Cinta

By iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
18
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
31
32
34
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
43
Kebahagiaan VeNal
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Keputusan akhir
Akhir Dari Semuanya?
Akhir Cerita

33

3.9K 513 64
By iiaMlk

Setelah hampir lima menit lebih Shani memeluk Viny, ia melepaskan pelukannya kemudian menghadiahkan satu tamparan keras yang mendarat tepat di pipi kanan Viny. Kedua tangan Shani mencengkram erat kerah piyama tidur kekasihnya itu. Dengan tenaga penuh, Shani mendorong tubuh Viny ke arah pintu jati yang menjulang tinggi.

"Aku bakal kasih hukuman karna kamu udah ninggalin aku selama ini!" bentak Shani memecah keheningan yang sebelumnya hanya dipenuhi oleh ceriap burung malam dan suara samar dari perairan di belakang rumah Viny.

Bulir-bulir air mata jatuh di mata Viny saat bola matanya menangkap wajah cantik Shani yang terlihat sedang marah. Ditengah tangisannya, Viny tersenyum bahagia karena setelah berpisah selama beberapa bulan akhirnya ia bisa kembali menatap wajah cantik itu, hanya lewat dua bola mata pekat itu Viny menemukan sumber ketenangan dan kenyamannya. Kebahagiaannya terlalu besar sampai ia tak memperdulikan emosi Shani yang berapi-api, sekalipun api itu membakar habis raganya, ia akan tetap merasa bahagia karena berakhir di samping orang yang sangat ia cintai ini.

"Kenapa senyum-senyum?" Shani memindahkan sepasang tangannya untuk mencekik leher Viny tanpa tenaga sedikitpun, "kenapa harus aku yang nyamperin kamu?! Kenapa aku yang harus berjuang?! Sementara kamu langsung nyerah dan pergi! Kamu tega ninggalin aku padahal waktu itu aku lagi pingsan!!" Shani menarik tubuh Viny kemudian membantingkannya di pintu, ia bisa mendengar ringisan pelan dari bibir Viny karena bantingan kecil di kepalanya. Namun Shani sama sekali tak peduli, ia harus menghukum gadis manis kurang ajar ini.

Viny mencium lembut dahi Shani kemudian menggenggam kedua pergelangan tangan Shani yang berada di lehernya, "Aku gak bisa ngungkapin kebahagiaan aku ngeliat kamu di sini. Ini kaya mimpi, Shan. Aku bahagia." Lagi, air mata Viny menetes karena tak kuasa menahan rasa bahagia dan harunya.

"Kamu jahat!" Shani menarik tangannya lalu melayangkan kembali pada Viny. Telepak tangannya bergetar tepat di samping pipi Viny. Untuk beberapa detik, ia memandangi wajah Viny yang kini sudah kembali menutup mata seakan menerima apapun yang akan ia berikan. Shani mengurungkan niatnya kemudian memeluk erat leher Viny. "Aku kangen kamu!!!" Shani memukul keras bahu Viny, air matanya jatuh lebih deras lagi.

"Aku juga, Shan." Viny merangkul pinggang Shani dengan erat dan menenggelamkan wajahnya di leher jenjang Shani yang tertutup rambut. Matanya terpejam menghirup harum tubuh Shani yang sudah lama tak ia rasakan. Bibirnya mendaratkan beberapa kecupan di sana.

"Ada banyak hal yang harus aku ceritain tapi waktu kita mepet." Shani melepaskan pelukannya kemudian menatap Viny lekat-lekat. Sepasang tangannya menggenggam erat tangan Viny. "Mama Marissa gimana? Aku takut diusir kalo dia tau aku di sini, lebih parah lagi Mama ngajak kamu pergi lagi. Aku gak mau."

"Kamu ke sini sendiri?" Viny melepaskan satu genggaman untuk mengusap lembut air mata Shani yang terurai dikedua pipinya. Ia menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Shani ke belakang telinganya.

"Aku sama Boy." Shani menggigit bibir bawahnya memperhatikan garis wajah Viny yang bingung, tatapannya seolah menanyakan siapa pemuda yang ia maksud. "Dia temen aku di Wina."

Tanpa bertanya lagi, Viny mengangguk paham kemudian mendekatkan wajahnya tepat di telinga Shani, membisikan rencana kecil untuk ke depannya yang mungkin saja akan menepis semua kecurigaan Marissa. Viny mengakhiri bisikannya dengan kecupan singkat di telinga Shani.

"Ok, kayanya aku udah lama gak disentuh." Shani tersenyum miring dengan tatapan menggodanya. Meskipun tampak menyebalkan di mata Viny, tapi Viny sangat merindukan tatapan itu.

"Aku masuk ya." Viny mencium lembut bibir Shani lalu masuk ke dalam rumah. Ia memberikan senyuman termanisnya pada Shani sebelum akhirnya menutup pintu rumahnya.

***

Boy melepas jaketnya ketika memandangi punggung Shani yang bergetar karena ke dinginan. Ia menyelimuti tubuh Shani menggunakan jaket itu lalu duduk di sampingnya dengan membawa makanan dalam genggamannya. "Shan, ini maka-"

"Boy, makasih banyak ya buat bantuan kamu." Shani tersenyum kikuk menatap pemuda tampan itu. Dengan ragu, Shani memeluk tubuh Boy dari samping. "Aku seneng banget bisa ke sini."

Boy mematung selama beberapa detik mendengar penuturan Shani yang membuat jantungnya berdetak cepat secara otomatis. Pemuda yang orang lain lihat gagah ini ternyata pengecut jika berhadapan dengan orang yang ia cintai. Rasa gugup kembali menyerangnya hingga membuka mulutpun terasa sangat sulit. Ia merangkul pundak Shani lalu membuang nafas panjangnya. Setelah itu ia baru bisa tersenyum lebar saat merasakan kehangatan meresap ke dalam rongga dadanya.

Boy mencengkram plastik makanan dalam genggamannya, ia mengedarkan pandangan pada taman ini yang tampak sangat indah, suasananya sepi tetapi tak memberi kesan mencekam sedikitpun. Tiba-tiba ucapan Gio tempo hari itu terngiang dipikirannya, saat temannya itu menyuruhnya untuk mengungkapkan perasaan pada Shani. Sepertinya ini waktu yang tepat karena jarang-jarang mereka ada di tempat sepi, hanya berdua.

"Shan, aku sayang kamu."

Shani mengangkat sedikit kepalanya menatap Boy kemudian tersenyum tipis sambil mengangguk pelan, "Iya, aku juga."

"Ka-kamu serius?" Boy menunduk menatap Shani tak percaya. Ia benar-benar tidak menduga akan secepat ini Shani membalas perasaannya.

Shani hanya tersenyum kemudian mengeratkan pelukannya pada Boy. Boy menghela napas lega lalu tersenyum lebar merasa sangat bahagia, tangan yang sebelumnya di bahu Shani kini mulai naik, mengusap lembut puncak kepala Shani.

Pemandangan itu mematikan api pada sepasang mata yang tengah memandangnya dari lantai dua. Dada Viny terbakar, berkali-kali tangannya yang mengepal memukul keras dinding dihadapannya. Namun tak lama, Viny mengembuskan napas keras lalu bersandar di dinding tanpa melakukan apapun. Ternyata sulit sekali untuk bahagia, ia harus menapaki rasa sakit beberapa kali sebelum hatinya benar-benar mampu menggapai kebahagiaan. Itupun masih samar, Viny tak bisa menerka apa ia akan bahagia atau kembali mengecap rasa sakit dari perpisahan.

***

Shani terbangun dari tidurnya saat merasakan usapan lembut di pipinya. Secepat kilat, matanya melirik pada Marissa yang berdiri di sampingnya. Namun ia pura-pura tidak melihat itu dan langsung mengusap lembut pipi Boy. "Sayang, aku masih ngantuk."

Marissa yang masih terkejut dengan keberadaan Shani, tentu semakin terkejut lagi mendengar Shani memanggil pemuda itu dengan sebutan sayang. Apa pemuda tampan ini kekasih Shani? Jika begitu, untuk apa Shani kemari? Bukankah kemungkinan paling tepat, Shani ke sini untuk menemui kekasihnya, yaitu putrinya sendiri? Apa Shani dan Viny sudah mengakhiri hubungannya? Marissa memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut karena pertanyaan beruntun di kepalanya.

Boy memutar bola matanya ke samping pada Marissa. Shani mengikuti gerak ekor mata Boy dan langsung berdiri ketika pandangannya bertemu dengan Marissa. Ia memasang ekspresi wajah sedikit kaget sebelum akhirnya tersenyum manis. "Mah, aku kangen." Shani segera memeluk Marissa.

Marissa menghela napas kemudian memeluk Shani dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Bagaimanapun juga, ia tetap menganggap Shani sebagai anaknya meskipun ia tak akan pernah menyetujui hubungan itu.

Dirasa cukup, Shani melepaskan pelukannya kemudian tersenyum lebar pada Marissa, "Kenalin, Mah. Ini pacar aku."

Boy mengulurkan tangannya pada Marissa, "Boy, Tante."

"Marissa." Dengan wajah sedikit bingung, Marissa menggapai uluran tangan Boy lalu menatap wajah Shani yang sedang tersenyum lebar memandangi wajah samping Boy. Tatapannya jelas sekali menunjukan kekaguman sekaligus kebahagiaannya akan sosok orang yang berada dihadapannya itu.

"Viny?" tanya Marissa tanpa basa-basi.

"Itu biar jadi masa lalu aja ya Mah." Shani kembali menatap Marissa, "Dia kakak terbaik aku setelah kak Ve."

Meski masih sedikit ragu, Marissa menghela napas lega dan berharap apa yang Shani ucapkan benar. Senyuman Marissa di wajahnya semakin lebar, "Yu masuk ke dalem sambil cerita kenapa kalian bisa sampe sini dan tidur di Taman."

"Iyaa." Shani menggenggam tangan Boy kemudian berjalan mengikuti Marissa. Mata Shani melayang ke sekeliling rumah ini. Dulu ia menghina Viny dan Kinal orang kampung yang tak lebih kaya dari orang tuanya. Namun setelah melihat rumah megah ini, Shani jadi malu dengan hinannya dulu. Untung saja itu hanya masa lalu.

"Oh, kamu mau ke sini?" Viny menuruni anak tangga satu persatu dengan ponsel yang menempel ditelinganya. Suaranya sedikit ia keraskan saat sudut matanya melihat Marissa yang sedang memandangnya dari kejauhan. "Dua jam lagi aku tunggu ya." Viny tertawa mendengar jawaban Anggara dari sebrang sana sampai tak terasa langkahnya sudah sampai di anak tangga terakhir. "Oke, sampe ketemu ya Anggara."

Marissa tersenyum lebar mendengar nama pemuda yang ia jodohkan disebutkan oleh Viny. Dari senyuman Viny, jelas sekali gadis itu merasa senang setelah mendapat panggilan dari Anggara. Marissa berdehem keras, "Vin, liat siapa yang dateng."

Viny yang sebelumnya pura-pura memainkan ponsel jadi mengangkat kepalanya menatap Shani yang sedang tersenyum ke arahnya. Viny tersenyum kemudian berjalan beberapa langkah dan langsung menarik tubuh Shani ke dalam pelukannya.

"Kamu ke mana aja? Aku kangen." Viny mengusap lembut rambut Shani. Ia bisa melihat, kedua bola mata Marissa mengawasi gerak-geriknya dengan sangat intens.

"Aku baik, kak." Shani tersenyum dan membalas pelukan Viny. Hanya sebentar, ia kembali melepaskan pelukannya lalu mengalihkan pandangan pada Boy. "Ini kak Viny, dia sahabat aku tapi udah kaya kakak."

"Wah, Shan. Siapa nih?" Viny tersenyum lalu mengulurkan tangannya pada Boy, "Viny," ucapnya setelah tangannya itu terjabat.

"Ini pacar aku." Shani buru-buru melepaskan tangan Boy dari genggaman Viny karena tidak ingin kekasihnya itu bersentuhan dengan pemuda tampan yang sekarang juga resmi menjadi kekasihnya.

"Pacarnya ganteng tinggi, kok kamu jelek sih Shan?" Viny tertawa kecil menggoda Shani. Sementara Shani hanya mengerucutkan bibir bawahnya dengan pipi mengembung lucu.

Marissa ikut tertawa melihat ekspresi Shani yang sangat menggemaskan, tetapi itu hanya sebentar karena setelahnya Shani ikut tertawa. Marissa menghela napas menyudahi tawanya itu kemudian menatap Viny, "Anter Boy sama Shani ke kamar tamu."

"Sekamar, Mah?" tanya Shani.

Marissa kembali tertawa, "Ya nggaklah, kamar tamu di depan kamar Viny ada dua. Kalian bisa langsung pake soalnya baru diberesin kemarin. Mama sama Oma ke kantor dulu ya, kita ngobrol sore nanti."

"Iya, hati-hati ya Mah." Viny memasukan ponsel ke dalam saku celananya kemudian menaiki anak tangga lagi. Nafasnya berembus kasar, ternyata sulit sekali berlakon seolah ia baik-baik saja melihat pemandangan tadi. Jujur saja, meski ia tau Shani hanya pura-pura tapi ia tidak bisa menampik rasa sesak di dadanya melihat mereka berdua saling menggenggam.

"Mandi yang bersih yaa," ucap Boy mengacak puncak kepala Shani saat langkahnya sampai di depan kamar.

"Iya iya bawel." Shani melirik sekilas pada Viny yang sedang bersekap dada dengan tatapan sedikit tajam. Shani menelan ludahnya dengan susah payah dan buru-buru menepis tangan.
"Ya udah gih masuk. Aku mau mandi dulu." Shani tersenyum pada Boy lalu masuk ke dalam kamar yang disiapkan untuknya.

Shani menyimpan tas ranselnya di atas kasur. Matanya mengantup sejenak ketika mendengar suara pintu tertutup dengan bantingan yang cukup keras diikuti oleh langkah kaki yang berjalan mengikutinya. "Kita baru ketemu, kak. Aku gak mau berantem." Shani membuka matanya kemudian membuka tas itu untuk mengambil handuk dan baju gantinya.

"Aku gak ngajak berantem." Viny merengkuh tubuh Shani dari belakang kemudian menenggelamkan wajahnya pada tengkuk Shani yang tertutupi rambut.

"Aku kangen kamu." Air mata Shani turun menyelusuri pipinya dengan perlahan. Tangan Shani sedikit bergetar ketika menggenggam tangan Viny yang melingkar di pelukannya.

Shani merindukan semua hal tentang Viny, senyumannya, suaranya, candaan garingnya, sentuhan dan pelukannya. Ia sama sekali tak menyangka bisa kembali bertemu dengan Viny. Hati yang sebelumnya nyaris mati, kini mendapat nafasnya kembali. Semangat hidup yang sebelumnya hilang, kini terlahir kembali. Shani mengangkat tangan Viny lalu mengecup punggung tangannya beberapa kali.

"Kamu tau alamat aku dari siapa?" Viny menyimpan dagu di bahu Shani lalu memandangi ekspresi wajah Shani dari samping.

"Kak Kinal," jawab Shani dengan nada sendu.

"Kamu dapet kontak mereka?!" Viny membalikan tubuh Shani dengan satu gerakan agar menghadap ke arahnya, "mereka di mana sekarang?"

"Kak Ve ngasih tau lewat dm ig, mereka baik-baik aja, keliatan bahagia banget dari foto yang mereka kirimin. Aku pengen ngobrol atau denger suaranya sebentar aja tapi kak Ve langsung hapus akun sebelum aku bales dm dia." Mata Shani berkaca-kaca, siap meluncurkan kembali air matanya, "Aku kangen mereka."

"Mereka pasti pulang." Ibu jari Viny mengusap air mata Shani yang nyaris saja terjatuh, "Selama ada aku, air mata ini gak boleh ada."

"Kenapa kita harus ngalamin banyak masalah? Mereka bersembunyi dari jauhnya jarak sementara kita sekarang harus bersembunyi dibalik kebohongan. Kapan kita bisa bersama tanpa harus sembunyi dari apapun dan siapapun? Aku capek, kak."

"Selama kaki kita masih berpijak di atas tanah, kita pasti akan bertemu sama banyak masalah. Itu udah hukum alam, Shan." Sekali lagi, Viny menghapus air mata Shani yang kembali jatuh. "Tapi apapun masalahnya, aku bisa hadapin itu selama kamu ada di samping aku."

"Kamu yang pergi sebelumnya!" Shani memukul bahu Viny sedikit keras.

"Itu terakhir aku pergi. Selanjutnya aku gak akan pergi lagi." Viny mencium dahi Shani kemudian turun menjelajahi setiap sudut wajah Shani yang sudah lama tak terjemah oleh bibirnya.

Mata Shani terpejam saat merasakan sesuatu lebam menyentuh bibirnya. Ia membuka sedikit bibirnya membiarkan Viny mengecap bibir atas dan bawahnya secara bergantian. Setelah cukup, Viny melepaskan ciumannya kemudian memeluk Shani.

***

Veranda duduk di depan sekolah kemudian membuka sepatunya. Ia membalikan sepatu itu, membiarkan tanah kering yang masuk ke sana berjatuhan.

"Kamu belum beli sepatu?"

Veranda mengangkat kepalanya kemudian tersenyum lebar melihat Yona berdiri dihadapannya entah sejak kapan, "Ini masih bisa dipake kok." Veranda memakai kembali sepatunya lalu melakukan hal yang sama pada sepatu kanannya.

"Tapi itu pinggirnya udah bolong, Ve." Yona mengambil sepatu Veranda kemudian memperlihatkan bagian telepak kakinya, "Ini bawahnya udah tipis bentar lagi robek, nanti kalo ujan kaki kamu basah. Tanah kering juga bisa masuk 'kan karna bolongnya udah agak gede? Masih mending air atau tanah, gimana kalo kamu nginjek benda tajem?"

"Ah, berlebihan. Gapapa kok ini masih bagus banget." Veranda merebut sepatunya kembali dan buru-buru dipasangkan karena sedikit malu.

"Tas kamu juga udah dekil, agak bolong tuh pinggirnya." Yona tak berhenti mengomentari barang yang Veranda gunakan. Bukan bermaksud menghina, ia hanya merasa kasihan melihat Veranda, setiap hari menggunakan sepatu dan tas yang sama. Belum pernah diganti sekalipun selama sekolah di sini.

"Masih bagus ini." Veranda menyunggingkan senyumannya kemudian membuka tutup botol dan meneguk air mineralnya.

"Di kampung udah heboh tau Bapa sama Kinal dapet untung besar karna panen kemarin. Kamu gak minta beliin tas sama sepatu yang baru?"

"Kita belanja kemarin tapi aku lupa beli tas sama sepatu." Veranda terkekeh pelan dengan wajah bodohnya di mata Yona.

"Minta lagi coba, pasti dikasih. Kinal dapet uang puluhan juta loh."

"Iya, nanti aku minta beliin."

"Hay," Kinal menepuk lembut bahu Yona kemudian merangkulnya, "apa kabar?"

"Baik kok." Yona menoleh sedikit kemudian tersenyum melihat sahabatnya berdiri di sana dengan topi coboy yang sepertinya masih baru. "Cie topi baru."

"Wah, iya ini dibeliin Veranda." Kinal melepaskan rangkulannya lalu menggusur pandangan pada Veranda, "Pulang sekarang?"

"Peluk dulu." Veranda yang masih duduk di kursi langsung merentangkan kedua tangannya.
Kinal tertawa kecil melihat sikap Veranda yang akhirnya muncul kembali. Ia maju satu langkah dan segera memeluk Veranda, membiarkan tangan kekasihnya itu memeluk erat perutnya.

"Wangi banget kamu," ucap Veranda menyandarkan pipinya di perut Kinal. "Aku kangen, jangan marah lagi."

"Iya, aku gak marah kok." Kinal mengusap lembut rambut Veranda kemudian menunduk sedikit untuk mencium lembut puncak kepala Veranda tanpa memperdulikan di mana ia berada saat ini. Bersama Veranda, semua tempat seolah menjadi miliknya.

"Aku baru liat deh Petani serapi sama sewangi Kinal." Sedari tadi ternyata Yona masih berdiri di belakang Kinal. Ia menghirup parfum Kinal yang memang sangat wangi, bahkan ia belum pernah melihat siswa atau siswi di Sekolah memiliki harum tubuh sewangi Kinal.

Kinal tertawa keras kemudian melepaskan pelukannya dan duduk di samping Veranda, "Perasaan kamu aja itu."

"Oke deh." Karena malas berdebat akhirnya Yona mengangguk, "Balik heula ah nya, bade ibak." Yona melambaikan tangannya pada Kinal dan Veranda kemudian berlari kecil ke arah mobil yang sudah menjemputnya.

"Mang, es kalapa hiji!" teriak Kinal pada pedagang yang berjarak sekitar tiga meteran dari tempat duduknya. "Eh iya, mau gak, Ve?"

"Nyicip kamu aja tar."

"Hmm oke." Kinal membuka topinya kemudian mengipas-ngipaskan ke arah wajahnya. Udara siang ini terasa sangat panas, sepertinya hujan besar akan datang malam ini.

Veranda memandangi sepatunya yang sudah rusak karena belum pernah diganti. Ini sepatu ia beli saat ia naik ke kelas sebelas dulu, sementara sekarang ia sudah mau lulus berarti sudah dua tahun. Biasanya ia selalu mengganti sepatu tiap hari tapi karena di sini tak punya persediaan sepatu, akhirnya Veranda menggunakan sepatu ini terus menerus.

"Nal, aku boleh min-"

"-Uang, Ve?" Kinal langsung menatap Veranda, "Buat apa? Aku abis beli sesuatu jadi gak ada uang lebih, ini aku sisa-sisain buat beli peralatan lain di kebun."

Veranda mengembuskan napas keras kemudian tersenyum lebar, "Iya, gapapa kalo gak ada."

"Buat beli apa?" Kinal mengulas senyum pada pedagang yang membawakan segelas es kelapa muda untuknya. Ia mengalihkan pandangan dari Veranda dan memusatkan perhatian pada minuman itu.

"Buat jajan aja kok." Veranda terpaksa berbohong karena tidak ingin menambah pikiran Kinal dengan keluhannya yang sepertinya tak ada habisnya. Untuk saat ini Veranda ingin belajar dewasa dan berusaha memahami Kinal dalam segi apapun termasuk materi. Ia sadar, beban yang Kinal pikul itu berat.

Kinal menggerogoh saku celanannya mengeluarkan satu-satunya uang lima puluh ribu yang ia bawa. Ia memberikan itu pada Veranda, "Bayar es kelapa muda aku, sisanya buat kamu."

"Uang jajan aku buat besok dipotong gak? Tetep dua lima 'kan?"

"Buat besok aku kasih lagi. Gih jajan." Kinal mencubit pelan pipi Veranda dari samping. Memang kadang tingkah Veranda membuatnya gemas.

"Makasih ya, aku mau jajan buat nyemil ntar malem." Veranda mengambil uang itu lalu memperlihatkan senyuman lebarnya tampak sangat bahagia menerima uang tambahan dari Kinal. Tidak biasanya Kinal memberikan uang jajan tambahan tanpa memotong jatah jajannya untuk besok.

***

"Aku beli makanan banyak tadi." Veranda turun dari motor kemudian mengangkat kantong plastiknya pada Kinal.

"Ah, diliatin doang buat apa? Bagi-bagi dong." Kinal tertawa kecil sambil memarkirkan motornya di teras rumah.
Kinal mengambil kunci rumah di saku celananya lalu membuka kunci pintunya. Sebelum benar-benar dibuka, ia menatap Veranda yang sedang tersenyum-senyum sendiri menenteng makanannya yang memang banyak. "Aku beberapa hari yang lalu pesen sesuatu di online lewat laptop Dimas."

"Adeuh, teteh banyak duit euy sekarang mah." Veranda menirukan logat bicara Dimas lalu tertawa kecil bersama Kinal.

"Apaan deh, ngewa kitu." Kinal membuka pintu kemudian menyunggingkan senyumannya, "Tuuh buat kamu semua."

Veranda masuk ke dalam rumah kemudian membulatkan matanya lebar-lebar melihat semua barang yang Kinal simpan di atas karpet. Di sana ada dua pasang sepatu baru, dua buah tas baru dan sebuah laptop. Di sampingnya, ada buket bunga mawar indah.

"I-ini buat aku?" tanya Veranda sedikit gemetar karena tak percaya Kinal akan membelikan semua ini.

"Iya, buat kamu. Ah, bunganya." Kinal berjalan cepat mendahului Veranda dan menyambar bunga itu. Seperti di drama korea yang sering Veranda tonton, Kinal menyembunyikan bunga itu terlebih dahulu di punggungnya lalu memberikannya pada Veranda dengan senyuman yang sangat manis. "Buat bidadari aku yang paling cantik."

"Kinal ih." Veranda menghentak-hentakan kedua kakinya merasa terharu dengan kejutan ini. Ia melepaskan kantong plastik itu kemudian memeluk tubuh kekasihnya dengan sangat erat. "Makasih, Nal. A-aku seneng, makasiih."

Kinal membalas pelukan Veranda lalu mencium lembut pipi dan bahunya secara bergantian. "Maaf buat bentakan aku kemarin, aku gak maksud bentak kamu. Aku jarang ada di rumah, Ve. Jadi aku pengen selama ada di rumah, waktu kamu buat aku semua."

"Iyaa, waktu aku milik kamu. Makasih, Nal." Mata Veranda berkaca-kaca.

"Udah jangan sedih-sedihan." Kinal tertawa kecil kemudian melepaskan pelukannya dan langsung menarik tangan Veranda untuk duduk di sampingnya. "Nanti aku beliin sepatu lain buat kamu kuliah, aku cari uang dulu ya."

"Ini cukup kok sampe kuliah." Veranda meraih sepatu itu lalu tersenyum melihat modelnya yang sangat bagus.

"Ini laptop buat kamu kuliah sama satu lagi," Kinal membuka resleting tas baru Veranda lalu mengambil sesuatu dari sana, "hp kamu di Dimas udah aku beli lagi. Nih."

"Ih gak usah, ak-"

"-Vee."

"Iya, makasih." Veranda menggigit bibir bawahnya kemudian mengambil ponsel itu. Ia memandangi semua barang yang Kinal belikan untuknya lalu tanpa sadar setetes air jatuh dari matanya. "Maafin aku, Kinal," ucapnya merengek seperti anak kecil.

"Kok nangis sih?" Kinal merangkul bahu Veranda dan menyandarkan kepala Veranda dalam pelukannya, "Jangan nangis."

"Semua uang kamu abis buat keperluan aku tapi aku masih sering ngeluh dan gak ngertiin kamu. Maaf." Veranda memeluk erat tubuh Kinal.

"Gapapa, itu tanggung jawab aku, kamu gak perlu minta maaf." Hanya itu yang Kinal ucapkan, ia mencium puncak kepala beberapa kali Veranda kemudian merengkuh tubuh Veranda lebih dalam lagi berharap tangis Veranda akan berhenti.

"Maaf akuu. Aku janji mulai sekarang bakal jadi istri yang baik buat kamu."

"Hah? Istri?"

"Ng-ngga."


Continue Reading

You'll Also Like

215K 17.6K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
159K 25.5K 47
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
190K 18.9K 40
Seorang ibu yang kehilangan anak semata wayang nya dan sangat rindu dengan panggilan "bunda" untuk dirinya Selengkapnya bisa kalian baca aja ya luuvv...
67.7K 7.4K 38
Sebuah rahasia yang tidak akan pernah meninggalkanmu...