Cinta

By iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
18
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
31
33
34
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
43
Kebahagiaan VeNal
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Keputusan akhir
Akhir Dari Semuanya?
Akhir Cerita

32

3.9K 502 84
By iiaMlk

Marissa berlari kecil ke arah pintu saat melihat putrinya berdiri di sana dengan senyuman lebar yang mengembang di sudut bibirnya. Tubuh Viny sedikit terdorong ke belakang saat merasakan pelukan erat dari Marissa.

"Kenapa lama banget di Wina? Mama kangen sama kamu," ucap Marissa menahan tangisannya. Dari Vina, ia mengetahui bahwa Viny pergi ke Indonesia untuk mencari Shani. Marissa hanya takut Viny tak kembali. Ia tidak sanggup jika harus memikul kesedihan besar karena kehilangan dua putrinya secara bersamaan. Cukup Kinal yang membuat batinnya sakit.

"Maaf, Mah. Viny janji gak akan pergi lama lagi." Viny membalas pelukan Marissa dengan erat. Wajahnya ia tenggelamkan di dada ibunya itu, berusaha mencari ketenangan di sana.

Sebenarnya Viny hanya dua hari di Indonesia, ia menginap di Hotel lalu siangnya pergi ke Sekolahnya dulu untuk menanyakan info tentang kepindahan Sekolah Shani. Memang benar Shani pindah keluar Negeri tapi pihak Sekolah tidak punya wewenang untuk memberi tahu pada Viny ke mana Shani pindah. Untung saja, dengan memohon dan sedikit paksaan, wali kelas Shani memberi tahu bahwa gadis itu pindah ke Austria.

Mendapat satu titik jalan untuk bertemu Shani, Viny kemarin langsung terbang ke Wina mengunjungi Gio dan membicarakan soal rencananya yang ingin ikut tinggal di Wina bersama Gio setelah lulus Sekolah nanti. Viny tentu tidak akan bisa menemukan Shani dalam waktu seminggu apalagi kota Wina cukup besar. Viny berharap dengan perpindahannya nanti, lambat laun ia akan bertemu dengan Shani.

Marissa melepaskan pelukannya lalu tersenyum seraya mengusap lembut pipi Viny, "Ada yang mau Mama bicarain sama kamu."

Viny hanya menurut ketika Marissa menuntun tangannya ke arah ruang keluarga. Ia melepaskan genggaman Marissa dan langsung memeluk Omanya yang sedang duduk santai di kursi.

Oma membalas pelukan cucu kesayangannya itu, "Cucu Oma paling pemberani baru dateng. Gimana di Wina?"

"Seru, Oma. Gio kemarin bolos kuliah sama kerja buat nemenin aku keliling sana. Aku seneng banget." Viny melepaskan pelukannya kemudian tersenyum lebar menatap Marissa dan Oma secara bergantian. "Viny mau kuliah di Wina, boleh 'kan?"

"Boleh do-"

"-Ngga, Vin." Dengan cepat Marissa memotong ucapan Oma. Tentu saja karena Marissa tahu Shani juga tingga di kota itu, ia tidak ingin Viny bertemu dengan Shani. Bagaimanapun juga, ia tak akan pernah merestui hubungan itu. "Kamu masih kecil dan harus di sini sama Mama."

Viny memalingkan wajahnya ke arah lain lalu bersandar di sofa dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Seperti biasa, jika sedang marah Viny selalu mengeluarkan jurus diamnya. Sekalipun ada gempa bumi, mungkin ia akan tetap diam sebelum keinginannya dipenuhi.

"Vin, kita makan dulu aja ya?" Marissa tersenyum bersikap seakan tidak terjadi apa-apa lalu menarik tangan Viny dari lipatannya.

Viny hanya diam tidak mengucapkan sepatah katapun. Marissa mengembuskan napas lelah lalu mengalihkan pandangan pada Oma. Oma menggeleng pelan tidak ingin ikut campur apalagi menolak keinginan cucunya yang memang tidak ada salahnya.

"Ya udah Mama izinin kamu tinggal di Wina sama Gio tapi ada syaratnya."

"Apa?" Viny menatap Marissa menunggu apa syarat yang akan Marissa ucapkan.

"Kamu harus tunangan sama anak temen Mama. Setelah lulus kuliah, kamu langsung nikah sama dia."

Bukan hanya Viny, Omapun ikut terkejut mendengar keputusan Marissa. Tubuh Viny yang sebelumnya tegak kini kembali bersandar lemas di sofa. Pikirannya hanya tertuju pada Shani, bagaimana perasaan Shani jika mengetahui ia sudah dijodohkan? Kepergiannya saja sudah membuat hati Shani hancur, apalagi dengan keputusan ini. Mata Viny turun memandangi tangannya sendiri yang masih diperban.

"Kenapa Mama selalu egois?" Viny mengepalkan tangannya itu lalu menunduk tidak berani menatap Marissa sedikitpun. Amarah dan emosinya ia tahan kuat-kuat dalam hati. Mustahil melampiaskan amarah pada Marissa.

"Kenapa kamu gak bicarain dulu sama Ibu? Viny masih terlalu dini buat dijodohin."

"Viny anak aku, Bu. Aku berhak ngatur kehidupannya."

Viny berdiri dan langsung berlari cepat ke kamarnya tanpa ingin mengucapkan apapun lagi. Percuma ia tidak akan bisa membantah keputusan dari Ibunya. Viny membantingkan pintu kamar kemudian menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia melemparkan lampu tidurnya dengan keras berusaha melampiaskan emosi yang tak bisa ia salurkan pada Ibunya itu.

***

"Teh, naha meni sonten uih teh?" Dimas menghentikan mobilnya di pinggir jalan lalu tersenyum manis pada Kinal.

"Jalan kaki tadi dari kebun, motorna dipake Veranda." Kinal tersenyum pada pemuda yang sudah ia anggap adik itu. Nafasnya tersenggal-sengga, peluh mengalir deras dipelipis dan lehernya. Wajah Kinal yang sudah sedikit coklat itu kini terlihat memerah karena mungkin terlalu lelah ditambah lagi dengan cuaca hari ini yang sangat panas.

"Bade dijajapkeun atuh? Hayu, Teh sareng abi." Dimas bersiap untuk turun dari mobil. Namun pintu mobil ditahan dengan cepat oleh Kinal.

"Teteh sendiri aja." Kinal menyunggingkan senyumannya dan langsung berjalan mendahuli mobil Dimas. Kinal tidak ingin merepotkan pemuda yang sangat baik dan sudah banyak membantunya.

Kerja sama Kinal dengan kakak Dimas sudah deal dua hari yang lalu, Kinal sedikit lega karena untuk ke depannya ia tidak usah lagi memikirkan kemungkinan buruk dari hasil panen yang menurun.

Kinal membuka pintu rumah dan langsung mendengus melihat Veranda yang sedang asik menonton film di ponselnya. Kinal mengantup matanya berusaha menahan kekesalannya kemudian melangkah ke dalam.

"Aku udah sms, gak dibales. Ditelfon, gak diangkat. Aku pikir kamu kenapa-kenapa, taunya lagi nonton film." Kinal berdiri di samping Veranda yang duduk selonjor di atas karpet.

"Mandi gih, dateng-dateng malah ngomel." Veranda menatap sekilas pada Kinal lalu kembali mengalihkan perhatian pada ponselnya itu.

"Aku nunggu kamu jemput, Ve. Aku jalan kaki tadi. Jarak dari kebun ke sini itu jauh banget. Kamu jangan terlalu sering nyepeliin tenaga aku."

"Aku juga capek, Nal."

"Ya udah besok motor aku yang bawa. Kamu aku anter jemput kaya biasanya."

"Ngga, kamu selalu telat jemput aku."

"Kapan sih kamu mau ngalah sama aku." Kinal langsung berjalan masuk ke dalam kamar mandi setelah menyambar handuk yang tergantung di paku.

"Kenapa sih malah ngomel-ngomel," gumam Veranda menggelengkan kepalanya dan kembali menonton film itu. Ia tertawa ketika melihat adegan pemeran utama laki-laki menggendong kekasihnya kemudian dilemparkan ke kolam renang berisi bunga dan beberapa balon berbentuk hati.

Veranda tersenyum tipis ketika membayangkan ia yang ada diposisi gadis itu, pasti akan sangat membahagiakan jika mendapat kejutan dari kekasihnya. Namun tak lama, senyuman Veranda lenyap saat mengingat sesuatu, semenjak tinggal di sini Kinal belum pernah sekalipun memberikannya kejutan. Semua perhatian Kinal seolah hanya tertuju pada kebunnya, itu yang Veranda rasakan.

Setelah membersihkan diri, Kinal keluar kamar dengan menggunakan kaos tipis dan celana boxer yang hanya sampai lutut. Satu tangannya mengibas-ngibaskan rambut yang masih basah menggunakan handuk kecil. Mata Kinal langsung tertuju pada Veranda yang masih tak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya.

"Masak gak?" tanya Kinal seraya berjalan beberapa langkah keluar untuk menggantungkan handuk basahnya di jemuran kecil yang terbuat dari besi.

"Ngga, Nal," jawab Veranda tertawa kecil melihat adegan di film itu.

"Nasi?"

"Aku tadi udah makan di kantin Sekolah. Kamu masak mie aja ya, yang."

"Kemarin mie sekarang mie, itu di dapur masih ada persedian daging sama sayur. Kamu main hp terus sih." Kinal kembali mengomel sambil masuk ke dapur. Ia mengambil wajan lalu menuangkan air ke sana. Sekilas ia melirik ke arah Veranda yang masih saja fokus pada ponsel tanpa menjawab ucapannya. Kinal hanya mengembuskan napas kasar sambil menyimpan wajan berisi air itu di atas kompor. Tangannya yang lain mengambil Mie Indomie goreng.

Setelah mie itu jadi, Kinal menenteng piringnya kemudian membuka panci yang biasanya berisi nasi. Namun panci itu kosong, hanya berisi beberapa gelintir nasi yang sudah kering.

"Ve, nasinya mana?" tanya Kinal setengah berteriak agar suaranya sampai ke indera pendengaran Veranda.

"Aku gak masak nasi. Lagian kamu kebiasaan makan mie pake nasi, emang mie aja gak kenyang?"

"Aku takut panas dalam," Kinal keluar dari dapur kemudian duduk bersila di samping Veranda, "kalo aku sakit 'kan kamu juga yang repot."

"Ya udah gak usah sakit makanya biar gak ngerepotin."

Kinal tak menjawab apa-apa lagi dan mulai menyuapkan mie itu ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah, sesekali matanya melirik pada Veranda yang tak melepas perhatian dari ponselnya, padahal biasanya Veranda selalu menceritakan sesuatu dan membuat lelah di tubuhnya sedikit terangkat saat melihat senyuman atau tawa Veranda. Namun akhir-akhir ini Veranda selalu disibukan dengan ponsel barunya dan Kinal kurang menyukai itu karena perhatian Veranda kepadanya ikut berkurang.

"Ve, di depan ada tukang jagung bakar yang baru. Kita beli yu." Kinal mendorong piringnya yang sudah kosong lalu menatap Veranda menunggu jawaban dari ajakannya.

"Kamu yang beli, aku tunggu di sini. Ini lagi seru filmnya."

Kinal yang sudah kesal akhirnya merampas ponsel milik Veranda, "Aku di sini, Ve. Jangan main hp terus bisa gak?"

"Kamu kenapa sih, Nal?" tanya Veranda sedikit meninggikan suaranya, "dari tadi gak berenti ngomel, kuping aku panas tau dengerin omelan kamu. Aku masih sabar ya."

"Kamu yang sabar?!" Untuk pertama kalinya Kinal membentak Veranda dengan tatapan yang sangat tajam. Mungkin ia bisa sabar jika Veranda tidak memperhatikan makan atau kesehatannya tapi ia tidak bisa menahan kekesalan lagi jika waktu Veranda untuknya harus terbagi dengan ponsel baru itu.

"Aku lagi gak mau berantem." Bola mata Veranda bergetar menahan takut melihat tatapan mengerikan Kinal yang sudah lama tak ia lihat. "Si-siniin hp aku," lanjutnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil ponselnya kembali. Namun Kinal langsung berdiri dan mengangkat tangannya yang menggenggam ponsel.

Kinal mengangkat tangannya hendak meleparkan ponsel Veranda, "Kalo kamu gak bisa bagi waktu kamu buat aku, aku ancurin hp ini."

"Kinaaal!!!" jerit Veranda dan langsung berdiri untuk menahan tangan Kinal. Untung saja badannya lebih tinggi sedikit dari Kinal jadi ia bisa menahan pergelangan tangan Kinal yang terangkat.

"Lepas gak?!" Tatapan Kinal masih sangat tajam pada Veranda.

"Jangan ancurin hp aku, aku baru aja seneng punya hp baru. Aku mohon."

Amarah Kinal mengerdil seketika melihat mata Veranda berkaca-kaca. Kinal menggapai tangan Veranda kemudian menyimpan ponsel itu dalam genggamannya. Ia menatap Veranda sebentar lalu berjalan masuk ke dalam kamar, kamar yang selama ini ia biarkan kosong.

Bibir bawah Veranda bergetar menahan tangisannya. Bukan karena ponselnya nyaris hancur tapi karena amarah dan tatapan Kinal yang tidak biasanya seperti itu. Sekarang Veranda hanya diam, memandang nanar pintu kamar yang tertutup.

Veranda berjalan lemas keluar rumah setelah sebelumnya menyambar kunci motor yang tergantung di dinding. Ia memasukan ponsel itu ke dalam celananya kemudian melajukan motornya meninggalkan Kinal yang sepertinya masih sangat emosi. Veranda mengedarkan pandangan ke sekeliling, matahari perlahan menarik satu persatu sinarnya, membiarkan bumi terkurung oleh kelam malam. Veranda bergedik merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya.

Motor Veranda berhenti tepat di depan rumah Dimas. Dengan ragu Veranda turun dari motornya lalu berjalan mendekati pintu. Ia menarik napasnya sejenak sebelum akhirnya mengetuk pintu itu.

Tak membutuhkan waktu lama, Dimas membuka pintu kemudian tersenyum menyambut kedatangan Veranda.

"Eh, Teteh geulis. Ada perlu apa Teh?"

"Beli hp Samsung punya aku." Veranda menyodorkan ponselnya pada Dimas, "berapa aja."

"Ini 'kan baru." Dimas mengambil ponsel milik Veranda kemudian memeriksanya. Ponsel itu masih sangat mulus seperti pemiliknya.

"Beli ya? Supir baru kamu kayanya perlu hp."

"Dia udah punya hp."

"Mungkin hpnya perlu yang bagus."

"Hp dia jauh lebih bagus dari hp ini."

Veranda berdecak kesal lalu tak sengaja pandangannya melirik kucing cantik yang sedang tidur dengan nyaman di kursi tamu Dimas, "Ini hp buat kucing kamu aja. Jadi dalemnya kamu isi foto sama video khusus dia. Mungkin beberapa tahun lagi kamu bisa tunjukin ke istri dan anak kamu kalo kamu pernah punya kucing lucu." Veranda sudah tak punya ide lagi untuk membujuk anak orang kaya ini. Ia berharap pemuda polos ini akan luluh hatinya.

Dimas tersenyum lebar, "Berapa-berapa?"

"Aku beli 1,9 juta. Kamu mau beli berapa? Ini baru seminggu lebih kok jadi jangan terlalu turun ya harganya."

"1,8?" tawar Dimas. Dengan semangat Veranda mengangguk.

Setelah menerima uang dari Dimas, Veranda mengucapkan banyak terima kasih lalu pulang dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Dimas memandangi motor Veranda yang semakin menghilang dari pandangannya kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam pelan, "Artosna kanggo meser beas meurennya, meni karunya si teteh." Namun tiba-tiba ia berteriak ketika mengingat sesuatu, "Teteh casannaa manaaa?!!"

***

Viny keluar dari kamar dengan menggunakan celana jeans hitam dan kemeja putih yang ia gulung selengan, poni pendeknya ia jepit ke belakang. Langkahnya terayun menuju ruang keluarga. Di sana, sudah ada seorang pemuda tampan yang duduk di kursi bersama Oma dan Marissa.

Setelah dipaksa beberapa kali, akhirnya Viny mau menemui pemuda yang rencananya akan dijodohkan dengannya ini. Tidak ada kebahagiaan sedikitpun yang terlihat dari wajahnya, tatapan Viny sangat dingin.

"Eh itu anak Tante." Marissa tersenyum melihat putrinya yang tampak sangat manis sore ini.
Viny memaksakan senyum manisnya pada pemuda yang masih sangat asing itu.

Pemuda itu terpaku melihat senyuman manis Viny serta pakaiannya yang tomboy. Berbeda dengan kebanyakan orang yang menyukai gadis feminim, ia lebih suka melihat gadis tomboy dengan make up sederhana. Menurutnya itu jauh lebih manis. Dengan cepat ia berdiri kemudian mengulurkan tangannya pada Viny.

"Abdi Dim-" Pemuda itu mengerjap lalu berdehem pelan, "maksud aku nama aku Dimas Anggara. Panggil aja Anggara."

"Viny." Viny menjabat tangan Anggara kemudian tersenyum tipis. Tak lama, ia langsung menariknya kembali kemudian duduk di samping Omanya. Tangannya segera saja memeluk lengan Oma.

Anggara kembali duduk memandangi gadis manis yang akan menjadi calon istrinya ini. Sebelumnya ia tak setuju dengan perjodohan yang Ibunya lakukan tapi setelah melihat Viny, sepertinya bodoh jika ia mundur dari perjodohan ini.

"Anggara asal dari Sunda loh, Vin. Sama kaya kita." Marissa tersenyum lebar melihat mata Anggara yang sepertinya terpasung pada wajah putrinya itu. "Anggara ini pengusaha muda."

Anggara tersenyum sedikit kikuk, "Tante bisa aja."

"Gimana Perusahaan saos kamu di Jakarta?"

"Baik, Tan. Kemarin adik aku rekomendasiin petani tomat yang baik di Pameumpeuk dan kami udah deal sama harganya." Anggara mengambil kopi hitam yang disuguhkan kepadanya lalu menyesapnya sedikit. "Nanti kapan-kapan aku ajak Viny ke Pameumpeuk. Di sana udaranya asri banget." Anggara menatap Marissa sekilas dan kembali mengalihkan pandangannya pada Viny.

'Sok akrab banget ni cowok' Untuk kedua kalinya Viny mamaksakan senyum, "Boleh banget. Kapan-kapan aja aku ya." Seketika asam lambung Viny naik setelah mengucapkan itu dengan nada yang super lembut. Jika tidak ada Oma dan Marissa, mungkin ia sudah mengeluarkan semua isi perutnya di sini.

Viny tiba-tiba berdiri memperlihatkan senyuman palsu pada Anggara, "Kita cari angin di belakang gimana? Sambil kenalan." Mata Viny melirik ke arah Marissa yang terlihat sangat senang mendengar ucapannya.

"Boleh banget." Anggara menyimpan gelas kopinya kemudian memakai kacamata minusnya yang ia simpan di atas meja. Ia berdiri dan mengikuti langkah Viny dari belakang. Tanpa sadar ia tersenyum sendiri melihat bagaimana cara gadis itu berjalan sambil melepas jepit yang mengikat poninya.

Viny berhenti ketika langkahnya sampai di Taman belakang. Seperti biasa jika ia bosan, ia selalu memandangi perairan dihadapannya. Tak lama Viny berbalik menyadari kehadiran Anggara di belakangnya.

"Umur kamu berapa tahun?" tanya Viny mulai membuka pembicaraan sebelum menyampaikan tujuannya mengajak pemuda itu ke sini.

"Aku 22 maju 23." Anggara terkekeh pelan melihat poni Viny di atas alis. Ternyata selain manis, Viny juga bisa terlihat lucu dengan poni yang seperti itu.

"Aku baru 17. Kita beda enam tahun ya." Viny bersedekap dada menatap Anggara. "Aku sebenernya gak siap sama perjodohan yang konyol ini."

Anggara mengangguk-anggukan kepalanya paham. Bagaimanapun juga gadis sedini Viny pasti belum siap dijodohkan apalagi harus bertungan dengan orang yang baru saja ia kenal. Bahkan sebelumnya Anggara juga menganggap perjodohan ini terlalu konyol dan kolot tentunya.

"Kamu udah punya pasangan?" tanya Anggara.

Viny mengangguk lalu tersenyum tipis membayangkan kecantikan Shani dan juga senyum manisnya, "Aku cinta dia."

"Kalo kamu gak setuju ya aku gak akan maksa, perjuangin cinta kamu." Dimas kembali mengulas senyuman manisnya, 'tapi aku akan terus berusaha bikin kamu suka sama aku' lanjutnya dalam hati.

"Iya tapi kita pura-pura setuju di depan keluarga aku ya?" Viny mengulurkan tangannya sebagai bukti perjanjian dengan Anggara.

"Siap." Anggara melebarkan senyumannya dan menjabat tangan lembut Viny.

***

Kinal terbangun dari tidurnya tepat jam tujuh pagi. Tangannya terayun ke samping mencari seseorang yang tak pernah lepas dari pelukannya jika sedang tidur. Kinal mendesah pelan ketika mengingat ia tidak tidur di kamar yang biasa ia gunakan tidur.

"Sayang," panggil Kinal keluar dari kamarnya. Matanya yang masih setengah terpejam jadi terbuka lebar ketika melihat jam menunjukan pukul tujuh pagi. Dengan tergesa-gesa ia masuk ke kamar berniat untuk membangunkan Veranda, "Ve bang-" ucapannya tertahan saat melihat kamar itu sudah kosong, spreinya pun sudah rapi kembali.

Kinal mengerutkan dahinya melihat kertas, uang dan sebuah kunci di atas kasur. Ia melangkah ke dalam kemudian membaca surat Veranda dengan jantung berdetak cepat, ia takut surat ini adalah surat yang Veranda tulis sebelum kepergiannya seperti dibeberapa film dan drama.

Pagi, sayang. Aku bangun subuh hari ini, aku udah masakin kamu ayam kecap kesukaan kamu, kalo mau sarapan aku udah nyiapin roti di atas karpet.

Ini uang hasil jual hp. Aku gak mau karna hp kita berantem terus jadi daripada hp itu aku pegang atau kamu lempar mending dijual, itu hasil keringat kamu jadi aku gak mau itu terbuang sia-sia. Hari ini aku sekolah pake ojek, motor kamu aja yang bawa.

Jangan marah lagi, Nal. Aku gak bisa tidur tanpa dipeluk, cukup satu malem aja kamu bikin aku kaya gini. Nanti jemput aku ya, aku sayang kamu. Maafin aku

Kinal tersenyum tipis kemudian menggenggam erat kertas itu. Padahal meski ponselnya tidak dijual atau Veranda tidak meminta maaf, Kinal juga tak akan marah sampai berlarut-larut seperti apa yang Veranda pikirkan. Keadaan selalu saja begini, Veranda membuatnya kesal kemudian membuat hatinya luluh untuk ke sekian kalinya pada gadis itu.

"Aku juga sayang kamu," gumam Kinal pelan.

***

"Shan, kamu yakin ini rumahnya?" tanya Boy memandangi sebuah rumah megah dihadapannya. Entah rumah siapa ini, ia hanya diminta Shani untuk mengantarnya jauh-jauh ke Negera Turki ini.

Sebelumnya Boy menolak habis-habisan saat Shani memintanya untuk pergi ke Turki. Namun Shani terus memohon bahkan sampai meneteskan airmatanya agar ia mau mengantarkannya ke sini. Siapa laki-laki yang tak luluh melihat gadis yang ia sukai memohon kepadanya? Akhirnya dengan sangat terpaksa Boy pergi ke sini dan bolos kuliah.

"Aku gak tau, aku takut." Tangan Shani tanpa sadar menggenggam erat tangan Boy. Matanya tak lepas memandangi rumah itu berharap ada seseorang yang keluar dan itu Viny. Ia tidak punya keberanian lebih untuk masuk ke dalam, Shani takut kalau akhirnya Marissa akan mengusirnya pergi dari sini.

"Ini udah jam dua malem, kita balik ke sini besok gimana?" Boy mengubah posisi berdirinya jadi menghadap Shani. Ludahnya tertelan dengan susah payah melihat angin cukup besar menghempas rambut Shani yang terurai, kecantikan Shani bertambah karena itu. Boy menjatuhkan pandangan pada tangannya sendiri yang Shani genggam. Ia tersenyum tipis, meski hal yang sederhana tapi hatinya sudah merasa bahagia.

Viny berguling di kasur dengan resah entah apa sebabnya. Biasanya ia sudah tidur jam segini tetapi entah kenapa malam ini seperti ada sesuatu yang membuat kedua matanya itu susah terpejam. Karena kesal, Viny akhirnya berdiri dari tempat tidurnya lalu keluar dari kamar dengan langkah gontai. Sambil berjalan, ia menguap lebar pertanda ia masih mengantuk meski matanya enggan terpejam.

Viny yang masih setengah sadar mengayunkan langkah kakinya keluar dari rumah untuk mencari angin, meski udara malam ini terasa sangat dingin. Viny membuka pintu dan maju satu langkah. Matanya kembali terpejam dengan ke dua tangan yang ia rentangkan lebar-lebar. Ia menghirup udara segar lalu diembuskan perlahan.

Nafas Shani tertahan ketika melihat siapa orang yang berdiri di depan pintu.

"A-aku mau nunggu di sini sampe pagi, kamu bisa tolong beliin aku makanan gak?" Shani menatap Boy dengan mata berkaca-kaca menahan rasa bahagia dan harunya. "Aku laper."

Boy tersenyum lebar kemudian mengacak poni Shani, "Aku cari resto paling deket ya, tunggu setengah jam-an."

Setelah Boy pergi, Shani melangkahkan kakinya dengan perlahan mendekati Viny yang masih terdiam dengan mata tertutup rapat. Tangan Shani sedikit bergetar, lututnya sedikit lemas. Sesak didada dan kebahagiaannya menggumpal menjadi cairan yang sudah menggenang di bola mata indahnya.

Kaki Shani yang berpijak di atas tanah ini seakan membuktikan lelah dan air matanya selama ini tak cukup kuat untuk menghentikan langkahnya mencari di mana rumah cintanya berada. Shani berhasil, sebentar lagi rindunya akan pulang pada pemiliknya.

Langkah Shani menyisir taman luas yang hanya tersiram cahaya redup bulan dan lampu taman yang temaram. Detak jantungnya bertalu-talu, suaranya terdengar kencang, iramakan kerinduannya pada seorang gadis yang berdiri lima langkah dari jaraknya. Bulir air mata perlahan keluar dari sudut mata Shani, ia sudah tidak sabar lagi dan akhirnya berlari kemudian mendekap erat tubuh ringkih itu. Air mata Shani jatuh tepat di bahu tegap Viny.

Tubuh Viny membeku merasakan pelukan itu. Detak jantungnya yang berpacu normal kini mulai berdentum hebat ketika merasakan aroma tubuh seseorang yang sudah tak asing lagi. Dengan tangan bergetar Viny membalas pelukan itu dan meraba-raba punggungnya. Jantung Viny nyaris terlepas dari tempatnya saat tangannya menyentuh rambut lembut yang terurai panjang sampai punggung.

Viny tidak berani membuka matanya sedikitpun, ia takut pelukan ini akan terlepas ketika kenyataan menyadarkannya bahwa semua ini hanya mimpi. Tangan Viny yang masih bergetar, mencengkram erat jaket Shani berharap ini nyata. Air mata Viny turun, menerobos kelopak matanya yang tertutup rapat.

'Aku pasti bisa ketemu sama Shani, cuma aku tempat di mana dia akan pulang'

Viny mengeratkan pelukannya ketika mengingat ucapannya minggu lalu pada kedua orang tua Shani. Shani benar-benar pulang, ke dalam pelukannya. Sekarang Viny berjanji akan menjaga pelukan ini agar selalu tetap ada. Ia tidak akan membiarkan jarak kembali menjauhkannya dengan Shani untuk yang kedua kalinya.

Tanpa lisan dan tatap, keduanya masih merekatkan pelukan, berusaha meleburkan kerinduan dan mencari ketenangan di tengah riuhnya detak jantung yang saling bersahutan.

TBC

Sekarang dua hari sekali ya wkwk

Continue Reading

You'll Also Like

Fantasia By neela

Fanfiction

1.7M 5.4K 9
⚠️ dirty and frontal words 🔞 Be wise please ALL ABOUT YOUR FANTASIES Every universe has their own story.
408K 33.1K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
234K 24.9K 27
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...
189K 18.9K 40
Seorang ibu yang kehilangan anak semata wayang nya dan sangat rindu dengan panggilan "bunda" untuk dirinya Selengkapnya bisa kalian baca aja ya luuvv...