Karena target votes sebelumnya gagal (sampe malam Asia tunggu gak sampe 150 votes, akhirnya Asia tinggal tidur), gak jadi double update deh. 😭🙏
Happy reading~ ❤
***
LIVING WITH THE DEVIL: ablaze - Chapter 18: Silence
Alicia sadar bahwa ada yang salah dengan dirinya. Lebih tepatnya, ada yang salah dengan emosinya. Dia terbangun dari tidur dan diterpa rasa malu yang semakin menjadi karena sikap kekanakkannya tadi. Tapi tidak bisa dipungkiri, bahwa dia merasa jauh lebih baik setelah mengeluarkan emosinya seperti itu.
Malam tiba. Sepanjang perjalanan tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi pada Lucius, sekalipun ingin. Hubungan mereka saat ini terasa begitu rumit dan membingungkan bagi Alicia. Kekhawatiran akan banyak hal bergumul di dadanya.
Dan dari semua kekhawatiran itu, satu hal yang paling Alicia takutkan; ditinggalkan. Entah bagaimana, dia tahu bahwa waktu mereka berduaan seperti ini tidak akan lama lagi.
Lucius berhenti di sebuah minimarket untuk membeli makan malam. Pria itu turun dan membukakan pintu untuk Alicia, memegangi tangannya saat dia hampir meloncat turun.
Tatapan penuh peringatan dilayangkan pria itu.
“Maaf,” kata Alicia, mendadak merasa seperti anak kecil yang dimarahi.
Mereka berdua kemudian masuk ke dalam minimarket tersebut. “Ambil mana saja yang kau inginkan,” pesannya seraya melepaskan tangan Alicia, membiarkannya memilih makanan atau barang apa pun yang dia mau di minimarket ini.
Alicia memilih roti untuk makan malam mereka, beberapa cemilan, permen, dan air mineral. Setelah itu, berdiri di hadapan kasir yang tampak bosan. Tubuh kasir itu kurus dan dia bergerak sangat lambat. Televisi menyala di atas kepalanya, menayangkan sebuah program berita terkini, yang sepertinya tidak pernah dilirik sekali pun dan hanya digunakan untuk mengisi suasana yang sepi.
“Berikutnya kita akan beralih ke sebuah berita terkini yang sangat mencengangkan seluruh isi kota. Sebuah kasus pembunuhan tiga orang berjenis kelamin pria di Motel Xxxx.”
Alicia yang juga awalnya tidak tertarik pada tayangan di televisi itu dan hanya fokus pada cemilan di tangannya, sontak mendongak ketika mendengar apa yang si pembawa berita katakan. Dan seketika matanya melebar.
“Hm? Bukankah itu …?” gumamnya, menyadari bahwa bangunan motel yang ditayangkan di televisi itu adalah motel tempat dia dan Lucius menginap semalam. Alicia mengernyitkan dahi dan mendongak pada Lucius hendak bertanya, tapi ketika melihat bagaimana rahang pria itu mengeras dan ekspresinya berubah serius, Alicia pun menutup mulutnya dan menatap ke arah televisi itu lagi.
“Menurut laporan dari saksi, tiga pria ini diduga dibunuh oleh pengunjung motel yang datang pada malam yang sama dan memesan sebuah kamar untuk menginap. Hal yang lebih mencengangkan adalah, menurut saksi, pria misterius ini juga membawa seorang wanita hamil yang dia duga adalah tawanan pria tersebut. Motif pembunuhan dan dugaan penyanderaan ini masih belum diketahui, polisi masih dalam proses pencarian pelaku dan penyelidikan di tempat perkara kejadian. Begini keterangan dari saksi mengenai ciri-ciri si terduga pelaku.”
“Pria ini bertubuh jangkung, dia memiliki bekas luka di dahi dan warna matanya aneh sekali; merah seperti darah, rambutnya panjang, dan dia mengenakan pakaian serba hitam dari atas sampai kaki. Dia juga membawa seorang wanita hamil, yang aku yakin adalah tawanannya karena wanita itu tampak ketakutan saat datang. Kalau pria ini bisa membunuh tiga pria sekaligus tanpa senjata apa pun, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan pada wanita malang tersebut. Aku hanya berdoa semoga wanita itu masih hidup dan Tuhan menyelamatkannya. Wanita yang malang.”
Bahkan dengan wajah dan suara yang disamarkan, Alicia masih dapat mengenali bahwa saksi yang berbicara tersebut adalah pria tua si pemilik motel yang pagi tadi memberikannya permen vitamin.
Informasi yang sangat mencengangkan itu membuat Alicia mengernyitkan dahi heran sekaligus bingung. Apakah benar apa yang dia lihat dan dia dengar barusan? Benarkah itu motel tempatnya dan Lucius menginap semalam? Pembunuhan apa yang mereka bicarakan? Tidak ada apa pun yang terjadi pada malam itu, bahkan paginya saat Alicia berjalan keluar dari motel tersebut, semuanya masih tampak normal saja, tidak seperti apa yang ditampilkan di televisi tersebut. Bahkan si pak tua itu masih sempat menyapanya dengan senyuman.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa deskripsi pelaku sangat mirip dengan Lucius? Dan wanita hamil itu adalah dirinya sendiri?
Saat Alicia hendak mengutarakan kebingungannya itu pada Lucius, dia tidak sengaja melihat tatapan yang si kasir layangkan padanya. Alicia keliru, ternyata pria ini tidak terlalu bosan dan abai dengan apa yang ditayangkan di televisi, dia pasti mendengar apa yang pembawa berita itu katakan.
Lucius menarik Alicia dengan pelan ke belakang tubuhnya, balik memelototi si kasir. “Apa yang kau lihat?!” bentaknya tajam.
Kasir itu sontak menunduk dan fokus memasukkan barang-barang belanjaan Alicia ke dalam pelastik.
Setelah selesai membayar, Lucius menarik Alicia keluar dari minimarket tersebut. Namun alih-alih kembali ke mobil, Lucius justru membawanya menjauh dari sana. Alicia hanya diam karena masih mencerna berita yang barusan dilihatnya, sampai mereka tiba di pemberhentian bus.
“Katakan padaku bahwa pelaku yang pemilik motel itu katakan bukan kau,” ucap Alicia.
Lucius terdiam untuk beberapa saat, sebelum menjawab pertanyaan Alicia itu yang diikuti dengan helaan napas lelah. “Ya, itu aku,” katanya.
Alicia terkesiap dan menatap Lucius tidak percaya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya. “Kau keluar semalaman untuk melakukan … untuk membu … ah! Jelaskan semuanya padaku!”
Lucius lagi-lagi terdiam. Lampu di atas kepala mereka berkedip-kedip. Jalanan sepi, tidak ada satu pun orang atau kendaraan yang lewat.
“Lucius, jangan menakutiku! Apa kita akan baik-baik saja?” tanya Alicia dengan nada tidak sabaran.
Lucius menunduk, manik matanya yang berwarna crimson itu mengintip dari balik bayang-bayang topi baseball yang ia kenakan.
“Kenapa?” dia balik bertanya. “Sekarang kau takut padaku?”
Tatapan yang Alicia berikan padanya tidak berubah. “Takut padamu?! Kau pikir aku akan diam saja kau bawa ke mana-mana kalau aku takut? Jangan bodoh! Kau yang seharusnya takut padaku sekarang! Aku akan melapor ke kantor polisi terdekat dan meminta penjelasan langsung dari mereka kalau kau tidak mau menjelaskannya padaku! Aku pastikan—hmph!”
Dengan ekspresi geli di wajahnya mendengarkan omelan yang Alicia lontarkan, Lucius menunduk dan menarik leher wanita itu ke arahnya, mempertemukan bibir mereka ke dalam ciuman yang dalam dan basah. Alicia mengerang, tapi tidak mendorong Lucius menjauh. Dia menarik kemeja hitam yang pria itu kenakan dan memperdalam ciuman panas tersebut. Lidah mereka bergumul, saling mendominasi.
“Ahhh,” desah Alicia saat ciuman itu terhenti dengan bibir mereka yang basah oleh saliva.
“Kita akan baik-baik saja,” bisik Lucius, napasnya terdengar berat dan suaranya lebih serak.
Alicia merasa takjub seberapa besar dampak ciuman itu dan kata-kata menenangkan yang Lucius berikan setelahnya. Tapi tetap saja, dia tidak bisa mengabaikan berita mengerikan di televisi tadi.
“Ada pertanyaan lagi?” kata Lucius, menunduk dan mengecup singkat bibir Alicia, sebelum turun ke leher, mengembuskan napas panas di telinga yang membuat Alicia gemetar dengan lirihan pelan.
Alicia tidak tahu harus bertanya apa lagi, fokusnya menjadi buyar. Tapi dia segera mengatakan apa yang ada di benaknya saat itu juga, “Kupikir kau tidak akan menciumku lagi setelah apa yang terjadi semalam.”
Lucius tersenyum, mengecup pipi Alicia dan menatapnya serius. “Kita akan membahas itu lagi nanti. Beri tahu aku apa yang Alarick lakukan padamu.”
Saat lidahnya mengucapkan nama itu, Alicia menyadari bagaimana ekspresinya menggelap dan kebencian di kedua matanya tampak nyata.
“Sekarang kau sudah ingat padaku?” tanya Alicia dengan lembut.
Lucius menggeleng.
Tatapan Alicia berubah sendu. Dia menduga bahwa sikap Lucius saat ini adalah bentuk bukti nyata bahwa sekalipun memorinya hilang, perasaannya masih tetap tinggal. Dan itu adalah berita baik bagi Alicia. Dia menangkup pipi Lucius, berjinjit untuk mendaratkan kecupan di rahang pria itu.
“Yah, kuakui aku cukup terguncang semalam. Tapi kupikir sekarang tidak apa-apa. Selama kau masih mau menerimaku, kita akan melaluinya pelan-pelan, menciptakan memori-memori baru bersama. Hm?”
“….”
Bagi Lucius, diam lebih baik daripada berbohong.
- To Be Continued
***
Bab 27-29 sudah update di Karyakarsa. Di sini klimaksnya, dan sebentar lagi Ablaze bakal tamat. 🥺😭