Cinta

By iiaMlk

250K 26.5K 4K

Ada dua hal yang berjalan beriringan dengan cinta, yaitu kebahagiaan dan rasa sakit More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cinta?
12
13
14
15
16
17
Semalam Di Bandung
Pesta Dadakan
Cemburu
22
23
Bahagia
Perpisahan
Kehidupan Baru
27
Rindu
Suka Duka Bersama
Panen Pertama
31
32
33
34
Untuk Ibu dan Bapak
35
36
37
38
39
Kehidupan Baru (2)
Bahagia (2)
Peri Kecil VeNal
43
Kebahagiaan VeNal
Malam Pertama VeNal (22+)
46
47
48
49
Keputusan akhir
Akhir Dari Semuanya?
Akhir Cerita

18

4.5K 479 16
By iiaMlk

Veranda duduk sendirian, bertengger pada bulan yang kian memudar diterpa awan hitam. Lalu, dingin mengelilinginya hingga secara otomatis kedua tangannya menarik resleting untuk mempererat jaket yang ia kenakan. Nafasnya berembus ke udara dan langsung tersapu oleh angin yang membelai lembut wajahnya. Pandangan Veranda masih mengitari pemandangan depan rumahnya yang tampak sepi. Saat semua orang dipeluk kantuk dan tertidur dengan lelap, ia lebih memilih untuk berdiri di balkon kamar.

Kejadian tadi sore menyapa pikirannya yang sedari tadi ia biarkan kosong. Masih sedikit syok melihat Shani mengetahui segalanya tentang ia dan Kinal, meski perasaan lega lebih dominan ia rasakan karena pada akhirnya Shani menyetujui hubungannya dengan Kinal. Tentu dengan satu syarat, ia dipaksa untuk menyetujui kedekatan Shani dengan Viny. Itu bukan masalah bagi Veranda, ia hanya takut Viny tidak bisa menjaga adiknya itu dengan baik.

Tiba-tiba suara tepuk tangan melayang ke udara dan mendarat dengan mulus di indera pendengaran Veranda. Veranda langsung mengangkat kepalanya dan tersenyum hangat melihat Kinal berdiri di balkon kamarnya tengah melambai-lambaikan tangan dengan senyuman khas yang selalu terlihat manis itu. Veranda mengangkat dagunya menanyakan ada apa.

Kinal menggeleng pelan tanpa suara karena tau suaranya tidak akan sampai pada Veranda. Ia terdiam sejenak memikirkan sesuatu kemudian mengangkat satu tangannya memberi isyarat agar Veranda tidak beranjak kemana-mana. Veranda hanya mengangguk-anggukan kepalanya paham.

Setelah menunggu lima menit, Veranda memicingkan matanya memandangi Kinal yang berjalan keluar dari rumah dengan langkah hati-hati, pun saat Kinal membuka gerbang rumahnya seolah tidak membiarkan suara yang timbul dari gesekan besi terdengar oleh siapapun. Veranda menggeleng-gelengkan kepala, pasti gadis konyol itu sedang berusaha kabur dari rumah untuk bisa menghampirinya ke sini.

Setelah berhasil masuk ke dalam rumah Veranda, Kinal meloncat-loncatkan tubuhnya. Veranda menangkupkan satu tangannya di depan mulut untuk menahan tawanya yang hampir saja meledak. Sebenarnya bukan sesuatu yang lucu tapi semua hal tentang Kinal terlihat sangat menggemaskan di mata Veranda. Selalu ada tingkah laku Kinal yang mengundang senyum dan mendatangkan tawa di wajah Veranda.

"Aku mau nginep!" Bagus sekali, setelah mengendap-ngendap dan tidak membiarkan suara apapun terdengar termasuk derap langkah kakinya, gadis manis ini malah berteriak keras. Benar-benar sangat jenius di mata Veranda.

"Tunggu!" Veranda meleletkan lidah pada Kinal kemudian berlalu masuk ke dalam rumah untuk membukakan pintu. Sebenarnya tidak harus bersembunyi seperti itu jika Kinal ingin menginap, kedua orang tuanya pasti memperbolehkan. Namun entahlah, kadang Veranda tidak memahami jalan pikiran Kinal.

"Yuhuuu!" sorak Kinal setelah langkahnya sampai di kamar Veranda. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur kemudian berguling-guling dengan selimut yang melilit tubuhnya.

"Kamu kaya lontong deh," ucap Veranda duduk di samping Kinal, menyandarkan punggungnya di ranjang.

"Enak aja."

"Ck." Veranda memperbaiki kacamata yang sedikit merosot dari hidungnya lalu meraih novel di meja. Perlahan tangannya bergerak mengimbangi kerja otaknya untuk membuka selembar demi selembar kertas, mencari bab terakhir yang ia baca.

Mata Kinal fokus memandangi wajah Veranda dari samping. Sesekali ia terkekeh pelan melihat Veranda yang terus menerus menyampirkan rambut ke belakang agar tidak menghalanginya membaca. Namun rambut Veranda yang tergerai indah itu tampak nakal tidak berhenti mengganggu pemiliknya yang sedang sibuk membaca.

"Sini deh." Kinal yang sudah geram akhirnya bangkit lalu memiringkan sedikit posisi tubuh Veranda agar membelakanginya. Ia meraih ikat rambut yang tergeletak di atas meja kemudian meraup seluruh rambut Veranda dan mengikatnya satu. "Gini kan enak," ucapnya menepuk-nepukan tangan seakan ia baru menyelesaikan pekerjaan berat, padahal hanya mengikat rambut.

"Makasih." Veranda menggoyang-goyangkan kepala hingga rambutnya yang diikat satu ikut tergoyang, membuat Kinal gemas. "Tapi tidur rambut diiket itu gak enak." Veranda menghentikan gerakannya lalu berbalik menatap Kinal.

"Aku gak tau soalnya gak pernah diiket." Kinal mengangkat bahunya tidak acuh lalu membaringkan diri di samping Veranda. "Besok jalan yu."

"Ke mana?" Veranda membuka kacamatanya lalu di simpan kembali di meja bersama novelnya. Sepertinya ada hal yang lebih menarik perhatiannya dibanding novel, yaitu kekasihnya sendiri.

"Ke mana aja, abis nonton pertandingan Anggar Viny, kita langsung pergi. Ajak Viny sama Shani sekalian."

"Ngapain bocah tengil diajakin." Veranda terkekeh pelan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya sebagai ucapan perdamaian melihat tatapan Kinal yang sedikit meruncing.

Kinal mengangguk malas, "Ya gapapa dong."

"Jangan gila deh."

"Kok gila sih?"

"Kalo kita berantem lagi gimana?"

"Gak akan."

"Bener ya?"

"Iya, sayang."

"Ya udah mau tidur dulu, aku ngantuk." Veranda menguap lebar kemudian menghempaskan punggungnya di kasur, memandang kosong pada langit-langit.

"Good night." Kinal mengecup sekilas pipi Veranda lalu menyiapkan dirinya untuk tidur dengan posisi membelakangi Veranda. Veranda hanya menatap sekilas punggung Kinal kemudian memiringkan posisinya membelakangi Kinal dan ikut memejamkan mata.

***

Viny keluar sebagai pemenang meski belum bisa dikatakan sebagai juara karena harus mengikuti pertandingan akhir dibabak final. Seperti ucapan Kinal sebelumnya, Kinal mengajak Viny, Veranda dan Shani jalan-jalan. Meski Viny sebelumnya menolak dengan alasan ingin belajar, tapi permintaan Shani benar-benar tidak bisa ditolak hingga ia memutuskan untuk ikut ke tempat yang entah berantah(?).

"Kamu yang nyetir?" tanya Veranda menyodorkan kunci mobil pada Kinal.

"Aku sekolah pake apa?"

"Pake motor."

"Pernah liat aku bawa mobil gak?"

Veranda menggeleng, "Ngga."

"Terus darimana aku bisa nyetir?"

"Ya kali aja bisa kan." Mata Veranda berputar malas kemudian mengalihkan pandangannya pada Viny yang tengah menyeruput minuman teh berasa dengan tubuh yang disandarkan pada mobil. "Lo aja."

Viny menutup botol itu lalu menggenggamnya. Pandangannya ia alihkan pada Kinal, "Bilangin sama pacar kamu kalo aku gak bisa nyetir."

Kinal mengangguk, "Viny gak bisa nyetir, Ve."

"Iya ah aku denger," desis Veranda kesal lalu berjalan ke pintu kemudi dengan menghentak-hentakan kedua kakinya.

"Mau aku aja kak?" tanya Shani setelah duduk di jok belakang.

"Telat," jawab Veranda cuek dan mulai melajukan mobilnya.

"Dih, ya udah." Shani menjulurkan lidahnya pada Veranda lalu bersandar. Ia langsung menatap Viny yang duduk di sampingnya sedang asik memutar spinner menggunakan ke dua jarinya. "Aku boleh pinjem mainan kamu gak?"

"Gak boleh, ini punya aku," jawab Viny segera memasukan spinner ke dalam tas kecilnya karena takut Shani memaksakan kehendak dan merampas mainan kesayangannya itu.

"Pelit banget sih, pinjem bentar. Satu puteran aja." Shani mengayunkan tangannya berniat untuk mengambil tas Viny. Namun dengan sigap Viny menyembunyikan tas itu di belakang punggungnya. "Bentar aja, kak."

"Gak."

"Pelit banget sih."

"Bodo."

Kinal tertawa kecil mendengar pertengkaran mereka berdua, "Gue minjem aja gak dikasih, apalagi lo."

"Terserah ah mau tidur." Shani menarik paksa lengan Viny lalu menyandarkan kepala dibahunya dengan nyaman. "Kamu tadi hebat deh," bisiknya tepat di telinga Viny.

Viny hanya mengangguk pelan lalu menutup matanya. Posisi kepalanya perlahan turun hingga bersandar di puncak kepala Shani. Tidak membutuhkan waktu yang lama, lelah yang mereka rasakan mengantarkannya dengan cepat ke alam mimpi.

Kinal menoleh sekilas ke belakang lalu kembali menatap Veranda, "Aku tidur juga ya, Ve?"

"Oh boleh banget." Veranda menatap Kinal dan tersenyum. Senyuman yang manis itu terlihat sedikit menakutkan di mata Kinal. "Aku juga tidur kalo gitu ya biar mobilnya di jalanin sama angin!" lanjutnya dengan tegas dan nada sedikit menekan.

"I-iya ngga kok." Kinal tersenyum meringis dan buru-buru mengalihkan pandangannya ke depan.

***

Viny terbangun dari tidurnya ketika merasakan guncangan di pundaknya. Ia menggeliat lembut kemudian menjuruskan pandangan ke pintu mobil yang entah sejak kapan sudah terbuka. Matanya terbelalak lebar, "Kita ke sini?!" tanyanya kaget.

"Iya, yu turun. Tuh bawa makanan yang udah aku beli." Kinal mendelik, "kebo dasar."

"Lah ngambek." Viny menggeleng pelan. Tubuhnya merosot hingga terbaring di jok, matanya kembali terpejam tanpa memikirkan kemana seseorang yang tadi duduk di sampingnya. Ia benar-benar sangat lelah karena pertandingan tadi.

"Viny bangun!!"

Viny terperanjat kaget dan buru-buru duduk mengucek kelopak matanya berusaha menghilangkan kantut itu. Ia menguap lebar lalu turun dari mobil dengan langkah malas setelah sebelumnya mengambil kantong plastik yang berisi makanan.

"Nih." Viny melemparkan makanan itu ke atas rumput kemudian duduk di samping Shani. Matanya yang masih setengah terpejam kini tertutup kembali bersamaan dengan tubuhnya yang merosot ke dalam pelukan seseorang.

"Lah, Viny pingsan?" tanya Veranda merangkul bahu Viny yang tiba-tiba saja terhuyung ke dalam pelukannya. Ia mendongak sedikit memberi ruang pada kepala Viny yang sekarang bersandar di dadanya.

"Dia itu kebo, gak di mana-mana tidur dan paling susah dibangunin. Sekolah aja kadang harus disiram dulu baru bangun."

"Kenapa gak jatuh ke sini aja sih," gumam Shani memandangi Viny yang masih dengan nyamannya tidur dalam pelukan Veranda. Sepasang tangannya memeluk erat pinggang Veranda. Sepertinya Viny masih sangat mengantuk hingga tidak sadar siapa yang ia peluk.

"Lo ngomong apa Shan?" tanya Kinal.

"Gak, gapapa." Shani mengambil Teh Botol dan langsung ditengak sampai setengahnya.

Setengah jam berlalu, Kinal masih belum berhenti mencoba setiap snack dan makanan yang ia beli. Sesekali ia melirik pada Viny yang masih tidur lalu menggelengkan kepala, ia tidak habis pikir kenapa Viny bisa dengan nyamannya tidur di mana saja tanpa memperdulikan tempat.

"Pegel gak?" tanya Kinal sedikit tidak enak.

Veranda tersenyum lalu menggeleng pelan, "Ngga kok, santai aja."

"Mau?" Kinal menyodorkan Oreo pada Veranda.

"Mau-mau." Veranda hendak menggigit Oreo itu tapi tangan jahil Kinal malah memasukan satu Oreo ke dalam mulut Veranda. Veranda memutar bola matanya jengah sambil mengunyah Oreo itu, untung saja ukurannya tidak terlalu besar.

"Kak, main sama aku yu." Shani mengguncangkan tubuh Viny.

"Orang lagi tidur diganggu," ujar Veranda menatap malas pada adiknya.

"Bodo ah aku bosen. Kakak bangun oi!"

"Aku ngantuk," ucap Viny pelan nyaris berbisik. Matanya masih terpejam.

"Aku gak mau nonton Final Anggar kamu kalo gak mau bangun."

Dengan malas Viny menegakan tubuhnya dari Veranda. Sementara matanya masih terpejam, entah kenapa sulit sekali membuka mata. Detik berikutnya, tubuh Viny terhuyung ke dalam pelukan Shani.

"Dia tidur atau modus apa gimana sih?" Kinal mengguyur Aqua ke telepak tangannya lalu dibasuhkan dengan lembut pada wajah Viny dari atas sampai bawah, "sadar woy!"

"Kinal!" pekik Viny mengusap kasar wajahnya yang sudah sedikit basah, "jail banget sih nyebelin."

Shani tertawa kecil lalu memberikan sebotol Aqua yang sudah ia minum pada Viny, "Minum dulu biar seger."

Viny meneguk air itu sedikit kemudian menyimpannya, "Yu main sama aku, ke sana." Viny meraih tangan Shani dan langsung berjalan menyelusuri tempat ini. Sesekali tubuhnya limbung nyaris jatuh, untung saja ada Shani yang menahan tangannya.

Viny menghentikan langkahnya di puncak bukit. Ia ingat pertama kali ia membawa Shani ke tempat ini, saat itu Shani masih sangat asing untuknya. Beberapa kejadian kecilpun tergambar dibenaknya, Viny tersenyum sendiri mengingat betapa kesalnya wajah Shani waktu itu saat ia menggodanya.

"Kamu liatin apa, kak?" tanya Shani memandangi wajah serius Viny yang tengah melebarkan pandangannya menyisir setiap sudut pepohonan dan juga langit senja dari puncak bukit. Tidak ada jawaban. Shani menghela napas kasar, benar dugaannya sikap Viny selalu berubah-ubah.

Shani memandang ke arah yang sama dengan Viny. Namun, tidak ada hal menarik yang bisa ditangkap oleh pandangannya. Ia sedikit berbeda dengan Veranda yang selalu menganggumi alam sekeliling. Shani berjalan satu langkah ke hadapan Viny kemudian mengalungkan sepasang tangannya di leher Viny.

"Emang aku gak lebih cantik dari pemandangan di sini?" Shani mengikis jarak dengan Viny. Jantungnya beraksi ketika mata bening milik Viny menatap dalam ke matanya.

Wajah mereka kini terikat oleh jarak yang sangat dekat karena kepala Viny yang sebelumnya menghadap ke samping kini menatap lurus pada Shani. Tangannya secara otomatis melingkar di pinggang Shani.

"Aku udah biasa liat kamu."

"Liat aku udah biasa aja?" Shani tersenyum menggoda seraya mengerlingkan matanya. Viny menggeleng pelan dan ikut tersenyum tidak berniat menjawab pertanyaan Shani, menurutnya Shani sudah cukup paham dengan apa yang berusaha ia jelaskan lewat kalimat singkatnya.

"Aku pengen minta satu hal."

"Apa?"

"Aku mau tau perasaan kamu."

Viny memalingkan wajah dari Shani lalu mengembuskan napasnya. Pandangannya ia alihkan pada langit yang berdempul awan kelabu, warna jingga yang terbentang indah digaris cakrawala jatuh tepat di retina mata. Warnanya berusaha menerobos awan itu seakan menunjukan pada semesta dan penghuninya bahwa sebentar lagi cahaya itu akan musnah di telan gelap malam yang sudah siap mengepakan sayapnya.

"Bentar lagi malem, kita harus cepet pulang." Setelah membiarkan hening menguasai keadaan, Viny berujar; menjadikan semua hal yang ditangkap oleh indera penglihatannya sebagai alasan untuk berpaling dari pertanyaan Shani.

"Kenapa sih, kak?" tanya Shani dengan nada yang lebih rendah dari sebelumnya. Mata yang selalu memancarkan kebahagiaan, kini menitikan kekecewaannya karena jawaban dan sikap Viny.

"Kamu mau tau?" Viny kembali menatap Shani lalu mengeratkan rangkulannya hingga tubuh Shani kini terhempas ke dalam dekapannya. Untuk beberapa detik Viny diam berusaha mengendalikan degupan jantungnya yang berpacu tidak normal.

"Aku mau cerita sesuatu sama kamu, tentang seorang gadis," ucap Viny membuka matanya kemudian melepaskan pelukan untuk menatap lekat dua bola mata indah Shani.

"Apa?"

"Di saat orang lain bahagia dengan cinta yang mereka rasakan, dia lebih memilih untuk mengasingkan diri dari cinta. Dia orang yang tidak pernah membiarkan cinta menyusup ke dalam hatinya karena hatinya dipenuhi kegelapan." Viny mengantup matanya sejenak, rangkulannya di pinggang Shani terlepas begitu saja. "Dia pernah berusaha jatuh cinta tapi setiap kali matanya tertutup, bayangan masa lalu terbentang membuatnya menggigil dalam ketakutan. Dia adalah orang yang pernah dicampakan dengan perasaan bernama cinta, dia orang yang hancur karena penghianatan dan dia korban dari nafsu seseorang. Masa lalu membuat dia takut untuk menatap masa depan."

Hati Shani terhenyak mendengar cerita itu, iris matanya menatap garis wajah Viny yang mendadak berubah. Ada pilu dan juga penderitaan yang bisa ia lihat lewat tatapannya. Viny yang selama ini ia lihat sebagai orang dingin, angkuh dan tegas kini seakan berubah jadi orang paling rapuh yang bisa jatuh kapan saja. Shani menyentuh lembut pipi Viny berusaha menelisik isi pikiran Viny yang saat ini membuatnya bingung.

"Dia menghukum dirinya sendiri dengan jeruji duka karena pernah menyia-nyiakan waktunya untuk mencinta orang yang salah, dia adalah orang paling bodoh yang melepaskan sesuatu berharga dari dirinya pada orang salah dan dia adalah gadis tidak tau malu yang pernah dengan lancangnya mengutuk garis takdir." Mata Viny terasa sangat perih, benteng pertahanan yang selama ini ia bangun di depan semua orang kini runtuh. Genangan air mata yang mengelilingi bola mata sudah siap untuk menetes. Namun Viny buru-buru menarik napasnya tidak akan membiarkan airmata itu jatuh.

Viny menepis tangan Shani dipipinya dengan lembut kemudian menangkupkan sepasang tangannya di pipi Shani, "Dia adalah aku."

"Ka-kamu?" tanya Shani sedikit tidak percaya.

"Kemarin kamu dateng, berusaha ngasih cahaya dan ngebuka hati aku. Kamu berhasil tapi hati aku masih dipenjara sama ketakutan."

"Kamu takut apa? Takut aku ninggalin kamu? Apa kamu pikir aku sama kaya dia?!" Emosi Shani sedikit meluap karena tersinggung dengan ucapan Viny yang mempertanyakan tentang ketulusannya.

Viny menggeleng pelan, "Aku takut kita menjadi asing setelah cinta menyatukan kita."

"Alah." Shani menepis kasar tangan Viny kemudian mundur satu langkah, "Kalo kamu emang gak cinta ya bilang aja gak usah ngeraguin perasaan aku." Mata Shani mendelik tajam bersamaan dengan tubuhnya yang langsung berbalik memunggungi Viny. Deru nafasnya kian tersenggal mengikuti emosinya yang masih menggebu-gebu.

Tiba-tiba sebuah dekapan hangat menyapa punggungnya diikuti oleh suara yang berbisik lirih tepat ditelinganya.

"Aku gak peduli sama pandangan kamu yang nganggep kalo perasaan aku itu gak ada."

"Kamu emang selalu gak peduli tentang aku."

"Kamu harus tau, jantung aku sering kali mendetakan nama kamu dan kamu, orang yang selalu tenggelam dalam setiap tarikan napasku," Viny menggenggam tangan Shani dari belakang, "aku masih butuh waktu buat menerjemahkan semua rasa yang aku punya. Selama itu aku janji, tangan kamu gak akan berhenti aku genggam dan hangat senyuman kamu gak akan bisa pudar dari pandangan aku. Semampuku, aku bakal bikin kamu bahagia."

Kinal jadi tersenyum-senyum sendiri memandangi Shani yang tiba-tiba membalikan tubuhnya untuk memeluk Viny. Entah apa yang mereka bicarakan, ia merasakan kebahagiaan yang Viny rasakan saat ini. Sebelumnya ia menganggap keberadaan Shani pembawa sial tapi setelah melihat kebahagiaan yang Shani berikan untuk Viny, ia jadi merubah pemikirannya dan menganggap Shani adalah keberuntungan karena setelah sekian lama, ia bisa melihat senyuman bahagia yang Viny sunggingkan saat ini.

"Kamu ngeliatin apa deh?" tanya Veranda yang manis melahap es krimnya.

"Ada deh," jawab Kinal tertawa kecil.

"Dih, kamu pikir aku gak tau kalo kamu lagi liatin Viny sama Shani pelukan?"

"Kalo tau kenapa nanya coba."

"Maksud aku, kita gak mau kaya gitu juga?"

Kinal mengerutkan dahinya kemudian menatap Veranda yang sedang tersenyum menggoda ke arahnya. Ia menggedikan bahunya ngeri, "Serem deh senyum kaya gitu," ucapnya yang langsung mendapatkan pukulan keras di pahanya. "Ah sakit, sayang."

"Suyang sayang suyang sayang, nih sayang!" pekik Veranda mengambil roti kemudian menyumpalkannya ke dalam mulut Kinal yang terbuka hingga mulutnya kini terisi penuh oleh roti. Tawa Veranda langsung pecah memandangi wajah konyol Kinal yang sedang bersusah payah mengunyah roti itu dan menelannya sampai habis.

"Gila kamu." Kinal buru-buru mengambil air mineral lalu diteguk. Ia mengembuskan napasnya ketika merasakan tenggorokan dan dadanya sudah merasa lega.

"Kamu mau ngapain?" tanya Veranda menjauhi jaraknya dari Kinal ketika melihat Kinal menatapnya jahil dengan tangan yang menggenggam roti lainnya, "Udahan ah becandanya." Ludah Veranda tertelan saat membayangkan semua roti itu masuk ke dalam mulutnya.

"Enak loh Rotinya aaa." Kinal membuka sedikit mulutnya memberi isyarat agar Veranda ikut membukanya juga. Veranda langsung menggeleng-gelengkan kepalanya kuat seraya menangkupkan satu tangan di depan mulut.

Karena badan Veranda terlalu condong ke belakang, keseimbangannya hilang sampai punggungnya terhempas ke rumput dan secara reflek, tangan nakalnya itu menarik pundak Kinal hingga tubuh Kinal terhempas tepat di atasnya. Nafas Veranda tertahan saat merasakan embusan nafas Kinal menyapu wajahnya.

"Ini posisi yang sangat menarik," ucap Kinal sambil melahap roti dalam genggamannya. Lengannya ditumpukan di rumput agar tubuhnya tidak terlalu membebani Veranda.

"Menarik apanya heh?" Veranda mendorong pipi Kinal menggunakan telunjuknya, "Berdiri, berat tau."

"Halah suka mah bilang aja. Biar kaya di drama, gak sengaja tindih-tindihan terus jantung kita berirama dengan nada yang sama." Kali ini giliran Kinal tersenyum menggoda dengan menaik turunkan ke dua alisnya.

"Iuuh geli banget." Veranda menggedikan bahunya merasa geli mendengar ucapan Kinal

"Biarin, itung-itung latihan." Kinal masih tersenyum dan dengan santainya melahap roti itu kembali tanpa memperdulikan keadaan sekeliling juga tubuh Veranda.

"Latihan apa?" tanya Veranda dengan mata membulat lebar.

"Latihan tindih-tindihan," jawab Kinal terkekeh pelan, "nanti lima tahun lagi aku bakal sering nidihin kamu."

"Kok gitu?"

"Ya kan kita bakal nikah terus jadi pasangan istri-istri yang sangat romantis."

Senyum Veranda yang hampir saja terlepas dari bibirnya kini tertahan ketika memikirkan masa depannya dengan Kinal. Mungkinkah kebahagiaan itu bisa dengan mudah ia genggam? Apa mungkin impian akan masa depannya dengan Kinal benar-benar terwujud?

"Kamu mikirin apa?" Kinal melunturkan senyumannya saat menangkap hal ganjil yang jatuh ditatapan Veranda. "Ve?"

"Ah ngga." Veranda akhirnya tersenyum kemudian membingkai wajah Kinal menggunakan ke dua tangannya, "Kita bikin perjanjian remaja labil berusia 17 Tahun."

"Perjanjian apa?"

"Apapun yang akan terjadi di masa depan, kita harus selalu sama-sama." Veranda mengacungkan jari kelingkingnya, "Janji? Tapi buat perjanjian ini kita gak boleh labil."

"Oke, janji." Kinal menautkan jari kelingkingnya pada jari Veranda lalu tersenyum lebar, "Dengan kekuatan cinta kita akan me---"

"Halah alay." Veranda memotong ucapan Kinal kemudian mendorong tubuh Kinal menjauh darinya. Veranda duduk dan langsung terperanjat melihat Shani Viny sedang menyantap semua makanan dengan santainya. "Ka-kalian sejak kapan di sini?"

"Sejak kapan, Shan?" Viny mengangkat dagunya menunjuk Shani.

"Sejak kalian ngomongin tindih-tindihan, nikah," jawab Shani.

"dan ngomongin perjanjian," lanjut Viny seraya melayangkan Kacang Garuda ke udara kemudian menengadah dan membuka mulutnya sedikit lebar. Dengan mulus, kacang itu berhasil masuk ke dalam mulutnya.

"Yeay hebat!" sorak Shani menepuk-nepuk bahu Viny. Viny menaikan kerah jaketnya dengan wajah dibuat sedikit angkuh.

"Gitu doang, bisa gue." Kinal melesakan tangannya ke dalam bungkus kacang itu kemudian mengambil satu biji. Ia melakukan hal yang sama dengan melemparkan kacang itu dan bersiap untuk melahapnya. Namun belum sempat kacang itu mendarat di mulutnya, Veranda sudah lebih cepat mengambilnya dan memakannya dengan senyuman angkuh yang tersungging di sudut bibir.

"Ih Veeeee jahat," rengek Kinal mengerucutkan bibir bawahnya sambil merangkul lengan Veranda.

"Dih dih manja banget." Mata Shani berputar malas melihat tingkah Kinal.

"Kinal emang lebih manja dari aku, Shan," sahut Viny tertawa kecil, "kelas tiga SD dia masih ngompol, terus jam tiga malem nangis gara-gara takut dimarahin sama Mama."

"Terus-terus?" tanya Veranda sangat antusias tanpa memperdulikan Kinal yang kini menyembunyikan wajah di lengannya.

"Waktu masuk SMP, aku kan masih SD ya. Aturannya aku yang nangis karna gak bisa satu sekolah sama dia, ini malah dia yang nangis." Viny menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat kelakuan Kinal di masa lalu.

Veranda mengembungkan pipinya berusaha menahan tawa.

"Kelas 2 SMP dia digangguin sama cowok gitu terus dia ngadu sama aku. Ya udah aku tinju aja cowoknya eh cowok itu malah balik mukul aku. Di situ harusnya aku yang nangis kena pukul, ini malah Kinal."

Tawa Veranda akhirnya pecah membayangkan Kinal menangis karena melihat adiknya terluka. Sementara Shani menopangkan dagu di tangan kanan, memandangi Viny dengan kepala sedikit miring. Baru sekarang ia melihat Viny tertawa selepas ini dan baru hari ini pula ia mendengar Viny berbicara menggunakan banyak kosa kata tanpa tatapan dingin dan wajah datarnya. Senyum Shani tanpa sadar tersungging melihat Viny yang kali ini sedang berusaha menghindari pukulan tangan Kinal.

"Kinal udah manja, cengeng, penakut lagi. Kak Ve mending pikir-pikir lagilah." Viny meleletkan lidahnya kemudian berdiri dan berlari cepat saat melihat Kinal menyiapkan satu pukulan.

"Sial." Kinal meraup kacang Garuda kemudian melemparkannya pada punggung Viny dan langsung mengejarnya.

"Yaampun sayang kacangnya." Sementara Kinal dan Viny kejar-kejaran, Veranda mengambil satu persatu kacang yang sudah berhamburan di atas rumput.

"Kok diambil sih kak? Jorok banget."

"Belum lima menit, Shan." Veranda memasukan kembali kacang itu ke dalam bungkusnya dan tersenyum lebar pada Shani. Shani hanya meringis, buru-buru membuang pandangannya ke arah lain.

"Punya kakak kok jorok banget sih, amit-amit," gerutu Shani yang langsung mendapat kecupan singkat dari Veranda di pipinya, "diem ah," ucapnya mengelap bekas bibir Veranda.

"Kamu maunya di cium Viny yaaaa?" tanya Veranda menggoda.

"Ih nggaaaaa." Shani langsung memukul-mukul lengan Veranda untuk menyembunyikan semburat merah di pipinya.

"Tapi pernah kan dicium Viny?" Veranda mengerlingkan matanya menatap Shani jahil, "jujur deh."

"Ng-nga kata siapa," jawab Shani sedikit gelagapan sekaligus malu.

"Halah pake boong." Veranda kembali tertawa tak tahan melihat wajah malu Shani. Baru pertama kali ia melihat ekspresi wajah Shani yang seperti ini.

"Kak Veee!!!"

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

191K 17.6K 30
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
47.6K 5.3K 38
Sebuah rahasia yang tidak akan pernah meninggalkanmu...
149K 24.3K 45
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
170K 17.3K 68
FREEN G!P/FUTA • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...