Cinta

By iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
18
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
32
33
34
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
43
Kebahagiaan VeNal
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Keputusan akhir
Akhir Dari Semuanya?
Akhir Cerita

31

4K 516 90
By iiaMlk

"Ve, minta tolong boleh gak?" tanya Kinal yang sedang duduk selonjor di atas karpet. Setelah pulang dari kebun jam enam lebih tadi, Kinal langsung mandi dan bersandar lemas di dinding. Tulangnya terasa remuk karena mencangkul seharian.

"Apa?" Veranda masih disibukan dengan ponsel baru miliknya. Sesekali ia tertawa menonton video lucu di youtube. Sementara semua akun sosial medianya tak ada yang ia bukan satupun, ia takut seseorang akan tau keberadaannya di sini karena tangan Veranda pasti gatal ingin memperbaharui profil dan yang lainnya.

"Pijitin kaki aku, sakit banget."

"Ah, Kinal. Aku lagi seru nonton juga," ucap Veranda tanpa menatap Kinal. "Di kamar ada kayu putih tuh, pijit sendiri aja."

Kinal mengangguk pelan, "Ya udah iyaa," jawabnya sambil berusaha berdiri dari duduknya. Kinal melangkah dengan sangat pelan, sesekali ia meringis merasakan kakinya yang bergetar hebat dan sangat sakit.

Kinal meraih kayu putih di atas meja kemudian menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia mengoleskan minyak kayu putih ke seluruh kakinya kemudian dipijat sedikit keras. Namun gerakan tangannya itu terhenti ketika merasakan perih di telepak tangannya. Kinal membalikan punggung tangannya lalu menghela napas lelah, ternyata tangannya itu lecet karena ia lupa menggunakan sarung tangan saat menyangkul tadi.

Kinal mengangkat kepalanya memandangi Veranda yang masih tertawa di luar, "Veranda."

"Apalagi sih, Nal?" Veranda menatap Kinal sedikit kesal, "udah ada 'kan kayu putihnya?"

"Aku belum makan." Kinal terkekeh pelan, "masak gak? Tolong ambilin dong."

"Ck." Veranda berdecak kesal lalu menyimpan ponselnya. Ia berjalan dengan menghentak-hentakan kakinya ke arah dapur.

Kinal mengembuskan napas lelah melihat sikap Veranda, ia merasa tidak enak harus merepotkan Veranda. Namun kakinya sangat sakit, pun dengan tangan dan seluruh tulang di tubuhnya yang terasa pegal. Kinal tidak kuat jika harus mengambil nasi itu sendiri, untuk ke kamar saja ia harus melangkah tertatih.

Kinal meraih ponselnya yang ia simpan di bawah bantal lalu mencari nomor Heri. Setelah menemukan, ia menghubungkan panggilan kemudian menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Mang, besok gak kerja dulu gapapa ya?"

"Pasti kamu kecapean ya?"

"Hmm gapapa 'kan? Mang Heri tolong cariin pekerja buat ngurusin kebun aku ya, nanti biar aku yang bayar."

"Iya, Nal. Itu biar saya yang atur."

"Makasih, Mang." Kinal mematikan sambungannya lalu menyimpan ponsel itu di meja. Ia tersenyum melihat Veranda yang sudah duduk dihadapannya dengan membawa satu piring nasi berisi sayur.

"Kamu mentang-mentang udah punya banyak uang jadi males kerja."

"Iya maaf, aku cuma pengen istirahat." Kinal mengerjap berusaha meredakan kepalanya yang berdenyut. "Suapin, Ve."

"Aku capek, Nal. Pulang Sekolah, bersih-bersih rumah terus nyuci baju. Sekarang harus ngelayanin kamu. Aku pacar atau pembantu kamu sih?"

"Tapi tangan ak-" Kinal menghentikan kalimatnya melihat wajah Veranda yang tampak sangat kesal, tatapannya pun tak selembut biasanya. Kinal tersenyum lalu mengambil nasi itu, "Ya udah aku makan sendiri. Maaf ya aku ngerepotin kamu terus." Kinal menyimpan piring itu di pangkuannya, "besok biar aku yang beres-beres rumah, terus lain kali baju aku gak usah di cuci, aku aja yang nyuci sendiri. Maaf ya sekali lagi."

"Motor aku yang bawa besok. Kamu jemput telat mulu." Veranda langsung keluar dari kamar dan duduk di atas karpetnya untuk kembali menonton video yang sempat terhenti tadi. Untung saja Kinal membeli banyak kuota untuknya, jadi ia tidak harus cemas memikirkan kuota yang pastinya akan tersedot habis.

Tangan Kinal sedikit bergetar tapi tetap ia maksakan untuk menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah, ia bersandar di ranjang. Pandangannya tertuju pada fotonya dengan Viny yang terpampang di dinding. Kinal tersenyum miris tanpa sadar setitik air jatuh di ujung matanya.

"Aku kangen kamu, Vin."

***

"Muka lo kenapa, Gi?" tanya Boy pada sahabat karibnya itu, Gio. Di Wina, Boy hanya punya dua teman, Gio dan Shani yang baru saja berteman dengannya tiga bulan lalu.

"Gue khawatir." Gio terus menerus menghubungi ponsel Viny yang tak aktif. Sejak kemarin, gadis itu menghilang entah kemana. Marissa mengatakan Viny menyusulnya ke Wina tapi Viny sama sekali tak ke sini.

"Sama siapa? Lo punya pacar sekarang?"

"Sama sepupu gue, dia ilang dari kemarin." Gio mengerang kesal lalu membantingkan ponselnya itu ke atas meja. Ia mengusap wajahnya frustasi kemudian membantingkan tubuhnya di sofa. Telepak tangannya yang kekar, meremas rambutnya sendiri.

"Viny itu? Ke mana dia?" Boy menaikan sebelah alisnya. Baru pertama kali ia melihat Gio sefrustasi ini, pasalnya Gio adalah sosok pemuda yang dingin dan cenderung tak peduli pada semuanya.

"Kalo gue tau, gue gak akan khawatir." Gio menoyor kepala Boy sementara pemuda itu hanya tertawa melihat wajah kesal temannya. "Btw temen baru lo yang namanya Shani itu mana? Kuliah di mana dia?"

"Masih SMA." Boy cekikikan melihat wajah Gio yang sepertinya sedikit terkejut, "tapi dia tinggi, cantik, keliatannya emang kaya seumuran kita."

"Naksir lo?" Gio mengalihkan pandangannya pada layar televisi yang sedang menampilkan film barat.

"Gimana ya? Dia emang tipe gue, dia baik, tinggi, putih cantik tapi ada disatu waktu kadang dia berubah jadi orang dingin, kerjaannya marah-marah." Boy menatap wajah samping Gio meminta pendapat padanya. Pemikiran Gio memang lebih dewasa daripada dirinya jadi mungkin ia bisa mendapat saran dari Gio.

"Lo udah pernah nembak dia?"

"Gaklah, gila aja. Takut gua."

"Coba aja tembak."

"Kalo dia nolak?"

"Lo jelek, dekil, ngeselin."

"Gila lo, gua serius."

"Dia gak nyaman sama lo atau mungkin dia gak suka cowok."

"Hah?! Maksudnya?"

"Ya dia L." Gio tertawa kecil sambil terus fokus pada film itu. Ia yakin, Boy pasti akan terus memikirkan ucapannya. Terbukti dari diamnya pemuda itu secara tiba-tiba, padahal biasanya Boy akan terus berbicara menanyakan hal lain kepadanya.

Suara ponsel terdengar, Gio menoleh ke arah ponsel dan segera menyambar ponselnya itu ketika mendapat panggilan di aplikasi Linenya dari Viny. Dengan cepat ia menempelkan ponselnya itu ke telinganya.

"Kamu di mana?!" tanya Gio berteriak keras, meluapkan semua kekesalan dan kekhawatirannya pada Viny. Boy langung menutup telinganya yang berdengung karena teriakan itu.

"Aku di Indonesia."

"WHAT?!!!"

Viny menjauhkan ponselnya sebentar dari telinga ketika mendengar suara teriakan Gio. Ia menghela napas kasar kemudian bersandar di jok taksi. Pandangannya nyalang kosong ke depan. Entah kenapa ia nekat pergi ke Negara kelahirannya ini, ia hanya ingin bertemu dengan Shani meskipun hanya lima menit. Kerinduannya pada Shani sudah tak tertahankan lagi, ia takut rindu itu akan mematikan hatinya perlahan karena tak bisa ia salurkan pada pemiliknya.

"Aku gak mau tau, kalo Mama nanya bilangin aku lagi di Wina sama kamu."

"Ya tapi aku perlu tau dong kamu ada di mana sekarang, Vin. Aku khawatir."

"Nanti aku cerita."

"Aku mau sekarang!"

Viny menaikan sebelah alisnya mendengar nada suara Gio yang meninggi karena amarahnya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, Viny memasukan ponselnya ke dalam saku dengan kesal. Menurutnya Gio terlalu cerewet untuk seorang laki-laki.

Viny memandang ke sekeliling, ternyata sudah sampai di perumahannya dulu. Viny tersenyum tipis ketika melihat perempatan jalan, ia masih sangat ingat bagaimana awal pertemuannya dulu dengan Veranda dan Shani di jalan ini, saat itu mereka sangat angkuh dan tentunya sangat menyebalkan. Namun sekarang, mereka adalah orang yang paling ia rindukan.

Viny menghela napas kasar ketika pikirannya tertuju pada Kinal. Entah di mana kakaknya itu berada, ia selalu khawatir akan keadaan Kinal karena Kinal jauh dari keluarga. Dulu Kinal memang jauh lebih manja darinya, tapi sekarang ia tidak bisa menerka Kinal masih manja atau mungkin sudah mulai mandiri karena tuntutan keadaan. Apapun itu, Viny selalu berharap yang terbaik untuk Kinal dan berharap waktu akan mempertemukannya kembali dengan Kinal.

"Di sini, Bang." Viny memberikan uang kepada supir taksi itu lalu turun.

Angin berembus cukup keras menyambut langkah kaki Viny yang berpijak tepat di depan sebuah rumah megah. Viny menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membuka gerbang rumah itu dengan perlahan. Mungkin karena sudah biasa dulu, Viny berani membuka gerbang tanpa izin terlebih dahulu.

Jantung Viny berdentum hebat ketika langkahnya santai di depan pintu. Dengan tangan bergetar, ia memberanikan diri untuk mengetuknya.

Tak lama pintu terbuka, Vina tampak sangat terkejut melihat kedatangan Viny yang menurutnya sangat nekat.

"Tante." Viny tersenyum lalu mencium punggung tangan Vina dengan lembut. Ia menggigit bibir bawahnya merasa sangat canggung padahal dulu, Vina sudah seperti ibunya sendiri. "Shan-"

"Shani gak ada di sini." Fauzi tiba-tiba datang dari dalam, menatap Viny dari atas sampai bawah lalu berdecih samar. Besar nyali juga gadis ini, berani menampakan diri lagi dihadapannya.

"Aku mau ketemu sama Shani, bentar." Viny menempelkan kedua telepak tangannya di depan dada kemudian menunduk, memohon pada pria yang selama ini sudah ia anggap sebagai ayah.

"Shani gak ada di sini, Vin." Vina menangkupkan sepasang tangannya di pipi Viny lalu mengangkat sedikit kepala Viny agar menatap ke arahnya. Mata Viny memerah, bola matanya berkaca-kaca.

"Tante boong 'kan? Aku gak akan ngambil dia dari kalian, aku cuma kangen sama dia." Viny melepaskan tangan Vina dengan lembut dari pipinya lalu menyiapkan langkah untuk masuk ke dalam. Namun bahunya di tahan oleh Fauzi.

"Kamu mending pergi sekarang daripada saya usir." Dengan pelan, Fauzi mendorong bahu Viny hingga terhuyung satu langkah ke belakang.

Tatapan Viny yang sebelumnya lembut kini mulai tajam. Dadanya naik turun tampak sedang berusaha menahan emosi mengingat siapa pria yang ada dihadapannya ini.

"Aku mau masuk." Viny menepis tangan Fauzi di bahunya. Saat hendak melangkah, lagi-lagi Fauzi menghalangi jalannya. Viny mengerang kesal, "seenggaknya satu menit atau lima belas detik, aku pengen liat dia sebentar."

"Keluar!" Fauzi menarik tangan Vina untuk masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu dengan satu hentakan keras tanpa sadar bahwa tangan Viny menahan pintu itu.

"Viny!" pekik Vina dan buru-buru membuka pintunya kembali. Ia segera meraih tangan Viny untuk memeriksanya.

Viny mengantup mata ketika merasakan sakit di buku-buku jarinya. Tangannya bergetar hebat dalam genggaman Vina. "A-aku mau ketemu Shani," lirihnya pelan pada Vina. Air matanya menitik perlahan, perih menahan rindu dan sakit.

"Shani gak ada di sini, Vin." Vina mengusap lembut air mata Viny. Cairan ini mengingatkannya pada tangisan Shani dulu.

"Tante boong 'kan?" Viny menarik tangannya lalu berjinjit berusaha untuk melihat ke dalam rumah, "Aku pulang, sayang!!" teriak Viny keras. Namun Fauzi malah menarik tangannya dan menggusurnya ke arah luar.

Viny terus meronta berusaha melepaskan diri dari Fauzi, "Lepas, Om!!" teriaknya keras. Viny mengalihkan pandangannya pada Vina, "Tan, aku mohon."

"Viny!" bentak Fauzi terus menarik tubuh Viny sampai pagar. Dengan hentakan keras terdorong oleh emosinya yang menggebu, ia menghempaskan tubuh Viny sampai Viny lepas kendali dan membentur pagar besar yang menjulang tinggi.

"Fauzi!!" Vina sudah habis kesabaran dengan sikap keras suaminya. Vina menatap suaminya itu tajam lalu mengalihkan pandangan pada Viny yang sedang mengusap dahinya yang terbentur pada pagar tadi. Ia ikut meringis kemudian menghampiri Viny dan merangkul bahunya, "Liat siapa orang yang coba kamu lawan!" bentaknya pada Fauzi, "dia cuma anak perempuan berumur 17 tahun!!"

Fauzi hanya diam dengan nafas memburu menatap Viny yang sedang berusaha menghapus air matanya beberapa kali, wajah dan hidungnya tampak memerah. Fauzi meremas wajahnya frustasi kemudian membuang pandangannya ke arah lain. Ia menarik napas dalam dan diembuskan perlahan berusaha mengendalikan emosinya.

"Shani," gumam Viny langsung berlari masuk ke rumah.
Langkah Viny menyisir rumah Shani dengan cepat, "Aku pulang, sayang," ucap Viny sedikit berteriak.

Viny tersenyum lebar membayangkan sebentar lagi ia akan bertemu dengan kekasihnya itu. Ia membuka pintu kamar Shani. Senyumannya kian pudar ketika melihat kamar ini kosong, beberapa figura yang sebelumnya terpajang rapi kini hilang. Viny melangkah ke dalam kamar kemudian membuka lemari pakaian Shani berharap pakaian itu masih lengkap. Namun ternyata hanya tersisa beberapa.

"Sa-sayang, kamu di mana?" tanya Viny dengan nada sedikit bergetar. Ia membuka pintu kamar mandi Shani, kamar mandi itu tampak kering seperti sudah lama tak terpakai.

"Shani sekolah di luar negri, Vin." Vina menyusul Viny lalu menghela napas melihat tubuh Viny bersandar kaku di dinding kamar.

"Ke mana?" Viny menatap Vina dengan mata berkaca-kaca. Rindu yang menggulma dalam dadanya tak bertepi, rindu itu tersesat dalam sebuah lingkaran yang bernama jarak. Ya, karena jarak dan waktu seakan mempermainkannya.

"Maaf, tante gak bisa ngasih tau kamu." Dengan sangat menyesal, Vina mengucapkan hal itu. Ia bisa melihat tubuh Viny sempoyongan seperti kehilangan kendalinya sampai menopangkan tangan pada meja rias Shani agar tubuh ringkihnya itu tak ambruk.

"Aku cuma pengen ketemu dia sekali aja." Viny menatap Vina asing karena pandangannya disamarkan oleh cairan yang memenuhi kelopak matanya. Viny mengepalkan tangan kuat-kuat berusaha menolak rasa sakit yang menghantam keras dadanya.

"Pergi dari sini, kami gak akan pernah mengizinkan Shani bertemu dengan orang yang gak punya moral dan etika kaya kamu!"

BRAAAK PRAANG

Viny kehilangan sabarnya. Tangannya yang mengepal kuat langsung memukul kaca rias Shani hingga pecah. Ia menatap Fauzi dengan sangat tajam, seolah pria itu adalah mangsa yang harus ia buru. Dengan nafas tersenggal-senggal dan punggung tangan yang sudah dipenuhi bercak darah, Viny berjalan menghampiri pria itu. Vina sampai mundur beberapa langkah karena syok melihat Viny, gadis yang ia kenal lembut dan penuh sopan santun kini menghilang. Yang ada dihadapannya bukan Viny tapi api amarah dan emosi.

"Kalian mungkin punya kuasa buat misahin aku sama Shani tapi jangan pikir aku lemah." Viny mengepalkan kembali tangannya tanpa memperdulikan darahnya yang menetes, "Aku yang sebelumnya mundur dan ngalah sekarang akan maju karna keegoisan kalian," ia menarik napas sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "kalian tau 'kan kalo aku sama Kinal itu adek kakak? Kalo Kinal bisa ngerebut Veranda dari kalian," Viny mengangkat tangan kanannya yang terluka, "tangan aku juga mampu ngerebut Shani dari kalian!"

Fauzi melayangkan tangannya pada Viny tapi dengan cepat ditahan. Tenaga Viny yang memang sudah terlatih tentu tak kalah dengan tenaga Fauzi, apalagi emosi Fauzi perlahan melemahkan dirinya sendiri. Viny menepis tangan Fauzi lalu menatap Fauzi dan Vina secara bergantian.

"Aku pasti bisa ketemu sama Shani. Cuma aku tempat di mana dia akan pulang. Pegang janji aku." Viny langsung berjalan keluar kamar tanpa memperdulikan Fauzi yang sepertinya akan kembali memakinya. Sekarang luka di tangannya akan terus mengingatkannya pada janji yang ia buat di sini, ia yakin cepat atau lambat waktu pasti akan mempertemukannya dengan Shani.


***

Setelah membersihkan tubuh, Veranda masuk ke dalam kamar. Ia mendengus melihat nasi Kinal yang masih tersisa banyak, sementara pemiliknya sudah tidur dengan lelap di bawah selimut. Veranda memindahkan piring yang berada di kasur ke lantai kemudian membaringkan tubuh di samping Kinal.

"Nal," seru Veranda mengguncangkan tubuh Kinal pelan, "ini baru jam delapan. Jangan tidur dulu."

Kinal mengubah posisinya menghadap Veranda lalu memeluk perutnya erat dari samping tanpa membuka mata. Ludah Veranda tertelan merasakan embusan nafas Kinal menerpa leher sampingnya. Mata Veranda yang nakal melirik ke arah wajah Kinal, bibir tipis berwarna merah muda itu benar-benar menggodanya.

Veranda mengecup bibir Kinal beberapa kali dan melumatnya lembut. Tangannya bergerak, menggenggam tangan Kinal yang melingkar di perutnya. Secara bersamaan, ringisan lembut lolos dari bibir Kinal. Veranda menjauhkan wajahnya kembali kemudian memeriksa telepak tangan Kinal. Hatinya mencelos melihat tangan Kinal lecet. Ia mengalihkan pandangannya pada wajah Kinal yang terlihat sangat lelah, pantas saja Kinal memintanya untuk menyuapi.

"Kinal!" Veranda mengguncangkan tubuh Kinal sampai kelopak mata itu kembali terbuka.

Kinal langsung tersenyum dengan mata setengah terpejam, "Kenapa? Kamu takut ya aku tinggal tidur?"

"Makannya kenapa gak diabisin?"

"Udah kenyang, Ve." Kinal mengucak matanya kemudian membukanya lebar-lebar agar bisa menatap wajah Veranda dengan jelas. "Btw, kamu cium aku ya?" Kinal mengecap rasa manis di bibir bawah dan atasnya secara bergantian, "kamu abis makan coklat?"

"A-aku gak cium kamu." Veranda mengalihkan pandangannya berusaha menyembunyikan wajah gugup dan pipinya yang merona dari Kinal.

Kinal bangkit kemudian bersandar di ranjang menatap Veranda dengan senyuman tipisnya. Ini bukan pertama kali Veranda mencium bibirnya secara diam-diam, Kinal selalu mengetahuinya tapi ia pura-pura tak tau karena tidak ingin membuat Veranda malu.

Veranda mengambil piring Kinal di lantai tadi lalu disimpan di pangkuannya. Ia menatap Kinal sambil menyodorkan satu sendok nasi kepadanya. "Aku tau kamu masih laper, buka mulutnya."

Kinal mengangguk pelan sambil membuka bibirnya sampai nasi itu mendarat mulus di mulut Kinal. Kinal menguyah nasinya dengan lahap karena perutnya masih lapar, ia tadi berhenti karena tangannya memang sangat perih.

Setelah nasi itu habis, Veranda menyimpan piring itu ke dapur dan kembali dengan membawa satu gelas air mineral. Ia mendekatkan gelas itu ke mulut Kinal, tangannya yang lain berada di bawah dagu Kinal. Veranda tersenyum sambil mengusap lembut bibir Kinal yang basah. Ia menyimpan gelas itu di atas meja lalu naik ke atas kasur.

"Capek kerjanya?" Veranda meraih kayu putih dipinggir bantal kemudian mengoleskannya ke seluruh kaki Kinal. Dengan sedikit tenaga, Veranda memijat kaki Kinal.

"Bukannya tadi kamu gak mau?"

"Maafin aku." Veranda merengut karena lagi-lagi ia gagal memahami kondisi Kinal.

Kinal hanya tersenyum dan membiarkan Veranda memijat kakinya yang masih sangat pegal, "Aku boleh minjem hp kamu?"

Veranda mengangkat dagu menunjuk ponselnya yang tergeletak di samping Kinal, "Mau apa?"

"Kamu yang bukain deh, instagram aku."

"Kamu yang larang aku buat buka akun sosmed, sekarang kamu yang pengen buka." Veranda menatap Kinal jengah. Sementara kedua tangannya masih memijat kaki Kinal.

"Aku pengen tau keadaan Viny sama Shani. Buka bentar ya."

"Kamu gak liat aku lagi apa?" Veranda mendelik sambil kembali memindahkan pandangannya pada kaki Kinal. Betis Kinal sedikit lebih besar dari biasanya, mungkin karena akhir-akhir ini Kinal sering berdiri dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki.

"Nal, aku boleh tanya?"

"Tanya aja." Kinal memandangi wajah samping Veranda yang terlihat serius.

"Kamu normal gak sih?"

"Kalo aku normal, aku gak akan jadi pacar kamu. Mungkin jadi pacar Dimas."

Veranda berdecak, "Bukan gituu."

"Terus?"

"Kamu gak punya birahi?" Veranda mengangkat kepalanya menatap Kinal sangat dalam.

"Punya kok."

"Terus kenapa gak dilampiasin sama aku?"

"Kamu mau?"

"Mau-mau." Veranda tersenyum lebar terlihat sangat antusias dengan pertanyaan Kinal.

Kinal tertawa keras, "Iyaa nanti ya."

"Kapan?"

"Kamu wisuda, aku bakal kasih kamu itu tiap hari."

"Masih lama."

"Lulusnya harus cepet makanya."

"Oke deh." Veranda tersenyum lebar dan kembali memijat kaki Kinal.

Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Veranda berbaring di kasur dengan lengan Kinal yang ia jadikan bantal, sementara tangan Kinal memeluk erat lehernya. Kinal tersenyum tipis memandangi wajah samping Veranda yang sedang sibuk melihat ponselnya. Setiap malam, gadis manja ini pasti selalu meminta untuk memeluknya padahal saat di Jakarta dulu, setiap tidur mereka selalu saling membelakangi.

"Nal, geli, ah." Veranda mengusap telinganya yang sengaja Kinal tiup. "Kalo berani jangan cuma tiup dong, cium kek atau jilat biar lebih ekstrim."

Kinal hanya tertawa lalu mengalihkan pandangannya pada foto Shani dan Viny, "Udah download ignya?"

"Baru aja beres. Akun aku aja ya?"

"Iyaa, terserah." Kinal kembali mengalihkan perhatiannya pada ponsel Veranda, "Wow banyak banget dmnya, cie penggemarnya banyak."

Veranda tertawa kecil, "Coba liat yaa," ucapnya sambil menyentuh layar ponsel untuk memeriksa pesan yang masuk itu.

Tawa Kinal dan Veranda terhenti ketika melihat pesan itu ternyata dikirim oleh Shani, Marissa dan Vina. Mereka saling pandang sebentar, seakan menimbang-nimbang apakah pesan ini harus dibuka atau tidak. Namun Kinal mengangguk pelan, memberi isyarat agar Veranda membuka pesan itu.

Marissa

Ve, ini pesan Mama yang ke sekian kalinya semoga dibuka ya. Pulang, nak. Kita di sini kangen kalian, kita khawatir dengan keadaan kalian. Adik kalian setiap hari nangis terus, tolong pulang, Mama mohon.

Vina

Ve, kapan pulang? Kamu gak kangen sama Mama? Sama adik kamu, sama Papa juga. Kita di sini semua kangen kamu. Cepet pulang, Ve. Kamu tega liat Mama sakit-sakitan terus? Mama kangen kamu.

Mata Veranda sudah sangat perih melihat isi pesan kedua Ibunya yang sama-sama menyuruhnya untuk segera pulang. Veranda menatap Kinal yang sedang tersenyum ke arahnya, tapi Kinal belum sepintar itu sampai bisa menipu Veranda lewat senyumannya. Veranda bisa melihat mata itu kini menunjukan kesedihannya.
Veranda melanjutkan membaca pesan masuk dari Shani.

Kakak kenapa ninggalin aku? Kalian pergi, kak Viny juga pergi. Aku di sini sendiri.


Kakak jahat, gak usah pulang sekalian!! Aku gak punya kakak yang namanya Jessica Veranda! Aku benci sama kamu!!

Air mata Veranda langsung jatuh melihat isi pesan Shani. Dadanya terasa sangat sesak, seakan ditimpa benda tajam. Veranda menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan berusaha meredakan rasa sesak itu tanpa hasil.

Kak, maafin aku buat kalimat aku seminggu yang lalu. Aku kangen kakak, kapan pulang? Aku sakit di sini, aku kehilangan kalian bertiga dan aku gak punya temen lagi. Pulang, kak. Aku mohon.


Aku sekarang tinggal di Wina sama Tante Shania, kakak apa kabar? Ini udah bulan keenam tapi pesan aku belum ada yang dibaca satupun. Aku kangen kakak. Pulang, kak.

Veranda mengantup matanya. Tangannya bergetar hebat, pun dengan dadanya yang masih sekuat tenaga menahan tangisan itu.

"Udah jangan nangis." Kinal mengusap lembut pipi Veranda, "coba dari Viny. Ada gak?"

"Ngga ada, Nal. Akun Viny juga ilang."

"Viny pasti disuruh hapus akun sama Mama," ucap Kinal. Kinal tiba-tiba bangkit dari tempat duduk lalu memejamkan matanya berusaha mengingat sesuatu.

"Mikir apa?" Veranda menyimpan ponsel itu lalu duduk tepat dihadapan Kinal.

"Aku inget kayanya." Kinal membuka kembali matanya lalu menatap Veranda, "alamat rumah Oma aku di Istanbul. Kasih ke Shani, Shani di Wina 'kan?"

"Kamu nyuruh adek aku yang umur 17 tahun buat ke Turki? Kamu gila?"

"Wina sama Istanbul deket meskipun emang beda benua di Peta. Kita gak bisa egois, Ve. Di sini kita bisa bareng-bareng sedangkan Viny sama Shani pisah."

"Ya udah aku coba ya."

Kinal menyebutkan alamat rumah neneknya yang langsung Veranda tulis. Bukan hanya alamat, Veranda juga mengirimkan fotonya bersama Kinal saat ini juga. Setelah pesan itu di baca, Veranda langsung menghapus akun instagramnya karena perintah Kinal. Kinal tidak ingin kesedihannya semakin besar karena membaca pesan yang Shani dan orang tua mereka kirimkan.

"Kapan kita pulang, Nal?"

"Kita pasti pulang, Ve. Nanti kalo kamu udah wisuda dan jadi orang sukses. Kalo sekarang, aku gak siap ketemu orang tua kamu. Aku takut kalo akhirnya mereka ambil kamu dari aku."

Veranda mengangguk pelan lalu memeluk Kinal yang sudah kembali membaringkan tubuh di kasur. Ia menyandarkan pipinya di samping leher Kinal lalu berbisik lirih, "Aku kangen mereka."

"Aku juga, Ve. Kita pasti pulang, sayang. Tapi gak sekarang."

Continue Reading

You'll Also Like

64.5K 9.6K 22
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
234K 24.9K 27
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...
Mom? [ch2] By yls

Fanfiction

107K 11.2K 33
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
706K 51.6K 37
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...