Ayo ramaikan ⭐💬
Vote and komen ya 🥰
Happy Reading 🦊💞
"Udah berapa lama?" tanya Aera dengan suara bergetar menahan tangis. Seketika suasana rumah yang biasanya sepi dan hangat kini menjadi tegang dan dingin.
Mereka berdua, kakak adik dengan jenis kelamin yang sama. Hidup berdua tanpa orangtua lagi. Karina menunduk sedih, air matanya perlahan keluar. Ia jelas sadar akan apa yang dilakukannya. Tapi bagaimana lagi. Semua karena ekonomi. Dan semua karena ia tidak mau Aera putus sekolah.
"Harusnya Kak Karina jujur sama Aera. Gak masalah kalau Aera kerja part time."
Karina menggeleng kekeh. Ia tidak mau Aera memikirkan hal yang harusnya belum anak SMA itu pikirkan. Karina selalu ingin Aera fokus belajar dan menggapai nilai dan prestasi yang sangat disukai oleh adiknya itu.
"Kakak gak mau ganggu belajar kamu. Yoon Aera, mohon pahami kondisi kita sekarang."
Tangis Aera semakin pecah. Satu sisi ia merasa menjadi adik tidak tahu diri. Ya, tidak tahu diri karena kakaknya berjuang menjadi seorang pelacur demi dirinya. Hidup ini, sungguh menjijikkan. Ari mata pedih itu terus mengalir. Aera tidak tahan, ia lekas memeluk erat Karina sambil bergetar pundaknya. Bahkan ia tidak pernah sehari mengatakan apa yang dilakukan kakaknya di tempat pekerjaan.
"Maafin Aera Kak, harusnya Aera lebih perhatian sama Kakak. Bahkan Aera gak tahu apakah hari ini Kakak bahagia? Apa yang Kakak lakuin sampe kelihatan capek banget. Dan apa yang Kak Karina lakuin kalau keluar malem." Tangannya bergetar seraya mengelus punggung rapuh Karina. Sungguh hidup ini sangat menyakitkan. Mengapa kedua gadis itu harus menanggung penderitaan ini. Terkhusus Karina yang berjuang menghasilkan uang untuk kebutuhan mereka.
Sama seperti Aera. Sang Kakak juga menangis, mengeluarkan banyak air mata. Sudah sekitar satu tahun ia berbohong pada adiknya. Ia sudah berusaha keras mencari semua pekerjaan tapi persaingan membuatnya selalu kalah. Perlu diketahui, dunia pekerjaan tidak semudah itu.
"Yoon Aera, maafin Kakak ya. Cuma ini yang bisa kakak lakuin demi mencukupi kebutuhan hidup kita. Demi biaya sekolah kamu. Maafin Kakak ya..." Kalimat yang Karina ucapkan melirih di akhir. Menandakan betapa sesaknya ia saat ini.
Kepala Aera menggeleng patah-patah. Ia bersikukuh ingin mencari pekerjaan part time agar Karina melepas pekerjaan menjijikkannya itu.
"Aera, jangan gini. Kakak gak mau ingkari janji orangtua kita. Mereka bilang, kamu harus belajar dengan nyaman tanpa memikirkan pekerjaan sebelum waktunya."
"Tapi apa harus mengorbankan kebahagiaan Kakak?"
"Aera gak mau tahu, pokoknya detik ini juga. Aera bakal cari kerja part time!"
Lekas gadis itu langsung keluar dari rumah. Membuat Karina berteriak memanggilnya. Namun karena tubuh Karina sedang tidak enak badan jadi wanita itu tidak bisa mengejar adiknya yang keras kepala.
"Ya Tuhan, ini bener-bener sulit!" erang Karina sambil memijat pelipis. Entah mengapa kepalanya terasa semakin pusing dengan nuansa perut di aduk-aduk.
Jglek!
Pintu rumah terbuka, menampakkan seorang pria yang mengenakan hoodie dan celana jeans. Karina mendongak menatap pria itu. Lekas air matanya semakin deras.
"Gimana Rin?" tanyanya sambil memeluk Karina.
Wanita itu terisak berat. Ia tidak bisa membohongi fakta yang barusan menimpanya. Ditemuinya tadi pagi dan membuat hatinya terpecah belah.
"Aku hamil, Mark..." lirih Karina.
✥✥✥
Sebuah pekerjaan berhasil Aera dapatkan. Jam 2 siang sepulang sekolah ia menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran pinggiran kota. Sedangkan di malam hari sekitar jam 8 sampai 10 malam ia mendapatkan pekerjaan pelayan cafe. Biarlah ini semua melandanya tiba-tiba. Ia tidak ingin membuat Kakaknya menderita lebih lama. Lebih baik mereka merasakan lelah bersama, namun itu adil.
Gadis itu tengah sibuk, cucian piring terus menerus menumpuk bagaikan kupon undian yang disebar. Aera harus bertahan dengan ini semua. Sekitarnya juga tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Auh!" serunya karena ia menggosok terlalu kencang. Jemarinya berdarah lagi. Aera menarik napas perlahan. Ia mencuci tangannya kemudian dikeringkan pelan-pelan. Setelah itu menempelkan plester luka ke 4 di jemarinya.
"Cucian piring semakin banyak, kamu jangan lengah!" seru pegawai lain.
Aera menghela napas pelan, mengeluarkan senyumannya kemudian mengangguk. Segera melanjutkan pekerjaannya lagi.
❖❖❖
Di sebuah kamar mewah bernuansa kuning. Seorang pria tampak fokus membaca bukunya sampai tidak bergerak.
Ia juga memasang headphone di kepalanya. Memutar musik kesukaan yang membuat moodnya lebih baik. Sebuah ketukan membuatnya melepas benda berbentuk bando itu.
"Masuk!" serunya.
Seorang pria paruh baya menunduk hormat padanya.
"Maaf Tuan muda Huang, saya tidak bermaksud menganggu waktu anda. Hanya saja Tuan Huang menyuruh anda menemuinya di ruang tamu."
Renjun menghela napas malas. Ia menaruh headphone nya agak kasar ke atas meja. Langkahnya melenggang keluar dari kamarnya.
Sesampainya di ruang tamu, Renjun duduk di sofa nyaman itu. Rasanya ia tengah duduk di atas duri sekarang. Kenyamanan yang ada di rumahnya seketika kabur karena kedatangan ayah, sekaligus seseorang yang paling ia benci di dunia.
"Renjun, ayah minta tolong sesuatu."
"Hmm, katakan."
Ayah terkekeh, anaknya ini terkesan malas setiap bertemu dengannya.
"Kenapa kamu tidak berubah, Huang?"
Renjun mengeram kesal. "Aku gak akan lupain kejahatan ayah sama ibu. Renjun masih dendam."
"Tcih, ibumu orang yang keras kepala. Ayah tidak sudi dirimu di didik oleh perempuan itu."
"Cepat katakan apa mau Ayah!" seru Renjun dengan urat leher menegang.
"Selow Huang Renjun, ayah mau kamu pindah ke Amerika buat fokus sekolah bisnis."
Renjun tercengang. Ia jelas tidak mau, semua kebahagiaannya di Korea seakan akan dirampas habis oleh sang ayah.
"Renjun gak minat!"
Sang ayah menyeringai. "Kalau kamu nolak keinginan ayah, maka wanita itu udah gak akan ada di dunia ini lagi!" ancaman itu yang selalu di lontarkan ayahnya.
Mata Renjun berkaca-kaca. Pemuda itu berdiri dari tempat duduk kemudian meninggalkan ayahnya dengan sejuta emosi.
"Pikirkan baik-baik, Huang Renjun!" seru sang ayah.
To be continue!