Keheningan kemudian menyelimuti mereka. Alicia sibuk memakan sarapannya. Dia tidak berselera, tapi semenjak tahu dirinya hamil, makanan menjadi sesuatu yang amat sangat penting melebihi sebelumnya.
Sementara itu, Alicia juga sangat menyadari bagaimana tatapan Lucius dari tadi tidak teralihkan darinya.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya pria itu.
'Buruk.' Alicia ingin menjawab.
Dia mengangkat pandangannya dan menatap manik mata merah itu. "Kau peduli?" sahutnya dingin.
Lucius tersenyum miring. "Bagus, kau sudah tidak merengek lagi."
Merengek? Jadi selama ini pria itu menganggapnya begitu? Alicia menatapnya tidak percaya, tapi sayangnya Lucius sudah mengalihkan pandang. Pria itu mengambil sesuatu di saku celananya—sebuah permen, dan memberikannya pada Alicia.
"Itu vitamin, pria tua pemilik motel ini menitipkannya untukmu," kata Lucius dengan wajah masam.
Alicia mengambil permen rasa jeruk itu dan menatap Lucius skeptis.
"Kau terbiasa meracuniku sebelumnya," kata Alicia, sukses membuat Lucius mengernyitkan dahi.
"Apa katamu?"
"Racun. Kau sering memanjakanku dengan berbagai jenis makanan, mengatakan bahwa aku bisa memakannya sepuas yang kumau, tanpa tahu bahwa kau telah menaruh racun di dalamnya."
Masih dengan ekspresi heran, Lucius menyahut, "Kau pikir permen ini adalah racun?"
"Lalu kau akan memintaku memohon untuk penawarnya."
"Menuduhku seperti itu ... apa kau sedang kesal, Miss Alicia?" cerca Lucius, seolah tidak terima pada gagasan bahwa dulu dia pernah berlaku kejam pada wanita ini. Raut wajah Lucius berubah kesal, dan tatapannya menjadi tajam.
Alicia membalas tatapan pria itu dengan berani, berkata lagi, "Kau sangat menyukai permainan bukan? Ya, aku pernah menjadi mainanmu. Dan aku sering kali menolak untuk kalah, sejauh hampir mati karena racun-racun itu, tapi pada akhirnya kau akan memberikanku penawarnya dan mengomel saat aku bangun, mengataiku bodoh dan segala hal." Alicia tersenyum tipis. "Kau seharusnya tahu lebih awal. Bahwa dalam setiap permainanmu, aku selalu menjadi pemenangnya."
"Dan kau pikir kali ini aku akan menjilat ludahku sendiri atas apa yang telah kukatakan semalam?" Lucius membalas senyuman Alicia dengan senyum geli meremehkan. "Itu tidak akan terjadi, Miss Alicia."
***
Alicia tidak tahu kenapa tadi dia mengatakan semua itu pada Lucius. Tapi dia juga tidak menyesalinya. Lucius telah melupakan semua memori tentang mereka berdua, jadi Alicia akan mengingatkannya, tidak peduli bagaimana respon yang akan Lucius berikan.
Mereka tengah di perjalanan menuju desa yang Lucius maksud, melewati sebuah kota dan kota lainnya. Alicia teringat pada Bibi Jane, Paman Filbert, dan Wendy. Sampai saat ini Alicia tidak tahu kabar mereka bagaimana, apakah Lucius yang dulu sudah benar-benar menyingkirkan mereka?
Sepanjang perjalanan, Alicia tidak mengatakan apa pun. Lucius juga demikian. Mereka berkendara dalam keheningan. Sampai matahari telah melewati atas kepala mereka, sore tiba dan Alicia butuh ke kamar mandi.
"Aku ingin buang air kecil," katanya, dengan wajah memerah menahan malu. Dia sudah menyiapkan kata-kata selama lebih dari satu jam lalu, sebelum benar-benar berani mengucapkannya.
Lucius hanya melirik sekilas, lalu menepikan mobil ke samping.
"Ayo!" ucap pria itu seraya membuka pintu.
Alicia bergeming dengan bingung. Angin berembus menerpa wajahnya dari pintu yang Lucius buka. "Ayo ... ke mana?" gumamnya tidak mengerti. Karena mereka tengah berada entah di mana, di jalanan yang sangat sepi dengan pepohonan tinggi di kiri dan kanan.
Lucius menengok ke dalam mobil. "Apa yang kau tunggu? Cepat keluar!"
Alicia lalu membuka pintu. "Apa yang kita lakukan di sini?" dia bertanya.
Lucius menunjuk dengan dagunya ke arah semak-semak belukar di pinggir jalan.
Alicia berkedip, menatap tanpa kata pada tempat yang pria itu tunjuk. Lalu akhirnya dia paham dan matanya sontak terbelalak, pipinya ditutupi semburat merah yang tampak sangat jelas.
"Kau ...!" Alicia kehabisan kata-kata saat menatap Lucius yang hanya membalas tatapannya dengan datar.
"Apa? Kau bilang ingin buang air kecil, bukan? WC umum masih jauh, pergilah ke sana!" tukas pria itu seraya menunjuk ke arah semak-semak sekali lagi.
Alicia menghela napas sembari menunduk, lalu berbalik dan melangkah ke mobil tanpa sepatah kata pun. Tapi tiba-tiba saja Lucius menarik tangannya dan memaksa Alicia untuk mengikuti pria itu.
"Jangan membantah! Kau akan menyulitkanku nanti."
"Aku tidak mau! Bahkan jika aku harus menahannya sampai malam, aku tidak akan buang air kecil di tempat seperti ini! Lepaskan aku!" seru Alicia seraya memberontak.
Lucius membawanya masuk ke dalam hutan belantara itu dan berhenti di bawah sebuah pohon besar. Tanpa melepaskan gandengan tangannya dari Alicia, dia mengambil kayu untuk membersihkan semak-semak dan dedaunan kering sampai yang terlihat hanya tanah basah berwarna cokelat.
"Ah, tidak! Tidak! Aku tidak mau!" Alicia semakin memberontak seperti anak kucing.
"Cepat selesaikan urusanmu! Aku akan menunggu di sana," kata Lucius, sama sekali tidak menggubris ucapan Alicia. "Gunakan ini!" katanya lagi, menyodorkan beberapa lembar tisu.
Cerobong asap sepertinya mengebul di kepala Alicia sekarang karena saking malunya dia dengan seluruh situasi ini. Tapi panggilan alam itu meminta untuk segera dituntaskan. Menahan rasa malunya, Alicia pun mengambil tisu itu dan berbalik, pergi ke tempat yang tadi telah Lucius bersihkan.
Dia menatap ke sekitarnya dan merasa ngeri. Bagaimana kalau ternyata ada orang di sini? Atau hewan?
Bagaimana kalau seekor tupai mengintipnya dari balik daun-daun di pohon itu?
Alicia mengucapkan permisi sebelum menyelesaikan apa yang harus dia selesaikan.
"Lu-Lucius?" panggilnya saat dia tidak mendengar apa pun di belakang.
"Hm," sahut pria itu, suaranya terdengar tidak jauh.
Wajah Alicia jadi semakin memerah. Dia segera merapikan pakaiannya dan berdiri.
"A-aku ... aku sudah selesai," ucapnya terbata.
"Hm. Ayo kembali ke mobil!" sahut Lucius tanpa melirik ke arah Alicia lagi.
Saat dia masuk ke dalam mobil, Alicia merasakan dorongan yang sangat besar untuk menangis karena tidak tahan dengan rasa malu yang ditanggungnya. Dan tanpa sadar dia sudah terisak-isak.
Lucius meliriknya, melajukan mobil. "Katakan, apa lagi sekarang?" tanya pria itu dengan nada datar.
"Lucius bodoh!" rutuk Alicia.
Lucius sontak tertegun mendengarnya. "Apa katamu?"
"K-kau! Bagaimana bisa kau memaksaku melakukan hal semacam itu? Kau sangat ... sangat tidak bermoral!"
Lucius kini kehilangan kata-kata. Dia telah melakukan banyak hal yang sama sekali jauh dari kata bermoral, tapi baru kali ini seseorang melempar fakta itu ke hadapannya dan bahkan mengatainya bodoh karena suatu hal yang sangat sepele.
"Aku membantumu menyelesaikan urusanmu, bagian mana dari itu yang tidak bermoral?" sahut Lucius balik.
Tapi itu sama sekali tidak membuat Alicia merasa lebih baik, itu malah membuatnya menangis lebih kencang sampai membuat Lucius menatapnya panik.
"Bagaimana aku bisa menatapmu sekarang? Aku bahkan tidak punya muka lagi untuk ditampilkan di hadapanmu!" Alicia mengoceh di antara tangisannya.
"Kau berlebihan. Itu adalah hal yang biasa. Semua orang mengalami proses yang sama pada tubuh mereka, bahkan hewan," sahut Lucius.
"Itu dia! Aku bukan hewan atau tumbuhan! Aku manusia berakal! T-tapi ... tapi kau ...."
Setelah itu, Lucius memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun lagi dan hanya membiarkan Alicia menangis sampai wanita itu merasa lega.
Tidak lama kemudian, akhirnya senyap. Lucius menoleh ke samping dan menemukan wanita itu tertidur di tempat duduknya dengan sangat pulas. Matanya tampak sembab, hidungnya memerah, dan bibir ranumnya merekah terbuka. Sinar matahari sore yang berwarna oranye menerpa wajahnya membentuk gradasi keemasan yang cantik di kulit pucatnya.
Lucius mendapati dirinya tersenyum melihat pemandangan itu.
- To Be Continued
Kelakuannya Alicia kadang memang absurd yah! 🥲
Oh, kalo hari ini votes-nya sampai 150, Asia lanjut update nanti malem. 🥰👍
Btw, di bab 29, Lucius jadi buaya darat banget gemesh! 🥲❤
Sudah update di Karyakarsa! 🥰
Thanks for reading~ ❤