Cinta

Af iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit Mere

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
18
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
31
32
33
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
43
Kebahagiaan VeNal
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Keputusan akhir
Akhir Dari Semuanya?
Akhir Cerita

34

4K 495 108
Af iiaMlk

"Kamu mau emang jadi istri aku?" tanya Kinal dan reflek membuat pelukan Veranda terlepas.

"Aku mau, Nal. Kalo kamu?"

"Aku juga mau jadi istri kamu."

"Kita kapan nikah?" Veranda terlihat sangat antusias dengan pembicaraan ini. Ponsel dalam genggamannya ia simpan di atas laptop, sekarang fokusnya hanya tertuju pada dua bola mata Kinal yang terlihat berbinar.

"Kita pasti nikah."

"Kalo belum siap nikah, kawin aja yuk."

"Perlu waktu, Veranda." Kinal berdiri karena tidak ingin pembicaraan ini berlarut ke hal yang macam-macam. "Siang ini aku yang masak, mau makan apa?"

"Makan apa aja deh." Veranda mengambil ponselnya. Alisnya berkerut melihat wallpaper ponselnya berubah jadi gambar kucing. Veranda membuka folder foto dan langsung tertawa keras melihat puluhan foto kucing di sana. Dimas, pemuda itu benar-benar mengkhususkan ponsel ini untuk kucingnya itu.

"Dimas marah gak waktu kamu ambil hp ini?" Veranda menyimpan ponselnya kemudian menyusul langkah Kinal ke dapur.

"Gak sih cuma kesel aja katanya dia udah bikin banyak video buat kucingnya." Tangan Kinal yang cekatan, memotong bawang merah dengan sangat cepat seperti seorang koki handal. Tangannya yang lain meraih bawang putih yang langsung ia kupas kemudian diiris setipis mungkin.

"Kamu masak, aku meluk kamu. Gimana?"

"Ngaragokan, cicing weh." Kinal mengambil tomat dan memotongnya kecil-kecil. Setelah itu, ia beralih untuk mencuci semua sayur yang sudah ia siapkan.

Veranda hanya diam bersandar di dapur memandangi Kinal yang begitu bersemangat.
Memang jika dibandingkan masakan Kinal jauh lebih enak darinya, hanya saja Kinal terlalu sibuk mengurusi kebun jadi jarang punya waktu untuk memasak seperti ini. Veranda tersenyum sendiri karena lagi-lagi khayalannya berulah, ia membayangkan bagaimana jika nanti ia dan Kinal resmi menikah. Selain bisa menjadi suami, Kinal juga bisa menjadi istri yang baik. Pun dengannya, ia juga bisa menjadi suami sekaligus istri yang baik.

"Daripada ngekhayal, mending cuciin ayamnya."

Suara Kinal mengembalikan kesadaran Veranda. Veranda mengerjap kemudian mengikuti apa yang Kinal suruh. Beberapa kali matanya melirik ke arah Kinal yang masih sibuk menggoreng bawang merah. Tanpa sadar Veranda tersenyum tipis ketika menyadari bahwa saat ini ia dan Kinal sudah seperti pasangan suami istri. Mungkin tinggal menunggu beberapa tahun lagi, ia yakin Kinal pasti akan menikahinya.

***

"Bibir kamu makin seksi deh," bisik Shani pada Viny.

Viny hanya tertawa sambil terus melanjutkan langkahnya menuruni satu persatu anak tangga. Pandangannya langsung tertuju pada Anggara yang sedang duduk di samping Boy. Sepertinya mereka terlalu lama di kamar tadi sampai tak menyadari bahwa ada dua orang pemuda yang sedang menunggunya di bawah.

"Sejak kapan di sini, Ga?" tanya Viny mempercepat langkahnya menghampiri Anggara yang langsung berdiri ketika melihatnya di sini. Sebelah alis Viny terangkat tinggi melihat tas besar yang Anggara bawa.

"Sejam yang lalu, kata Boy kalian lagi tidur siang," jawab Anggara memperlihatkan senyuman manisnya. Pandangannya beralih pada Shani yang sedang menatapnya dengan tatapan dingin. Anggara yang sebelumnya berniat ingin berkenalan jadi mengurungkan niatnya itu dan kembali menatap Viny. "Udah siap-siap? Kita ke Garut sekarang."

"Garut?!" pekik Shani terkejut ajakan pemuda asing ini secara tiba-tiba. Ia segera menatap Viny meminta penjelasan. Bagaimana mungkin Viny pergi sementara ia baru saja datang ke sini?

"Kamu bilang kapan-kapan 'kan waktu ngajak aku ke Garut?" Viny meneguk ludahnya melihat tatapan dingin Shani yang sudah berubah menjadi sedikit tajam. "Kok secepet ini?"

"Aku mau liat hasil panen petani itu mumpung dia baru aja panen kemarin. Aku udah izin sama Mama kamu kok."

"Iya, Mama udah kasih izin." Tiba-tiba Marissa datang dari arah luar dengan membawa tas kerja di tangan kanannya. Ia tersenyum ketika Anggara mencium punggung tangannya.

Shani diam, tenggelam dalam kebingungannya melihat semua ini. Siapa sebenarnya pemuda tampan berkacamata ini? Kenapa bisa terlihat sangat dekat dengan Marissa dan Viny? Shani mengusir pertanyaan yang mengelilingi pikirannya dan buru-buru duduk di samping Boy.

"Kita ikut, yuk?" ajak Shani memeluk lengan Boy. Sepertilah ini sikap yang selalu ia tunjukan jika sedang meminta sesuatu pada Boy. Tampak sangat manja tetapi juga menggemaskan di mata Boy.

"Garut di Indonesia 'kan? Jawa Barat?" tanya Boy pada siapapun orang yang mau menjawabnya. Ia memang berasal dari Indonesia tapi saat umurnya menginjak lima tahun, ia dipindahkan ke Wina jadi ia tidak begitu mengetahui kota di Indonesia.

"Iya, Bro," jawab Anggara, "lo ikut aja, ceweknya udah ngerengek gitu masa gak diturutin?"

"Tapi itu jauh banget, Shan. Kamu mau bolos Sekolah berapa hari?"

"Aaak aku mau ikuut kakak." Shani menarik-narik lengan Boy seperti anak kecil yang sedang merajuk ingin dibelikan es krim pada Ayahnya.

"Ikut aja, ongkos sama makan biar gue yang bayarin." Anggara benar-benar antusias ingin teman barunya itu ikut bersamanya. Karena jika dipikir-pikir memang kurang enak juga pergi hanya berdua bersama Viny, apalagi ke tempat yang jauh seperti ini.

"Ya udah iya, kita ikut." Boy mengacak puncak kepala Shani dengan gemas. Sementara gadis itu langsung memeluk tubuhnya dari samping sebagai ucapan terima kasih dan ungkapan kebahagiaannya karena diizinkan untuk ikut.

Melihat itu, Marissa mencuri pandang pada Viny untuk sekadar melihat ekspresi wajah putrinya itu dan menelisik apakah raut wajah Viny terlihat kesal atau tidak. Namun ternyata Viny malah tertawa memandangi sikap manja Shani pada kekasihnya. Marissa menghela napas lega, satu persatu kecurigaan mulai lenyap dari pikirannya. Ia berharap Viny dan Shani benar-benar sudah mengakhiri hubungannya.

"Makasih ya, Angga," Viny menggenggam tangan Anggara, "karna udah mau ajak adik aku."

Tubuh Anggara tiba-tiba saja membeku melihat senyuman dan merasakan telepak tangan Viny yang halus menyapa tangannya. Susah payah, Anggara meneguk ludahnya lalu menjawab ucapan itu dengan nada yang terdengar sangat gugup, "I-iya sama-sama."

"Ya udah aku beres-beres dulu ya." Viny melepaskan tangan Anggara kemudian berbalik dan kembali berjalan ke arah kamarnya.

***

Kinal memandangi Veranda dengan bibir mengerucut. Hari ini, bidadarinya itu enggan masuk sekolah. Masalahnya hanya karena obrolan sekilas siang kemarin selesai Kinal masak, di mulai dari Veranda yang mempertanyakan kapan Kinal melamarnya dan berakhir diperdebatan panjang karena Kinal tak punya jawaban apapun untuk itu. Kinal hanya memikirkan bagaimana cari uang yang banyak untuk memasukan Veranda ke Universitas yang paling bagus dan untuk menikah, ia sama sekali belum mempunyai bayangan apapun.

Kinal dengan terpaksa tidak ke kebun hari ini karena Veranda masih tak mau membuka suaranya. Gadis itu hanya duduk mematung dengan pandangan lurus ke depan tanpa melakukan apapun, ponselnya pun tidak ia sentuh sama sekali.

"Ve." Kinal menyentuh lembut bahu Veranda tapi dengan cepat Veranda menggeser posisi duduknya menjauhi Kinal hingga tangan Kinal terhempas ke bawah. "Ah, kamu masih marah?"

Veranda melipat kedua tangannya di depan dada tanpa mau melirik ke arah Kinal sedikitpun.

Nafas Kinal berembus keras, "Itu masih lama banget, Ve. Kenapa kamu tiba-tiba mikirin pernikahan kita?"

"Kenapa kamu mempertanyakan kenapa aku mikirin pernikahan kita?" Veranda menatap Kinal dengan tegas, "pertanyaan aku sederhana, Nal. Pertanyaan itu seharusnya melahirkan jawaban, kamu jangan menciptakan pertanyaan di atas pertanyaan." Mata Veranda memicing kesal menatap Kinal. Dengan gerakan cepat, ia kembali membuang wajahnya dari Kinal.

"Kita ciuman yuk," ajak Kinal karena biasanya hanya ciuman yang bisa meredakan amarah Veranda. Namun sepertinya itu tak mempan karena Veranda langsung menangkupkan telepak tangannya di depan mulut.

Kinal mengacak rambut pendeknya merasa sangat frustasi. Ia melirik ke arah jam yang menunjukan pukul sebelas siang lalu kembali memandangi Veranda, gadis itu masih mengenakan pakaian tidurnya. Kinal bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan keluar rumah setelah sebelumnya menyambar kunci motor yang tergantung di dinding.

"Ah, nyebelin!" pekik Veranda setelah mendengar suara mesin motor yang semakin menghilang di indera pendengarannya. "Kinal jelek!!!"

Tidak lebih dari satu jam, Kinal kembali dengan membawa setengah karung tomat sisa panennya. Kinal membopong karung itu ke dalam rumah. Matanya mengitari sekeliling mencari Veranda yang sebelumnya duduk di atas karpet. Ia menyimpan karung berisi tomat itu lalu membuka pintu kamar. Senyumannya terukir ketika melihat Veranda tidur di bawah selimut dengan memeluk bantal yang biasa Kinal gunakan. Kinal menggelengkan kepalanya kemudian bertanya dalam hati; kenapa semakin hari Veranda semakin terlihat menggemaskan? Padahal dulu di Jakarta Veranda jauh lebih dewasa darinya.

Kinal menutup pintu kamar dengan perlahan karena takut membangunkan tidur Veranda yang tampak sangat lelap. Jelas saja, Veranda baru tidur jam tiga pagi karena tak berhenti merajuk dari semalam.

Setelah mencuci piring dan membersihkan seluruh rumah, Kinal duduk di karpet dengan tangan yang sibuk membaca buku sekolah Veranda. Ini yang selalu Kinal lakukan jika ada waktu senggang, ia pasti menyempatkan untuk mempelajari semua mata pelajaran yang seharusnya juga ia ikuti di Sekolah. Gerakan tangan Kinal terhenti ketika tak sengaja pandangannya melirik ke arah karung yang sebelumnya akan ia simpan di dapur untuk bahan masakan, sebagian lagi akan ia bagikan pada tetangga terdekat. Kinal buru-buru menyimpan buku itu dan berdiri mendekati karung berisi tomatnya.

Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore saat Veranda terbangun dari tidurnya. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya sejenak kemudian duduk di samping kasur. Tangannya segera saja memegangi perutnya yang sudah sangat lapar karena baru diisi teh manis dan gorengan tadi pagi.

"Kinal," seru Veranda sambil berdiri dari ranjangnya. Tetap saja meskipun sedang marah, nama Kinal selalu jadi kata yang pertama kali ia ucapkan saat kedua matanya terbangun setelah berkelana ke dunia mimpi.

Veranda berjalan dengan langkah gontai keluar kamar. Mata yang sebelumnya setengah terpejam kini terbelalak lebar melihat ruang tengahnya yang sepertinya sudah disulap oleh Kinal. Karpet yang sebelumnya polos, sekarang dihiasi oleh puluhan tomat yang dibentuk hati di tengah-tengah karpet, di sampingnya banyak taburan bunga. Pandangan Veranda naik ke dinding rumah yang ditempeli huruf terbuat dari karton yang bertuliskan 'Selamat hari pernikahan, VeNal'

"Nikah?" Veranda mengucak kelopak matanya kemudian menjuruskan pandangan pada Kinal yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa sesuatu di kedua tangannya. Itu adalah nasi putih yang dibentuk kerucut seperti tumpeng, di sampingnya ada beberapa telor, tempe, tahu dan goreng ayam. Di puncak nasi yang digulung oleh sedikit daun pisang, terdapat cincin putih.

"Kalo nikah sekarang, aku belum siap," Kinal mengangkat nyiru kecil itu kemudian berhenti tepat di depan Veranda, "tapi kalo latihan nikah, aku bisa." Kinal menengadahkan kepalanya sejenak ke atas untuk mengumpulkan nyalinya yang berceceran, meski hanya latihan tetapi tetap saja ia merasa gugup ketika bola mata Veranda memandangnya lekat-lekat.

Dirasa cukup, Kinal menarik napas dalam dan diembuskan perlahan sebelum akhirnya berkata, "Jessica Veranda, aku meminangmu dengan nasi tumpeng ala-ala, tomat berbentuk hati yang aku tanam sendiri dan cincin KW." Kinal mengangkat nyiru kecil itu kehadapan Veranda kemudian tersenyum lebar.

"Kinaaal!!" Veranda menangkupkan satu tangan di depan mulut untuk menahan jeritannya. Matanya berbinar bahagia menatap kekasihnya itu.
"Aku mau aku mau!!" Veranda meloncat-loncatkan tubuh saking bahagianya mendapat kejutan kecil ini dari Kinal.

Kinal semakin melebarkan senyumannya melihat kebahagiaan Veranda. Ia menyimpan nyiru berisi nasi itu di atas karpet kemudian mengambil cincin yang ia beli di tukang mainan. Kinal menggenggam tangan kanan Veranda lalu diciumnya dengan lembut sebelum akhirnya memasangkan cincin itu di jari manis Veranda. "Cantik," gumamnya pelan.

Veranda tersenyum senang dan langsung mendekap erat tubuh kekasihnya itu, "Makasih, Kinal. Aku seneng banget."

"Iya, sayang." Kinal mencium lembut pipi Veranda sambil mengusap kepala belakangnya. Jika ia tau sesederhana ini membuat Veranda bahagia, ia tak akan menunggu Veranda marah dulu seperti tadi. "Kalo aku udah siap, pernikahan ini bukan cuma latihan. Aku janji bakal nikahin kamu dan gak akan pernah ngelepasin kamu."

"Iya, Nal. Aku bahagia benget sekarang." Veranda menenggelamkan wajahnya di leher Kinal tanpa melenyapkan sedikitpun senyumannya. Saat ini, ia benar-benar sangat bahagia.

"Punten, Teteh." Dimas membuka pintu rumah Kinal lalu tersenyum lebar melihat Kinal sedang tersenyum ke arahnya dengan Veranda yang masih berada dalam pelukannya. Dimas mengangkat sedikit kerah jas hitamnya kemudian membenarkan letak iket tali yang melingkar rapi di kepalanya.

"Masuk, Dim." Kinal melepaskan pelukannya untuk mempersilahkan Dimas duduk di atas karpet.

Veranda menoleh, menatap Dimas dengan alis terangkat tinggi, "Kamu mau ke mana? Rapi banget, wangi lagi."

"Saur teh Kinal ab-ah, maksudnya kata teh Kinal kalian berdua nikah." Dimas duduk bersila di atas karpet, ia menghirup aroma wangi bunga yang terasa sangat menenangkan.

Kinal tertawa kecil, "Padahal aku udah bilang loh pernikahannya cuma latihan jadi dia gak usah pake baju serapi ini."

"Teu terang atuh." Dimas mengusap lehernya merasa sedikit malu karena sepertinya telinganya kurang teliti.

Kinal menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ya udah, Ve mandi dulu gih. Abis itu kita makan-makan sama Dimas." Kinal duduk setelah melihat Veranda masuk ke dalam kamar mandi.

"Dua jam-an lagi kayanya kakak saya nyampe." Dimas melirik jam yang tertempel di dinding lalu menatap Kinal, "Tomatnya udah disiapin 'kan?"

"Udah kok." Kinal tersenyum sendiri melihat ruangannya. Jika latihan saja bisa sebahagia ini, bagaimana jika suatu saat nanti ia benar-benar akan menikahi Veranda? Kinal yakin, ia akan jadi orang paling bahagia di dunia ini.

"Aa ke sininya gak sendiri, Teh." Dimas yang bosan, akhirnya membuka bahan pembicaraan sambil menunggu Veranda selesai mandi.

"Oh ya? Sama siapa?" Kinal mengangkat kepalanya menatap wajah manis pemuda itu. Benar-benar manis menggunakan pakaian adat Sunda. Tanpa sadar Kinal terkekeh pelan, selain polos, Dimas juga terlihat sangat menggemaskan.

"Tong seuri atuh, Teh ah. Isin."

"Oke-oke." Kinal mengembuskan nafas dan memasang ekspresi wajah serius, "Jadi sama siapa?"

"Calon istrinya."

"Udah mau nikah?"

"Ngga tau juga, soalnya dijodohin."

Kinal tersenyum, "Masih ada orangtua jodohin anaknya jaman sekarang."

"Teh, bantu siapin di rumah ya? Temen-temen aa ge ikut soalnya."

"Siap, abis makan kita bertiga nyiapin makanan buat nyambut tamunya."

***

"Pantat gueeee!!" pekik Shani memegangi pantatnya sendiri yang baru saja turun dari mobil. Helaian rambutnya langsung terhempas cukup keras oleh angin. Shani menggedikan tubuhnya, ini masih sore tapi udara di daerah ini sudah terasa sangat dingin.

"Akhirnya." Viny meregangkan ototnya ke sembarang arah kemudian bersandar lemas di pintu mobil. Matanya melayang memandangi sekeliling yang dipenuhi oleh pepohonan. Meski dingin tapi udara di daerah ini terasa sangat sejuk. Sepertinya ini akan jadi liburan dadakan yang sangat menyenangkan, apalagi ada Shani di sampingnya.

"Kak," seru Shani memeluk lengan Viny lalu menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu Viny, "pantat aku sakit banget."

"Sama," jawab Viny tanpa menatap Shani. Pandangannya masih betah melihat ke sekeliling yang tampak sangat asri.

"Usapin," bisik Shani sangat pelan.

Viny berdehem kemudian mengalihkan pandangan pada Boy dan Anggara yang sibuk menurunkan barang dari mobil. Viny tersenyum miring lalu merangkul pinggang Shani, "Nanti aku usapin di kamar."

"Kita sekamar nih?" Shani menatap Viny yang sudah mengalihkan pandang ke arahnya. Matanya mengerling genit dan menggoda tentunya.

"Jelaslah sekamar." Viny tersenyum memandangi wajah cantik Shani dari dari samping. Bibir merah mudanya yang tebal membuat dada Viny berdebar tak beraturan ketika pikiran kotor memenuhi otaknya saat ini. Viny segera mengerjap dan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Ayo, Vin," Anggara mengulurkan tangannya pada Viny, "rumah aku di depan tuh."

Viny menggapai uluran tangan itu dan dengan terpaksa melepaskan tangan kirinya yang sebelumnya melingkar di pinggang Shani. Sekilas ia melirik ke arah wajah Shani yang terlihat sangat kesal tapi detik berikutnya ia langsung mengalihkan pandangan saat kekosongan di tangan Shani yang sebelumnya diisi olehnya, kini digantikan oleh genggaman tangan Boy. Viny meringis pelan saat rasa sesak tiba-tiba saja menyelimuti dadanya, kenapa masih harus ada rasa sakit di tengah kebahagiaannya? Viny menarik napas dalam, mencoba untuk melepaskan rasa sakit itu bersama dengan embusan nafas yang keluar dari mulutnya.

"Adi urang nu paling ganteeng!!!" Anggara melepaskan tangan Viny dari genggamannya kemudian merentangkan tangannya lebar-lebar saat melihat seorang pemuda berpakaian adat sunda berlari cepat menghampirinya. Tak lama, ia merasakan sebuah pelukan yang sangat erat. Tubuhnya sampai terdorong beberapa langkah ke belakang karena pelukan itu.

Viny hanya tersenyum memandangi adik Anggara yang sepertinya sangat merindukan kakaknya itu, terlihat dari pelukannya yang sangat erat. Pemuda ini sepertinya masih sangat muda dan juga manis, wajahnya mirip dengan Anggara. Jelas saja.

Anggara melepaskan pelukannya kemudian menepuk kedua bahu adiknya itu cukup keras. Ia tersenyum manis, rasanya sudah lama ia tak bertemu karena terlalu sibuk di kota. "Ini Dimas, Vin. Jagoan keluarga aku yang paling berani soalnya dia tinggal di sini sendiri."

Dimas mengalihkan pandangannya pada Viny kemudian menyunggingkan senyumannya dan segera menggenggam tangan. "Teteh ini yang dijodohin sama aa?"

"Iya, ini calon tunangan aa." Anggara tersenyum sambil mengusap lembut rambut pendek Viny.

Tangan Shani terlepas dari genggaman Boy secara tiba-tiba ketika merasakan hentakan yang sangat keras di dadanya karena ucapan Anggara. Lututnya terasa sangat lemas, seluruh tenaganya terserap habis entah ke mana. Dada Shani naik turun tampak sedang menahan emosi, rasa sakit dan kekecewaannya.
Viny memaksakan senyumannya pada Dimas kemudian mengalihkan pandangan pada Shani yang tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Viny membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu tapi terhenti karena suara Shani lebih dulu menghentikannya.

"Ka-kamu masuk duluan, Boy. Aku cari warung dulu." Shani berbalik dan langsung berlari cepat. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya turun setetes demi setetes dan langsung menderas dalam hitungan detik.

Shani berhenti ketika melihat jurang di hadapannya yang dihalangi oleh batu berukuran cukup besar. Ia menangkupkan sepasang tangannya di depan wajah lalu menangis sejadi-jadinya meratapi nasibnya sendiri. Baru saja ia merasakan kebahagiaan karena bisa kembali bertemu dengan Viny, kenyataan pahit kini menamparnya dengan sangat keras.

Viny mengatur nafasnya yang tersenggal tepat di belakang Shani. Ia mendesah pelan melihat punggung Shani yang bergetar hebat karena tangisannya.

"Jangan nangis."

Shani langsung berbalik kemudian mendorong tubuh Viny yang hendak memeluknya, "Jangan nangis?!" jeritnya keras tanpa memperdulikan di mana saat ini ia berada, "kamu nyuruh aku buat gak nangis ngeliat pacar aku sendiri mau tunangan sama orang lain?!" Shani mendorong kembali tubuh Viny yang lagi-lagi hendak memeluknya, "jangan pegang aku!"

"Shan." Viny mencoba untuk menggenggam tangan Shani tapi langsung ditepis dengan kasar. "Dengerin aku dul-"

"-Dengerin apa? Rencana pertunangan kamu?"

"Ngga, ak-"

"-Ngomongin soal perjodohan?!"

"Bukan, Shan. Dengerin dul-"

"-Atau pernikahan?!"

"Shani!" Viny menarik tangan Shani dengan kasar kemudian mencengkram kuat pergelangan tangannya. Tenaga Shani tak cukup mampu untuk melepaskan cengkramannya yang kuat itu. "Kamu bisa dengerin aku dulu gak?!"

"Sakit, kakak." Shani memejamkan mata dan kembali menangis, sangat keras.

Viny mengembuskan napasnya lalu menarik tubuh Shani ke dalam pelukannya, "Sayang," serunya dengan sedikit tegas ketika Shani berusaha memberontak dari dekapannya, "kamu jangan khawatir soal perjodohan, itu gak akan pernah ada."

"Pembohong," desis Shani memukul keras bahu Viny beberapa kali berusaha agar ia bisa terlepas dari dekapan kuat Viny. Namun tenagannya benar-benar sangat lemah sekarang hingga ia tidak bisa berkutik sedikitpun. "Lepasin aku!!!"

"Ini cuma soal waktu, Shan. Aku bakal minta restu pelan-pelan sama orang tua kita." Viny mencium lembut kepala Shani beberapa kali berusaha untuk menenangkannya.

Setelah sedikit tenang, Viny melepaskan pelukannya lalu menggenggam kedua tangan Shani, "Soal perjodohan, aku sama Anggara cuma pura-pura mau di depan keluarga tapi aku sama dia udah bikin janji kalo perjodohan itu gak akan pernah terjadi. Kamu jangan khawatir, Shan. Aku tetep punya kamu."

"Gimana kalo orang tua kita gak ngerestuin hubungan kita?!"

"Mereka pasti ngerestuin kita tapi kalo ngga," Viny mendekatkan wajahnya untuk melanjutkan ucapannya lewat bisikan pelan.

Tubuh Shani tiba-tiba saja menengang, "Ka-kamu?"

"Aku berani." Viny mencium lembut kedua tangan Shani secara bergantian. Setelah itu, ia kembali menarik tubuh Shani ke dalam dekapannya. Kali ini Shani berhenti memberontak dan membalas pelukannya dengan sedikit ragu.

"Wow, cakep-cakep tuh cowok kota," ucap Veranda yang sedang mengintip di dinding pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. "Kata bocah tengil mereka bawa pacarnya ya ke sini? Pasti cakep-cakep."
Kinal mendengus malas mendengar itu, "Kamu daripada gosip, mending bantuin aku bawa kue ke depan."

"Ah, marah-marah mulu istri aku," gumam Veranda kemudian berbalik menatap Kinal, "cium dulu," lanjutnya sambil memanyunkan bibirnya.

Kinal mengantupkan kedua belah bibirnya di bibir Veranda yang masih mengerucut ke depan. Hanya sebentar, Kinal kembali mundur lalu tertawa melihat ekspresi Veranda yang terlihat masih syok. "Enak?"

"E-enak," jawab Veranda sedikit gugup dan buru-buru mengambil nampan berisi kue untuk menyembunyikan pipinya yang merona merah. Veranda menjilat bibirnya sendiri mengecap rasa yang bibir Kinal tinggalkan di sana, "Hmm, kamu abis makan apa? Kok manis banget?"

"Empat potong kue." Kinal berbisik pelan tidak ingin suaranya terdengar oleh Dimas.

Veranda menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian melenggang dengan anggunnya menuju ruang tamu. Senyuman manis ia tunjukan pada ketiga pemuda tampan yang sedang menatap ke arahnya. Veranda menyimpan kue itu lalu duduk di kursi diikuti oleh Kinal yang membawa minuman.

"Wah pantesan Dimas betah di kampung, dia dikelilingi sama perempuan cantik ternyata." Anggara berdecak kagum memandangi Veranda dan Kinal secara bergantian.

"Ieu mah teteh-teteh geulis, teteh Dimas dua-duanya."

"Bener itu?" tanya Anggara pada Kinal dan Veranda.

"Iya, Dimas udah kaya adik kita sendiri," jawab Kinal dengan senyuman manisnya.

"Gede milik kehed siah." Anggara tertawa kemudian menepuk keras bahu Boy, "Jangan ngelamun di kampung, tar kesurupan."

"Gak ngelamun," jawab Boy sambil melirik ke arah pintu berharap Shani muncul di sana, "gue takut cewek gue kenapa-kenapa."

"Santai aja, dia sama kakaknya ini, pasti amanlah." Anggara mengalihkan pandangan pada Dimas, "Mana? Katanya Petani itu udah ada di rumah."

"Ieu Teh Kinal petani." Dimas mengangkat dagunya menunjuk pada Kinal.

"Serius?!" Boy yang sedari tadi diam jadi ikut berbicara, "Ini petani yang lo bilang panen pertama udah untung puluhan juta?"

Anggara menggeleng bingung sedikit tak percaya, "Tong hereui Dim, bisi dialungkeun ka balong."

"Bener, a."

"Iyaa aku Petani yang udah deal kerja sama, sama Perusahaan kamu." Kinal menengahi karena tidak ingin adiknya itu benar-benar dilemparkan oleh kakak kandungnya.

Veranda tiba-tiba berdehem, "Ekhem aku kamu ekhem."

"Gue petani yang udah deal kerja sama, sama perusahaan lo." Kinal mengulang kembali ucapannya, sementara Veranda langsung tersenyum lebar penuh kemenangan.

"Wih keren banget, ah pokoknya kita harus jad-"

"-Kamu duluan masuk, kak. Aku malu, liat, banyak sendal berarti di dalemnya banyak orang."

"Ah, aku juga malu. Kamu biasanya gak punya malu, masuk duluan gih."

"Aku malu aku malu."

"Masuuk iih."

Kinal langsung menatap Veranda kemudian tersenyum muram, "Mirip suara Viny ya."

Veranda mengeluarkan nafas panjang kemudian mengangguk lemas, "Iya, Nal. Aku jadi kang-"

"-Permisi."

TBC

Buat yang begadang.... wkwk

Fortsæt med at læse

You'll Also Like

35.3K 5.3K 20
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
71.3K 197 5
FEM HYUCK! KARYAKARSA ONLY! JOROK BANGET! MINOR DNI! MARKHYUCK AREA "Kisah aca dan selingkuhannya, sopir angkot langganan aca ke pasar, abang malik"
275K 3.3K 77
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
39.6K 7.2K 79
Marsha anak yang sangat pintar di sekolahnya, dengan prestasi yang ia dapat ia lolos ke perguruan tinggi negeri yang ia mau selama ini. Namun, masala...