viny sampai hidungnya menyentuh pipi Viny. Hidungnya bergerak, menyelusuri setiap sudut wajah Viny mulai dari pipi, dahi, dagu dan berakhir di lehernya. Shani mengecup lembut rahang Viny kemudian menempelkan pipinya di pipi Viny.

"Kamu wangi terus deh," ucap Shani berbisik di telinga Viny. "Jadi pengen makan, kayanya enak."

"Berat ah," balasnya meniup keras telinga Shani yang hanya berjarak tiga centi dari bibirnya. Viny tertawa saat merasakan tubuh Shani bergedik geli karena ulahnya.

"Geliiiii." Shani menggigit telinga Viny sekenanya sampai Viny berteriak keras karena kesakitan. Namun Shani malah tertawa tanpa memperdulikan rasa sakit itu. "Rasain."

"Aargh! Jahat!" pekik Viny menampar lembut pipi kanan Shani.

"Aku atau kamu yang jahat?" Shani mengangkat sedikit kepalanya menatap Viny sendu. Ia tersenyum getir seraya menutup kedua mata Viny menggunakan telepak tangannya. Mata Shani menatap lekat-lekat wajah Viny yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya, ia bahkan bisa merasakan embusan nafas hangat Viny membelai lembut wajahnya.

"Kok ditutup? Kamu mau cium aku?" tanya Viny. Namun ia tetap diam, membiarkan Shani menjadikan tubuh dan wajahnya sebagai mainan seperti sebelum-sebelumnya jika ia tidur bersama kekasihnya ini.

"Aku gak cium kamu, lagi pengen main-mainin badan kamu aja." Shani memaksakan tawanya lalu meniup pelan telinga Viny, tiupannya bergerak menjelajahi setiap sudut wajah Viny hingga tanpa sadar Viny mendesah saat tiupan itu mengenai lehernya. "Nakal ya desah-desah," ucap Shani.

Viny tertawa kecil lalu menggeleng-gelengkan kepala, "Ngga desah kok, itu nafas," kilahnya tanpa bisa menatap Shani karena matanya masih tertutup rapat. "Kenapa masih tutup mata aku? Mentang-mentang tangan kamu panjang."

"Kamu harus terbiasa gak liat aku, kak. Kalo suatu saat nanti kamu kangen, kamu bisa tutup mata kamu dan bayangin aku ada di samping kamu."

"Ma-maksudnya?"

"Ngga." Shani menarik lembut dagu Viny ke bawah sampai mulutnya sedikit terbuka. Ia mencium bibir Viny yang selalu mampu menciptakan segala kehangatan dalam dadanya. Dirasa sudah cukup, Shani mengakhiri ciumannya dengan satu kecupan lembut lalu membiarkan kedua belah bibir itu tertutup kembali.

"Shani?"

"Iya?" Shani mencium setiap sudut wajah Viny mulai dari pipi, dagu, bibir, hidung dan berhenti di dahinya cukup lama. Perlahan, Shani melepaskan bibirnya kemudian menarik napas dalam untuk menahan rasa sesak di dadanya. Ia mengebuskan nafas itu pelan lalu berkata dengan lirih, "Pergi, kak. Aku gapapa kalo emang kita udah gak bisa lagi bersama. Bawa hati aku dalam genggaman kamu karena sampai kapanpun, aku gak akan pernah siap kalo hati itu dimiliki orang lain."

Viny menahan nafasnya mendengar itu. Darimana Shani tau kalau kedatanganya ke sini hanya untuk mengucapkan selamat tinggal?

"Aku kenal kamu lebih dari yang kamu tau," lanjut Shani seakan menjawab apa yang ada di pikiran Viny saat ini. "Aku bisa rasain apa yang kamu rasain. Kamu gak bisa bohong."

"Ma-maaf." Hanya itu yang keluar dari bibir Viny.

Shani bisa merasakan telepak tangan yang masih menutupi mata Viny tiba-tiba saja basah. Ia menggeleng pelan, "Ngga, kamu jangan nangis. Aku gapapa."

"Lepas." Viny menggenggam pergelangan tangan Shani yang menutupi matanya.

"Ngga, jangan bikin rasa sakit aku bertambah dengan liat air mata kamu. Kata kak Kinal kamu jagoan! Gak boleh nangis!" ucap Shani sedikit tegas. Tanpa sadar, setetes air mata meluncur dari sudut matanya diikuti oleh tetes selanjutnya yang turun semakin deras.

Viny berusaha menahan air matanya agar tidak menetes. Lalu, ia diam sejenak berharap bisa sedikit tenang. Setelah cukup, Viny menarik tangan Shani sampai terlepas dari matanya.

Tubuh Shani langsung roboh ke dalam pelukan Viny seiring dengan kepalanya yang tenggelam di samping leher Viny. Sepasang lengannya sudah tak mampu menyangga berat tubuhnya lagi karena terlalu lemas, seluruh tenaganya hilang entah kemana.

Secara otomatis, tangan Viny menyentuh lembut kepala belakang Shani. Matanya terpejam dengan bibir yang ia gigit sedikit keras menahan rasa sakit. Bibir Viny terbujur kaku tanpa mampu mengucapkan satu katapun. Tak lama, derai air matanya kembali luruh membasahi pelipis ketika merasakan punggung Shani bergetar dalam dekapannya.

Dengan sekuat tenaga, Viny membalikan posisi tubuh Shani sampai ia berada di atasnya. Kepalanya ia palingkan sesaat saat melihat wajah Shani dan air matanya yang sudah tumpah ruah tanpa bisa dibendung lagi. Viny mengantup matanya sejenak, rasa sakit menggempur hatinya dengan cepat dan meluas ke seluruh tubuh hingga semua tenaganya hilang. Pantas saja Shani tak mau melihat air matanya, ternyata sakit sekali melihat orang yang dicintai menangis.

Detik mengalir semakin deras tapi keduanya belum membuka suara satu katapun. Mereka sama-sama sibuk menahan tangisan atas perpisahan yang sudah menunggu.

Seperti inilah hidup, akan selalu ada rahasia yang disembunyikan sang waktu. Manusia hanya bisa menunggu waktu berlalu, mengelupaskan rahasia itu satu persatu. Dan ternyata inilah rahasia yang waktu sembunyikan untuk mereka; pahitnya perpisahan yang harus rela mereka telan kembali. Untuk kesekian kalinya, waktu membuktikan bahwa cinta masih berteman dekat dengan kesedihan dan rasa sakit.

Suara tetap bersembunyi di balik air mata itu. Kesedihan terlalu berkuasa hingga mampu menjadi pemisah dua raga yang saling berhadapan. Baik Shani atau Viny masih tak mau bersuara, mereka takut bukan kata yang terucap dari bibir, tetapi isak tangis yang akan membuat hati mereka semakin teriris.

Setelah sepuluh menit, Viny menghapus air matanya dengan kasar lalu memberanikan diri untuk kembali menatap dua bola mata Shani. Shani tersenyum lalu menampar lembut pipi Viny, "Ah, jadi nangis 'kan aku, kamu sih. Harusnya gak boleh," ucapnya memaksakan tawa sambil menghapus cairan yang masih mengurai di pipinya.

"Oke, kita gak boleh sedih-sedihan nih." Shani mengerjapkan matanya berusaha untuk tetap tenang lalu menangkupkan sepasang tangan di pipi Viny yang basah. "Aku punya satu kalimat buat kamu."

"Apa?"

"Jangan biarkan kebahagiaanmu redup, karena itu alasan jantungku berdegup. Jangan biarkan senyummu pudar, karena itu alasan dadaku berdebar."

"Itu bukan satu kalimat, begok!" Viny tertawa, tetapi tangisannya kembali membuncah mendengar kalimat yang Shani ucapkan.

"Oh iya ya." Shani tertawa. "Kamu nangis kenapa sih? Aku aja udah berenti. Aku aduin ke kak Kinal loh kalo kamu cengeng sekarang." Shani mencolek hidung Viny dengan tatapan jahil meski matanya sudah memerah. Sekuat tenaga ia menahan air mata itu agar tidak memberatkan Viny yang sudah memikul banyak rasa sakit.

"Aku gak akan kenal sama yang namanya kehilangan, karena kamu akan tetap tinggal di dalam hati dan ingatan. Aku tau, sejauh apapun kamu mengepakan sayap, cuma di hati aku kamu akan hinggap."

Viny mengangguk beberapa kali mengungkapkan banyak terima kasih yang tak mampu terucap oleh lisan. Ia tak menyangka, Shani bisa lebih tegar darinya menghadapi ini.

Viny memejamkan matanya kemudian mencium dahi Shani cukup lama, tak peduli dengan air matanya yang mengalir membasahi wajah cantik itu. Shani hanya diam, merelakan air mata yang sedari tadi ia tahan jatuh, menyatu dengan cairan yang keluar dari mata Viny. Akhirnya harapan untuk bahagia yang selama ini mereka idamkan, tercekik oleh kenyataan yang mau tidak mau harus mereka terima.

Jarum jam mengunyah detiknya semakin cepat, memaksa Viny untuk segera melepaskan ciuman itu mengingat hari sudah semakin malam dan ia harus segera kembali karena tidak ingin menambah masalah baru lagi. Viny bangkit dari tubuh Shani lalu menyambar jakernya yang ia simpan di bibir ranjang.

"Kamu mau pulang sekarang?" tanya Shani ikut berdiri lalu memberikan seutas senyum pada Viny. Bola matanya bergetar, siap meneteskan cairan selanjutnya. Namun Shani tetap berusaha menahan air mata itu kemudian memeluk erat tubuh Viny.

"Jaga diri kamu baik-baik ya?" Viny mencium lembut pipi Shani lalu membalas pelukannya. "Tunggu kepulangan aku, aku janji pasti jemput kamu suatu saat nanti."

"Aku percaya." Shani melepaskan pelukannya lalu menggenggam kedua tangan Viny, "Janji, kembali dengan badan yang lebih berisi lagi. Kamu gak boleh terus kurus, cungkring!"

Viny tertawa kemudian mengangguk beberapa kali. Tatapannya tidak lepas dari bola mata Shani yang menunjukan banyak kesedihan. Tawa Viny terhenti, tatapannya mendadak kosong. Ia menengadah sebentar berusaha menahan genangan air matanya. Namun Viny tidak mampu, dalam sekejap, air mata itu jatuh lebih deras lagi. Viny kembali menatap Shani lalu menggeleng pelan seakan mengatakan bahwa ia tidak sanggup menahan tangisan itu.

"Ngga." Shani buru-buru menangkap pipi kanan Viny lalu memberikan kecupan lembut di pipi kirinya. "Aku yakin kita pasti ketemu lagi, entah kapan tapi aku pasti akan selalu nunggu kamu. Sampein salam aku buat Mama."

"Iyaa." Viny mencium lembut telepak tangan Shani kemudian melepaskan genggamannya. "Aku kuliah di London, Shan."

"Iyaaa, yang rajin ya kuliahnya. Kalo kamu gak bisa balik lagi, bahagia sama kak Anggara. Dia baik."

Viny menggeleng kuat, "Gak, aku pasti balik lagi. Pegang janji aku."

"Aku akan selalu nunggu kamu."

"Aku pamit, Shan." Viny tersenyum manis sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju pintu.

"Kakak, harus gemukan ya?" Shani menatap samar punggung Viny yang terhenti di ambang pintu.

"Pasti." Viny tertawa meski air mata kembali turun dari kelopak matanya. Dengan cepat, ia berjalan pergi meninggalkan Shani karena tak ingin Shani mendengar isak tangisnya.

Shani terduduk di kasur kemudian menunduk menyadari akan ada hujan yang lebih deras lagi jatuh dari matanya. Ia menangkupkan sepasang tangan di depan wajah. Dalam sekejap, tangis yang ia tahan memecah keheningan malam ini. Lagi, perpisahan itu ia rasakan dan ini jauh lebih menyakitkan karena status Viny saat ini adalah calon tunangan seorang pemuda. Shani hanya takut, untuk kesekian kalinya Viny gagal menepati janji.

****

Sesampainya di rumah, Viny berjalan masuk ke dalam kamar tanpa memperdulikan Gio yang sepertinya hendak mengatakan sesuatu. Viny membantingkan pintu kamar kemudian terduduk lemas di kasur. Ia menghapus air matanya yang entah kenapa tidak bisa berhenti mengalir lalu meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.

Tidak menunggu waktu lama, wajah cantik Veranda menyapanya dengan senyuman manis. Viny menggigit bibir bawah menahan tangisnya yang hendak kembali meluap.

"Kinaaaal."

"Kamu kenapa?!" tanya Kinal dari sebrang sana tampak sangat panik melihat kondisinya.

"A-aku mau sama kamu di sana." Viny menunduk dengan nafas tersenggal-senggal masih berusaha menahan air matanya. Meski detik berikutnya, setitik air mata jatuh dari sudut matanya dan langsung menderas dalam hitungan detik. "Jemput aku ke sini."

Kinal menggeleng pelan, "Aku gak bisa ke sana sekarang, Vin. Kamu kenapa?! Bilang sama aku!"

"Mam-"

"-Vin." Suara Gio menghentikan ucapan Viny.

Viny mengangkat kepalanya sedikit, menatap Gio yang baru saja masuk ke dalam kamarnya, "Keluar!! Aku benci kamu!!"

"Itu siapa?!" tanya Kinal panik melihat tangis adiknya yang pecah. "Viny! Jawab aku! Siapa yang ganggu kamu?!"

Gio merampas ponsel dalam genggaman Viny lalu tersenyum melihat sepupunya yang selama ini ia rindukan. Matanya tampak berkaca-kaca melihat Kinal di sana, di samping seorang gadis yang sangat cantik. "Kinal," seru Gio.

"Viny kenapa?!" Kinal masih sangat emosi. Untung saja usapan Veranda di punggungnya berhasil mengangkat emosinya itu dengan perlahan. Kinal menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan berusaha menahan emosi itu. "Kamu apain Viny?" tanyanya dengan tatapan dan suara yang mulai lembut.

"Apa? Viny? Adek aku yang paling nakal ini?" Gio duduk di samping Viny kemudian merangkul bahunya. Namun dengan cepat Viny menepis tangannya. Gio malah terkekeh pelan sambil mengecup kepala samping Viny. "Udah, jangan marah."

"Jangan cium-cium aku!" Viny mengelap kasar jejak bibir Gio di kepalanya.

"Gio, aku gak becanda. Viny kenapa?"

"Viny ketauan ciuman sama bidadari di depan rumah. Dia begok, Nal. Gak tau kalo Oma masang CCTV di mana-mana." Gio menggeleng-gelengkan kepalanya, amarah dan emosi yang tadi terlihat dari tatapannya kini menghilang entah kemana. "Gimana nih? Viny mau dikirim ke London sama Mama tapi dia berat ninggalin pacarnya."

Kinal mengusap kasar wajahnya tidak tau apa yang harus ia lakukan apalagi kini jaraknya dengan Viny terpisah sangat jauh. "Aku gak tau harus gimana, yang jelas Viny gak bisa tinggal sama aku di sini."

"Aku juga gak setuju kalo Viny balik ke Indonesia." Gio menatap Viny yang masih menangis kemudian merangkul bahunya dan ditarik ke dalam dekapannya. Tangan kekar Gio menahan tubuh Viny yang hendak meronta dan membiarkan Viny menangis dalam dadanya. Ia tersenyum menatap Kinal sambil menyandarkan dagu di puncak kepala Viny. "Sejak kapan Viny cengeng gini, Nal?"

"Aku gak tau." Kinal tersenyum. Entah ia harus merasa sedih atau bahagia sekarang. Pemandangan itu membuatnya tersenyum, tapi di balik itu, ada tangis Viny yang membuat dadanya sesak.

"Ikutin dulu keinginan Mama, Vin," ujar Gio mengusap lembut rambut Viny. "Kuliah di London, abis Wisuda kamu balik lagi ke Wina. Kejar cinta kamu."

Viny terkejut dan langsung melepaskan pelukan Gio, "Kamu bukannya-"

"-Aku gak mungkin 'kan ngasih dukungan buat kamu di depan Mama?" Gio tersenyum kemudian menghapus air mata Viny yang masih terurai di pipinya. "Aku bakal berusaha kuat buat bantuin kamu, tapi gak sekarang. Ada waktunya dan itu nanti setelah kamu nyelesein pendidikan."

"A-aku takut." Viny menggeleng pelan kemudian menunduk.

"Gak boleh takut, aku sama Kinal pasti bantu kamu." Gio kembali menatap ke arah layar, "Iya 'kan? Kamu juga, Nal. Kamu gak bisa terus-terusan bawa kabur perempuan cantik itu." Gio tertawa melihat wajah gugup Kinal dan wajah gadis cantik itu yang langsung menghilang dari layar, mungkin karena malu.

"Kalian berdua jangan jadi orang pengecut yang cuma bisa ngedapetin satu kebahagiaan. Kinal bisa dapetin cinta tapi jauh dari keluarganya dan Viny bisa ngedapetin kasih sayang keluarga tapi jauh dari cintanya," ujar Gio memberi nasehat pada dua adik sepupunya ini. "Aku tau ini gak gampang, perlu waktu yang gak sebentar. Kinal pasti lagi nyiapin sesuatu sebelum berani dateng ke keluarga, 'kan?"

Kinal tersenyum lalu mengangguk, "Iyaa. Aku sama Ve pasti pulang suatu saat nanti, tapi gak sekarang."

"Tuh, Kinal aja semangat. Masa kamu nangis sih?" Gio menatap Viny kemudian merangkul bahunya gemas. "Jangan nangis. Yakinin diri kamu sendiri kalo kamu bisa, sekarang kamu harus kumpulin semua semangat kamu. Jauh dulu dari pacar kamu beberapa tahun, wayahna nya da hirup mah peurih."

"Nyebeliin!!" Viny tertawa di tengah tangisannya kemudian memukul dada Gio sebelum akhirnya kembali memeluk tubuh Gio dari samping. "Janji, bantuin aku nanti."

"Iyaaa baweel iyaaa." Gio mengacak rambut pendek Viny lalu mengecup puncak kepalanya. Matanya beralih pada Kinal yang entah sejak kapan sudah mulai berkaca-kaca. "Apa? Mau nangis juga?"

"Ngga kok." Kinal tersenyum, "Jaga Viny yaa? Aku janji bakal pulang sama keluarga kecil akuu," ucapnya sedikit angkuh lalu melirik pada Veranda dan Cindy.

"Ah, gayanyaaaa keluarga kecil." Gio tertawa keras meledek Kinal.

"Beneran. Niiih." Kinal menarik layar ponsel itu ke arah Veranda yang kebetulab sedang menyelimuti Cindy. "Tuh anak aku, Cindy namanya. Umurnya dua tahun."

"Lah, beneran keluarga." Gio menghentikan tawanya lalu tersenyum manis pada Kinal, "Bahagia di sana ya?"

"Aku pasti bahagia di sini. Aku tutup ya? Viny jangan nangis lagiii." Kinal hanya terkekeh melihat Viny yang menggeleng-gelengkan kepala tanpa mau menangkat wajahnya dari dada bidang Gio.

Kinal melambaikan tangannya kemudian menutup panggilan itu. Ia menyimpan ponsel di atas meja lalu meremas wajahnya, "Aku khawatir sama Viny."

"Ada kakaknya di sana. Viny pasti bisa." Veranda mengusap lembut punggung Kinal, "Jadi, kapan kita pulang?"

"Kalo usaha aku udah maju ya, Ve? Aku malu kalo pulang tanpa bisa nunjukin apapun kalo aku mampu jadi penjaga kamu."

"Kamu pasti bisa, sayang. Viny juga. Kalian adik kakak yang hebat."

Kinal tertawa kecil lalu mengecup lembut dahi Veranda, "Kamu juga bisa sukses kok."

"Iyaa, kita nanti pulang sama-sama bawa kesuksesan."

"Pasti, Ve."

TBC

Apakah Viny akan menepati janjinya? Apakah Kinal bisa menggapai kesuksesan demi mendapat restu? Saksikan kelanjutannya di Cinta Season 2 #Ala-alaSinetronCintaFitri

Hahahaha canda canda. Jangan ketinggalan ya baca part-part terakhir ff ini wkwkwk

Continue Reading

You'll Also Like

346K 6.8K 15
DON'T BE PLAGIARISM! Jangan lupa krisar, vote, dan follow ya Isinya one shoot jorok dengan pair jaeyong. (boyxboy, boyp, gs, nano-nano pokoknya) Ada...
590K 28.3K 36
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
189K 18.9K 40
Seorang ibu yang kehilangan anak semata wayang nya dan sangat rindu dengan panggilan "bunda" untuk dirinya Selengkapnya bisa kalian baca aja ya luuvv...
64.1K 7.1K 38
Sebuah rahasia yang tidak akan pernah meninggalkanmu...